Pages

Friday, January 8, 2016

Bank Syariah (1)



referensi bank syariah

Islam berbeda dari agama-agama lainnya, dalam hal ia dilandasi dengan postulat iman dan ibadah. Dalam kehidupan sehari-hari, Islam secara bersama-sama dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga dapat diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subjek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda dari ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, dalam ekonomi Islam, hanya pemeluk Islam yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam (Metwally, M. M, Teori dan Model Ekonomi Islam, Pengantar dan Penerjemah M. Husein Sawit, S.E., PhD., PT Bangkit Daya Insana, Jakarta,1995, dikutip dalam Zainul Arifin, 2002: 13).
Setelah sekian lama berada dalam cengkeraman sistem perbankan ribawi, pada awal tahun 1970-an mulai berdiri bank-bank Islam modern. Perbedaan pokok bank Islam (syariah) dengan bank konvensional adalah larangan riba (bunga uang) bagi perbankan Islam. Dalam Islam, riba dilarang sedangkan jual beli (al bai’) dihalalkan. Dan setiap upaya memenuhi kebutuhan hidup sejauh diniatkan untuk ibadah diharapkan memberikan berkah bagi para pelakunya. Sehingga prinsip utama yang dianut bank Islam adalah larangan riba, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada perolehan keuntungan yang sah menurut syariah, dan membayar zakat.
Banyak orang yang bingung dengan larangan riba dalam Al-Qur’an dan mereka kelihatan tidak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti arus perekonomian ribawi. Mereka berpendapat bahwa karena bank memperoleh hasil dari uang yang sebagian diinvestasikan untuk tujuan produktif, maka tidak ada alasan mengapa penabung yang menyimpan dananya di bank tidak memperoleh bagian. Demikian pula, mereka heran mengapa bank tidak boleh memungut bunga dari para pengusaha yang menerima pinjaman dan menggunakannya secara produktif dan mendapatkan keuntungan (Zainul Arifin, 2002: 38).
Ketika kehadiran perbankan syariah membawa harapan bagi umat Islam untuk tidak lagi berurusan dengan bank dengan pertimbangan kedaruratan, ternyata masih banyak yang mempertanyakan eksistensinya dengan pernyataan menggugat “Mana ada bank syariah? Kata bank itu sendiri sudah tidak syariah!” Istilah bank memang tidak dikenal dalam sejarah awal Islam, dan istilah ini tentu tidak syar’i persis seperti tidak syar’inya bank data, bank darah,  dan bank sperma jika yang dimaksud adalah tidak dikenal oleh tiga generasi awal umat Islam.
Kata modern bank berasal dari cara para pedagang uang mula-mula itu menjalankan bisnis mereka; kata itu diturunkan dari sebuah kata yang berarti ‘meja” atau ‘bangku’, perabot yang secara harfiah menjadi dasar operasi mereka di berbagai pekan raya. Dari bahasa Italia, kata bank, banco, dan banque segera menyebar ke bahasa-bahasa Eropa lainnya dan akhirnya ke seluruh dunia (Jack Weatherford, 1997: 73).
Peminjaman uang dalam berbagai bentuk tampaknya sudah ada sejak uang ada, tetapi bank menjadi lebih dari sekadar lembaga pemberi pinjaman uang, sebab para bankir tidak begitu banyak menangani emas dan perak dibandingkan dengan lembar-lembar kertas yang merepresentasikan emas dan perak. Perbankan, sebagaimana dipraktekkan ordo Templar, menghadapi rintangan besar karena gereja melarang bunga uang, penetapan bunga pada utang, dan menghindari hambatan itu terbukti merupakan salah satu persoalan paling berat yang harus diatasi keluarga-keluarga Italia itu dalam membangun bisnis perbankan besar mereka (Jack Weatherford, 1997: 73).
Larangan Kristen atas bunga didasarkan pada dua ayat dalam Alkitab: “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba ....; melainkan engkau harus takut akan Allahmu ... Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba” (Imamat 25:36–37) dan “Kalau ia ... memungut bunga uang dan mengambil riba, orang yang demikian tidak akan hidup. Segala kekejian dilakukannya, ia harus mati; darahnya tertimpa kepadanya sendiri” (Yehezkiel 18:13) (Jack Weatherford, 1997: 73).
Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedang Plato juga mengutuk praktek bunga (Zainul Arifin, 2002: 16).
