Pages

Wednesday, January 6, 2016

Era Sumber Daya Manusia (SDM) Modern



Era Sumber Daya Manusia Modern HBR

Di seluruh dunia, para pemimpin divisi Sumber Daya Manusia (HR) menghadapi tantangan bergesernya demografi tenaga kerja, mobilitas, dan kebutuhan akan serangkaian kompleks keterampilan baru saat mereka mencari metode baru untuk merekrut, mempertahankan, dan mengelola modal SDM paling penting mereka.
Meskipun terdapat semakin banyak pengakuan tentang pentingnya penggunaan teknologi modern dan analisis data yang lebih canggih dalam manajemen SDM, sebuah survei yang dilakukan Harvard Business Analytic Services menunjukkan bahwa para eksekutif SDM maupun non-SDM sama-sama mendapati kesenjangan lebar antara konsep yang diinginkan dan pemanfaatan aktual dalam dunia usaha saat ini.
Memang benar bahwa sudah banyak upaya dikerahkan untuk menemukan strategi, matriks, dan perangkat-perangkat baru untuk membenahi manajemen tenaga kerja, tetapi banyak eksekutif yang meyakini masih jauh jarak yang harus ditempuh agar perusahaan mereka bisa memberikan semacam kinerja yang diperlukan untuk menghasilkan dampak besar secara mendasar.
Dari 498 eksekutif yang disurvei memberikan peringkat lima besar tujuan paling penting mereka untuk manajemen SDM pada tahun 2014 sebagai berikut: pemerolehan bakat (64 persen), keterikatan karyawan (59 persen), pemeliharaan bakat (58 persen), penyelarasan tujuan (55 persen), dan pelatihan (53 persen).
Para eksekutif SDM (39 persen dari responden) memberikan tanda agak lebih tinggi pada organisasi mereka dalam tujuan manajemen tenaga kerja mereka dibandingkan para eksekutif non-HR. Meski begitu, sebagian besar responden sepakat bahwa praktek-praktek manajemen perlu dibenahi.
Menelisik lebih dalam, survei itu mendapati sejumlah hambatan yang harus diatasi jika sebuah organisasi ingin memimpin dalam jagat SDM Modern ini. Hambatan paling berat dalam mewujudkan manajemen tenaga kerja yang lebih baik adalah tidak efektifnya kepemimpinan dalam SDM, disusul kemudian oleh tantangan yang diciptakan oleh para karyawan yang tidak merasa terikat dan oleh kesulitan dalam menyelaraskan tujuan-tujuan individu dengan hasil-hasil bisnis. Tetapi survei itu juga mendapati bahwa berbagai organisasi sedang berjuang mengatasi isu-isu teknis seperti minimnya kemampuan analitis dalam fungsi SDM, sistem manajemen kinerja yang menghimpun informasi keliru dan dipandang membebani, serta minimnya investasi dalam sistem manajemen tenaga kerja yang lebih efektif.
Sebetulnya banyak yang bisa dipelajari dengan meningkatkan komunikasi antara berbagai area fungsional di seluruh dunia usaha seiring munculnya kebutuhan akan bakat yang jauh lebih mendalam dalam analisis statistik. Orang-orang SDM mempunyai tradisi memandang sebagai variabel apa saja yang membuat mereka tertarik. Padahal ada sisi yang sepenuhnya berbeda—sisi operasional. Bisa jadi ada kesenjangan antara data yang dihimpun dan bagaimana menyatukan himpunan data itu. Persoalan semakin parah karena tidak adanya keahlian dalam statistik, dan pengetahuan tentang statistik sangat berguna untuk menggunakan analisis.
Upaya menjembatani kesenjangan antara tujuan dan kinerja membutuhkan upaya-upaya baru dalam tiga area kunci:
·         Meningkatkan kedalaman pemahaman dalam ketenagakerjaan yang berfokus pada penghimpunan dan analisis data.
