Dua malam lalu di sebuah desa di Sragen utara saya
bertamu di rumah seorang teman lama, satu dari sedikit orang yang tidak
menganut paham “kanca kuwi rak mbiyen”.
Entah lampunya yang kurang terang entah karena situasi hidup yang suram,
maklumlah birds of a feather
flock together, kami mengobrol layaknya kalender masih berkisar di angka 1980-an.
Tak ada pertanyaan tentang kabar kami masing-masing, sebab jika saya muncul dan
dia ada di rumah berarti kami baik-baik saja. Begitu dari dulu. Tak ada yang baru
di bawah matahari ini.
Bagaimana tidak suram, obrolan dibuka dengan cerita teman
saya tentang tetangga-tetangga petaninya yang didera penderitaan berat karena panen
gagal padahal ketika awal musim tanam dan pertumbuhan padi mereka harus keluar
uang banyak untuk menyewa diesel bagi pengairan sawah mereka. Ketika panen,
hujan malah turun dengan rajinnya dan merusak padi yang mestinya bisa dijual untuk
menutup tingginya biaya sewa diesel, belum lagi pupuk yang mahal dan tak mudah
didapat. Mungkin para petani tidak terlalu terbebani dengan tuntutan hidup di
luar kebutuhan pokok, tetapi kini anak-anak mereka yang enggan turun ke sawah
itu selalu tergiur oleh sepeda motor keluaran terbaru. Mending kalau dipakai
ngojek, paling banter anak-anak petani itu cuma hilir mudik dengan motor
berkilat-kilat dan bergerombol memarkir motor bagus mereka laksana pajangan di
suatu perempatan. Alhasil, tetap saja para petani itu sengsara hidup mereka.
Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
Tarif listrik naik, gas melon mahal, harga apa-apa mahal
tetapi tak ada protes masif seperti pada era Presiden Yudhoyono. Itu karena kelas
menengah kita berdiri di sisi rezim. Mereka yang sejak zaman Presiden Suharto
berperan sebagai penggerak masyarakat awam kini berteduh di bawah lindungan
penguasa yang dicitrakan jujur merakyat dan sederhana dan rakyat percaya slogan
itu. Bahwa intelektual berpihak kepada kebenaran dan rakyat dan hampir selalu kritis
pada penguasa ya itu kan kata buku-buku. Dipikir Belanda dulu begitu perkasanya
hingga mampu menjajah kita 350 tahun? Meski angka 350 ini sekarang banyak digugat,
tetapi awetnya kekuasaan Belanda berkat topangan kelas menengah terpelajar sebagai
penguasa centeng mereka tak bisa dibantah. Ketika dekolonisasi menjadi tren
global dan Inggris yang sudah kelelahan mengangsurkan estafet ke Amerika
Serikat sebagai penguasa dunia dan Indonesia merdeka juga tak lepas dari peran
kelas menengah terpelajar. Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
Keadaan sulit, harga berbagai kebutuhan pokok melangit,
atmosfer menyudutkan Islam yang terorganisir rapi begitu kentara, tetapi media
massa lebih terasa bertindak sebagai propaganda dengan diksi genangan untuk banjir,
polling yang entah di mana surveinya,
pertumbuhan ekonomi buruk hanya dibilang kurang kondusif, kita impor beras yang
diberitakan malah kesiapan Pakistan mengekspor beras dan sebagainya juga bukan
hal baru. Dari dulu kita juga tahu bahwa media bukanlah refleksi realitas
melainkan representasi realitas. Namanya juga representasi, tentu bisa dipilah
mana yang menguntungkan mana yang tidak. Setidak-tidaknya itulah yang mudah
diendus pada media arus utama. Bahwa kekuatan media bisa sangat mengerikan, El Hajj Malik el Shabbaz sudah lama mengatakan
itu. Tak ada yang baru di bawah matahari ini.
Jam dinding menunjukkan pukul 21:30. Dan obrolan kami
masih berkisar di hal-hal yang tak juga baru di bawah matahari ini. Obrolan yang
sudah diteriakkan para pengritik rezim ini di socmed. Teriakan yang lebih merupakan
pernyataan sikap dan keberpihakan saja. Tak bakalan mengubah keanehan rezim
mengingat bangsa ini dijajah Belanda 350 tahun pun baik-baik saja. Tak ada yang
menarik dengan obrolan kami yang lebih terasa seperti saling menanyakan kabar,
kecuali cerita menjelang saya pamit berikut.
“Sekarang ada kecenderungan para pemegang BPJS untuk minta
opname. Sakit perut yang cukup diberi obat saja mereka minta opname. Kenapa? Karena
kalau opname, taruhlah, tiga hari saja si sakit yang sebetulnya tidak terlalu
sakit itu bisa mendapatkan uang 1,5 juta dari para tetangga yang bezoek. Ini
aneh! Itu cerita dari dokter-dokter kenalanku. Kalau dokter tidak merekomendasikan
opname, si pasien akan menelepon anggota DPRD yang mereka pilih yang selanjutnya
akan menelepon dokter yang tentu saja tak akan berani menolak permintaan opname.
Ini sudah gila!” tutur teman saya yang PNS itu.
Menarik sekali cerita itu, tetapi bukankah pemimpin itu
cerminan dari rakyat yang dipimpin? Fenomena tidak baru yang terekam dalam dialog
antara seorang sultan dan rakyatnya:
“Wahai Sultan, kami ingin engkau memerintah kami dengan adil
seperti Khalifah Umar bin Khatab.”
“Kalian ini kelewatan juga, memintaku memerintah seperti Khalifah
Umar tetapi kelakuan kalian sama sekali jauh dari perilaku rakyat Umar. Yang bener
sajalah.”
Tak ada yang baru di bawah matahari ini (juga bukan ungkapan baru merujuk pada Eklesiastikus 1:9) tetapi yang
tak baru itu tak juga berhenti membuat kita terbengong-bengong karena menakjubkannya.
No comments:
Post a Comment