Pages

Friday, February 19, 2016

Tak Ada Yang Baru



Dua malam lalu di sebuah desa di Sragen utara saya bertamu di rumah seorang teman lama, satu dari sedikit orang yang tidak menganut paham “kanca kuwi rak mbiyen”. Entah lampunya yang kurang terang entah karena situasi hidup yang suram, maklumlah birds of a feather flock together, kami mengobrol layaknya kalender masih berkisar di angka 1980-an. Tak ada pertanyaan tentang kabar kami masing-masing, sebab jika saya muncul dan dia ada di rumah berarti kami baik-baik saja. Begitu dari dulu. Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
Bagaimana tidak suram, obrolan dibuka dengan cerita teman saya tentang tetangga-tetangga petaninya yang didera penderitaan berat karena panen gagal padahal ketika awal musim tanam dan pertumbuhan padi mereka harus keluar uang banyak untuk menyewa diesel bagi pengairan sawah mereka. Ketika panen, hujan malah turun dengan rajinnya dan merusak padi yang mestinya bisa dijual untuk menutup tingginya biaya sewa diesel, belum lagi pupuk yang mahal dan tak mudah didapat. Mungkin para petani tidak terlalu terbebani dengan tuntutan hidup di luar kebutuhan pokok, tetapi kini anak-anak mereka yang enggan turun ke sawah itu selalu tergiur oleh sepeda motor keluaran terbaru. Mending kalau dipakai ngojek, paling banter anak-anak petani itu cuma hilir mudik dengan motor berkilat-kilat dan bergerombol memarkir motor bagus mereka laksana pajangan di suatu perempatan. Alhasil, tetap saja para petani itu sengsara hidup mereka. Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
Tarif listrik naik, gas melon mahal, harga apa-apa mahal tetapi tak ada protes masif seperti pada era Presiden Yudhoyono. Itu karena kelas menengah kita berdiri di sisi rezim. Mereka yang sejak zaman Presiden Suharto berperan sebagai penggerak masyarakat awam kini berteduh di bawah lindungan penguasa yang dicitrakan jujur merakyat dan sederhana dan rakyat percaya slogan itu. Bahwa intelektual berpihak kepada kebenaran dan rakyat dan hampir selalu kritis pada penguasa ya itu kan kata buku-buku. Dipikir Belanda dulu begitu perkasanya hingga mampu menjajah kita 350 tahun? Meski angka 350 ini sekarang banyak digugat, tetapi awetnya kekuasaan Belanda berkat topangan kelas menengah terpelajar sebagai penguasa centeng mereka tak bisa dibantah. Ketika dekolonisasi menjadi tren global dan Inggris yang sudah kelelahan mengangsurkan estafet ke Amerika Serikat sebagai penguasa dunia dan Indonesia merdeka juga tak lepas dari peran kelas menengah terpelajar. Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
Keadaan sulit, harga berbagai kebutuhan pokok melangit, atmosfer menyudutkan Islam yang terorganisir rapi begitu kentara, tetapi media massa lebih terasa bertindak sebagai propaganda dengan diksi genangan untuk banjir, polling yang entah di mana surveinya, pertumbuhan ekonomi buruk hanya dibilang kurang kondusif, kita impor beras yang diberitakan malah kesiapan Pakistan mengekspor beras dan sebagainya juga bukan hal baru. Dari dulu kita juga tahu bahwa media bukanlah refleksi realitas melainkan representasi realitas. Namanya juga representasi, tentu bisa dipilah mana yang menguntungkan mana yang tidak. Setidak-tidaknya itulah yang mudah diendus pada media arus utama. Bahwa kekuatan media bisa sangat mengerikan, El Hajj Malik el Shabbaz sudah lama mengatakan itu. Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
 
media adalah representasi bukan refleksi media
Malcolm X: Media adalah entitas paling perkasa di Bumi.

Jam dinding menunjukkan pukul 21:30. Dan obrolan kami masih berkisar di hal-hal yang tak juga baru di bawah matahari ini. Obrolan yang sudah diteriakkan para pengritik rezim ini di socmed. Teriakan yang lebih merupakan pernyataan sikap dan keberpihakan saja. Tak bakalan mengubah keanehan rezim mengingat bangsa ini dijajah Belanda 350 tahun pun baik-baik saja. Tak ada yang menarik dengan obrolan kami yang lebih terasa seperti saling menanyakan kabar, kecuali cerita menjelang saya pamit berikut.
“Sekarang ada kecenderungan para pemegang BPJS untuk minta opname. Sakit perut yang cukup diberi obat saja mereka minta opname. Kenapa? Karena kalau opname, taruhlah, tiga hari saja si sakit yang sebetulnya tidak terlalu sakit itu bisa mendapatkan uang 1,5 juta dari para tetangga yang bezoek. Ini aneh! Itu cerita dari dokter-dokter kenalanku. Kalau dokter tidak merekomendasikan opname, si pasien akan menelepon anggota DPRD yang mereka pilih yang selanjutnya akan menelepon dokter yang tentu saja tak akan berani menolak permintaan opname. Ini sudah gila!” tutur teman saya yang PNS itu.
Menarik sekali cerita itu, tetapi bukankah pemimpin itu cerminan dari rakyat yang dipimpin? Fenomena tidak baru yang terekam dalam dialog antara seorang sultan dan rakyatnya:
“Wahai Sultan, kami ingin engkau memerintah kami dengan adil seperti Khalifah Umar bin Khatab.”
“Kalian ini kelewatan juga, memintaku memerintah seperti Khalifah Umar tetapi kelakuan kalian sama sekali jauh dari perilaku rakyat Umar. Yang bener sajalah.”
Tak ada yang baru di bawah matahari ini (juga bukan ungkapan baru merujuk pada Eklesiastikus 1:9) tetapi yang tak baru itu tak juga berhenti membuat kita terbengong-bengong karena menakjubkannya.

No comments:

Post a Comment