Qur’an mengharamkan riba secara lebih tegas dan jelas ketimbang Injil. Qur’an melarang segala bentuk pengambilan keuntungan dari pertukaran perak atau emas. Muhammad mengatakan, “Jangan menjual emas untuk emas kecuali dalam jumlah yang sama ... jangan pula perak untuk perak kecuali dalam jumlah yang sama.” Secara spesifik Qur’an melarang surat wesel dengan mencela penjualan “sesuatu yang sudah ada untuk sesuatu yang tidak ada” (Jack Weatherford, 2002: 74).
Walaupun bank-bank Islam modern baru mulai didirikan pada 1960-an, sebenarnya aktivitas perbankan telah dimulai sejak zaman Rasulullah. Nabi Muhammad SAW sebelum sebelum diutus menjadi Rasul telah dikenal sebagai Al Amien, artinya orang yang terpercaya. Karena kejujurannya itulah Nabi Muhammad dipercaya untuk menyimpan segala macam barang titipan (deposit) orang ramai. Begitu amanahnya beliau dalam menjaga deposit tersebut, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau melantik Ali bin Abi Thalib r.a. untuk mengembalikan segala deposit itu kepada pemiliknya (Zainul Arifin, 2002: 4).
Tindakan Rasulullah tersebut ternyata dikembangkan lebih lanjut sebagaimana dicontohkan oleh salah seorang sahabat beliau, Zubair bin Awwam, yang tidak pernah mau menerima uang dari semua orang dalam bentuk deposit (simpanan/titipan). Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Abdullah bin Zubair menceritakan bahwa bila ada orang datang membawa uang untuk disimpan pada ayahnya, maka ayahnya takut kalai deposit uang itu akan hilang. Tindakan Zubair ini menunjukkan dua hal yang dapat ditarik hikmahnya. Pertama, dengan mengambil uang tersebut sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk menggunakannya; kedua, jika uang itu dalam bentuk pinjaman maka Zubair berkewajiban untuk mengembalikannya dengan utuh seperti semula (Zainul Arifin, 2002: 4, 5).
Dengan demikian, ada dua macam praktek simpanan (deposit) yang diterapkan pada masa awal Islam, yaitu wadi’ah yad amanah dan wadi’ah yad dhamanah. Munculnya variasi ini adalah karena perkembangan wacana dari pemanfaatan tipe simpanan tersebut yang di masa Rasulullah mempunyai konsep awal yaitu sebagai sebuah amanah, lalu bergeser menjadi konsep pinjaman sebagaimana yang dicontohkan oleh Zubair bin Awwam (Zainul Arifin, 2002: 5).
Aktivitas perniagaan yang menggunakan cara mudharabah dan musyarakah juga sudah dikenal sejak masa awal Islam. Sebagaimana juga berkembang aktivitas pengiriman uang (misalnya kisah Ibnu Abbas mengirim uang ke Al Kuffah; lalu kisah Abdullah bin Zubair mengirim uang dari Mekkah kepada adiknya Misab bin Zubair di Irak); dan aktivitas penggunaan cek (misalnya kisah Umar bin Khattab r.a. ketika mengimpor sejumlah besar barang dari Mesir ke Madinah, di mana untuk mempercepat distribusi barang-barang tersebut kepada penduduk Madinah Khalifah mengeluarkan cek untuk penduduk Madinah; dan juga kisah Saif Dawal al Hamadani, amir di Aleppo, yang menggunakan cek untuk membayar minuman di kedai Bani Khaqan (tanpa sadar bahwa ia adalah seorang amir) sebagai bentuk mekanisme pembayaran dari suatu perdagangan (Zainul Arifin, 2002: 5).
Layanan yang diberikan oleh perbankan syariah hari ini dengan demikian sudah dikenal pada zaman Rasulullah dan tidak ada larangan bagi aktivitas-aktivitas semacam itu. Di bidang muamalah sudah menjadi pengetahun umum adanya prinsip umum yang disepakati jumhur ulama bahwa urusan muamalah semua boleh kecuali yang dilarang. Berbagai layanan perbankan syariah yang saat ini ditawarkan pada dasarnya mengikuti  etika bisnis Islam yang diajarkan Al-Qur’an yakni At Ta’awun (tolong menolong dan saling bekerja sama di antara anggota masyarakat untuk kebaikan) dan prinsip menghindari Al Iktinaz (menahan uang atau dana dan membiarkannya menganggur serta tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum).
Berbagai aktivitas yang dilakukan perbankan syariah seperti bagi hasil musyarakah (Joint Venture Profit Sharing) dan mudharabah (Trustee Profit Sharing) serta praktek deposit wadi’ah yad amanah maupun wadi’ah yad dhamanah sebetulnya adalah kelanjuntan dari praktek-praktek yang sudah dijalankan pada zaman Nabi dan para sahabat. Adapun Nabi Muhammad dan para sahabat adalah teladan bagi umat Islam yang hidup sesudah mereka, dengan demikian aktivitas-aktivitas perbankan modern Islam bisa dikatakan selaras dengan nilai-nilai etika bisnis Islam yang ditanam oleh generasi pertama umat ini.
Sumber gambar:

No comments:

Post a Comment