·         Upaya-upaya baru untuk meluaskan cakrawala di seluruh organisasi untuk mengidentifikasi dan melaksanakan prakarsa yang didorong data.
·         Dan, yang terpenting, fokus pada komunikasi secara jelas alasan-asalan bagi dan hasil penghimpunan data serta prakarsa-prakarsa di bidang-didang seperti analisis, keterikatan tenaga kerja, dan penyelarasan tujuan.
Berkenaan dengan teknologi transformatif seperti cloud, media sosial, telepon seluler, dan Google Analytics ternyata media ini tidak banyak dipakai oleh organisasi-organisasi SDM. Perangkat yang cukup banyak digunakan adalah platform pembelajaran online.
Di perusahaan-perusahaan yang menggunakan metrics sekalipun pemanfaatannya difokuskan pada bidang-bidang lebih tradisional seperti per kapita tenaga kerja (60 persen), kompensasi dan insentif (47 persen), dan produktivits (42 persen). Hanya sepertiga yang menggunakan analytics di bidang pengukuran bakat dan keterampilan atau menilai kebutuhan pelatihan.
Data sering tidak disebar ke seluruh organisasi, sebagian hanya sampai ke level manajer dan sangat jarang yang sampai ke tingkat departemen, divisi, dan organisasi.
Selain masalah teknologi modern, survei ini juga menyoal keterikatan karyawan (employee engagementi), disusul oleh risiko keluarnya karyawan dari perusahaan. Cris Wildermuth, asisten profesor di Universitas Drake, mengemukakan bahwa ada keterputusan antara bagaimana mestinya keterikatan karyawan dipandang dengan praktek bisnis, antara benar-benar puas dengan pekerjaan seseorang dan peran yang membayarnya dan kepuasan kerja semata. Bisa saja orang menyukai gajinya tetapi tidak benar-benar terikat. Banyak instrumen yang mengukur keterikatan, tetapi sebagian besarnya tidak benar-benar mengukur keterikatan sejati.
Ke depan, survei itu menyarankan, unit-unit SDM harus berfokus pada pelatihan yang lebih banyak dan lebih baik dalam penggunaan statistik di samping peningkatan interaksi antara SDM dan bagian-bagian non-SDM dari suatu perusahaan.
Berbagai perubahan bisa bertubi-tubi menghampiri para pemimpin SDM, dan penggunaan teknologi serta penghimpunan data bisa memiliki dampak yang besar. Misalnya, bayangkan seorang perempuan muda dipekerjakan di posisi tingkat bawah manajemen yang menyatakan keinginannya untuk bekerja di berbagai negara sepanjang kariernya dan kebetulan bisa berbahasa Portugis. Di terus diamari selama bertahun-tahun ketika ditempatkan pada pekerjaan berbeda-beda, membangun levelnya dan bidang keahliannya. Data dihimpun, tidak hanya tahunan tetapi bulanan, bukan hanya tentang kinerjanya tetapi juga tentang tingkat komitmennya terhadap pekerjaan dan organisasi.
Lalu, bertahun-tahun kemudian, perusahaan memutuskan untuk membuka kantor di Brazil—sesuatu yang sama sekali tak terbayangkan ketika perempuan muda itu diterima bekerja—perusahaan mendapati seorang pegawainya yang senang bepergian, mempunyai keterampilan untuk posisi manajemen tingkat menengah, dan bisa berbahasa Portugis. Perusahaan pun bisa memanfaatkan orang yang tepat dari lingkungannya sendiri tanpa perlu mengeluarkan biaya signifikan mempekerjakan orang luar.
Menurut Profesor Jonathan Feinstein, John G. Searle Professor of Economics and Management at Yale School of Management, cerita di atas akan menjadi umum tak lama lagi. Tinggal menunggu waktu. Persis gelombang yang hendak pecah, dan akan ada banyak keuntungan bagi organisasi yang mampu menyongsongnya pertama kali.

Sumber gambar:

No comments:

Post a Comment