Di seluruh dunia,
para pemimpin divisi Sumber Daya Manusia (HR) menghadapi tantangan bergesernya
demografi tenaga kerja, mobilitas, dan kebutuhan akan serangkaian kompleks
keterampilan baru saat mereka mencari metode baru untuk merekrut,
mempertahankan, dan mengelola modal SDM paling penting mereka.
Meskipun terdapat
semakin banyak pengakuan tentang pentingnya penggunaan teknologi modern dan
analisis data yang lebih canggih dalam manajemen SDM, sebuah survei yang dilakukan
Harvard Business Analytic Services menunjukkan bahwa para eksekutif SDM maupun
non-SDM sama-sama mendapati kesenjangan lebar antara konsep yang diinginkan dan
pemanfaatan aktual dalam dunia usaha saat ini.
Memang benar bahwa
sudah banyak upaya dikerahkan untuk menemukan strategi, matriks, dan
perangkat-perangkat baru untuk membenahi manajemen tenaga kerja, tetapi banyak
eksekutif yang meyakini masih jauh jarak yang harus ditempuh agar perusahaan
mereka bisa memberikan semacam kinerja yang diperlukan untuk menghasilkan
dampak besar secara mendasar.
Dari 498 eksekutif
yang disurvei memberikan peringkat lima besar tujuan paling penting mereka
untuk manajemen SDM pada tahun 2014 sebagai berikut: pemerolehan bakat (64
persen), keterikatan karyawan (59 persen), pemeliharaan bakat (58 persen),
penyelarasan tujuan (55 persen), dan pelatihan (53 persen).
Para eksekutif SDM
(39 persen dari responden) memberikan tanda agak lebih tinggi pada organisasi
mereka dalam tujuan manajemen tenaga kerja mereka dibandingkan para eksekutif
non-HR. Meski begitu, sebagian besar responden sepakat bahwa praktek-praktek
manajemen perlu dibenahi.
Menelisik lebih
dalam, survei itu mendapati sejumlah hambatan yang harus diatasi jika sebuah
organisasi ingin memimpin dalam jagat SDM Modern ini. Hambatan paling berat
dalam mewujudkan manajemen tenaga kerja yang lebih baik adalah tidak efektifnya
kepemimpinan dalam SDM, disusul kemudian oleh tantangan yang diciptakan oleh
para karyawan yang tidak merasa terikat dan oleh kesulitan dalam menyelaraskan
tujuan-tujuan individu dengan hasil-hasil bisnis. Tetapi survei itu juga
mendapati bahwa berbagai organisasi sedang berjuang mengatasi isu-isu teknis
seperti minimnya kemampuan analitis dalam fungsi SDM, sistem manajemen kinerja
yang menghimpun informasi keliru dan dipandang membebani, serta minimnya
investasi dalam sistem manajemen tenaga kerja yang lebih efektif.
Sebetulnya banyak
yang bisa dipelajari dengan meningkatkan komunikasi antara berbagai area
fungsional di seluruh dunia usaha seiring munculnya kebutuhan akan bakat yang
jauh lebih mendalam dalam analisis statistik. Orang-orang SDM mempunyai tradisi
memandang sebagai variabel apa saja yang membuat mereka tertarik. Padahal ada
sisi yang sepenuhnya berbeda—sisi operasional. Bisa jadi ada kesenjangan antara
data yang dihimpun dan bagaimana menyatukan himpunan data itu. Persoalan
semakin parah karena tidak adanya keahlian dalam statistik, dan pengetahuan
tentang statistik sangat berguna untuk menggunakan analisis.
Upaya menjembatani
kesenjangan antara tujuan dan kinerja membutuhkan upaya-upaya baru dalam tiga
area kunci:
·
Meningkatkan kedalaman pemahaman dalam
ketenagakerjaan yang berfokus pada penghimpunan dan analisis data.
·
Upaya-upaya baru untuk meluaskan
cakrawala di seluruh organisasi untuk mengidentifikasi dan melaksanakan
prakarsa yang didorong data.
·
Dan, yang terpenting, fokus pada
komunikasi secara jelas alasan-asalan bagi dan hasil penghimpunan data serta
prakarsa-prakarsa di bidang-didang seperti analisis, keterikatan tenaga kerja,
dan penyelarasan tujuan.
Berkenaan dengan
teknologi transformatif seperti cloud,
media sosial, telepon seluler, dan Google
Analytics ternyata media ini tidak banyak dipakai oleh
organisasi-organisasi SDM. Perangkat yang cukup banyak digunakan adalah
platform pembelajaran online.
Di
perusahaan-perusahaan yang menggunakan metrics
sekalipun pemanfaatannya difokuskan pada bidang-bidang lebih tradisional
seperti per kapita tenaga kerja (60 persen), kompensasi dan insentif (47
persen), dan produktivits (42 persen). Hanya sepertiga yang menggunakan analytics di bidang pengukuran bakat dan
keterampilan atau menilai kebutuhan pelatihan.
Data sering tidak
disebar ke seluruh organisasi, sebagian hanya sampai ke level manajer dan
sangat jarang yang sampai ke tingkat departemen, divisi, dan organisasi.
Selain masalah
teknologi modern, survei ini juga menyoal keterikatan karyawan (employee engagementi), disusul oleh
risiko keluarnya karyawan dari perusahaan. Cris Wildermuth, asisten profesor di
Universitas Drake, mengemukakan bahwa ada keterputusan antara bagaimana
mestinya keterikatan karyawan dipandang dengan praktek bisnis, antara
benar-benar puas dengan pekerjaan seseorang dan peran yang membayarnya dan
kepuasan kerja semata. Bisa saja orang menyukai gajinya tetapi tidak benar-benar
terikat. Banyak instrumen yang mengukur keterikatan, tetapi sebagian besarnya
tidak benar-benar mengukur keterikatan sejati.
Ke depan, survei
itu menyarankan, unit-unit SDM harus berfokus pada pelatihan yang lebih banyak
dan lebih baik dalam penggunaan statistik di samping peningkatan interaksi
antara SDM dan bagian-bagian non-SDM dari suatu perusahaan.
Berbagai perubahan
bisa bertubi-tubi menghampiri para pemimpin SDM, dan penggunaan teknologi serta
penghimpunan data bisa memiliki dampak yang besar. Misalnya, bayangkan seorang
perempuan muda dipekerjakan di posisi tingkat bawah manajemen yang menyatakan
keinginannya untuk bekerja di berbagai negara sepanjang kariernya dan kebetulan
bisa berbahasa Portugis. Di terus diamari selama bertahun-tahun ketika
ditempatkan pada pekerjaan berbeda-beda, membangun levelnya dan bidang
keahliannya. Data dihimpun, tidak hanya tahunan tetapi bulanan, bukan hanya
tentang kinerjanya tetapi juga tentang tingkat komitmennya terhadap pekerjaan
dan organisasi.
Lalu, bertahun-tahun
kemudian, perusahaan memutuskan untuk membuka kantor di Brazil—sesuatu yang
sama sekali tak terbayangkan ketika perempuan muda itu diterima
bekerja—perusahaan mendapati seorang pegawainya yang senang bepergian,
mempunyai keterampilan untuk posisi manajemen tingkat menengah, dan bisa
berbahasa Portugis. Perusahaan pun bisa memanfaatkan orang yang tepat dari
lingkungannya sendiri tanpa perlu mengeluarkan biaya signifikan mempekerjakan
orang luar.
Menurut Profesor
Jonathan Feinstein, John G. Searle Professor of Economics and Management at
Yale School of Management, cerita di atas akan menjadi umum tak lama lagi.
Tinggal menunggu waktu. Persis gelombang yang hendak pecah, dan akan ada banyak
keuntungan bagi organisasi yang mampu menyongsongnya pertama kali.
Diringkas
seperlunya dari https://www.oracle.com/webfolder/s/delivery_production/docs/FY14h1/doc7/18762-HBR-Oracle-Report-HR3-FINAL.pdf
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment