23 Maret
1989.
Ketika malam tiba di Alaska sebuah tanker raksasa, Exxon Valdes,
meninggalkan terminal pipa penyalur minyak menuju Long Beach, California.
Menembus gelap Selat Valdez yang sempit mualim pelabuhan mengemudikan kapal
selama dua jam. Kapten Joseph Hazelwood, yang kegemarannya menenggak alkohol
sudah dimaklumi para anak buah kapal, masuk ke kabinnya. Istirahat. Setelah
mualim pemandu meninggalkan kapal raksasa itu, Hazelwood kembali ke anjungan
dan memerintahkan perubahan arah 180 derajat untuk menghindari gunung es yang
datang dari Gleser Columbia. Kemudi otomatis diaktifkan. Kurang lebih tujuh
menit menjelang tengah malam Hazelwood kembali ke kabin dan menyerahkan kapal
kepada Kelasi Kelas Tiga Gregory Cousins. Kepada kelasi itu Hazelwood memerintahkan
agar mengarahkan kembali kapal ke jalur reguler kalau sudah menjajari Pulau
Busby. Bukannya menuruti kemauan sang kapten, kapal sangat besar itu malah
melaju lurus selama sebelas menit melintasi pergantian hari.
24 Maret
1989.
Hanya sanggup membelokkan sedikit ke kanan beberapa detik sebelum tanker
menghantam Karang Bligh empat menit lepas tengah malam, Kelasi Cousins
mengganggu istirahat Hazelwood, “Kapten, rasanya kita punya masalah besar.”
Yang benar adalah: masalah sangat besar. Dunia ribut. Protes para pencinta
lingkungan hidup begitu lantang hingga kekuasaan bahan bakar pembentuk politik
dan peradaban abad ke-20 itu tak akan pernah sekokoh dulu lagi.
Sebetulnya Exxon Valdez bukan tanker pertama yang menumpahkan muatannya
secara besar-besaran ke laut, apalagi sekadar menumpahkan. Pada tahun 1967
tanker Torrey Canyon menumpahkan 134 juta liter minyak ke lepas pantai
Cornwall, Inggris. Setahun kemudian, 42 juta liter minyak tumpah ke laut di
lepas pantai Afrika Selatan setelah tanker World Glory mengalami kerusakan
lambung. Pada Desember 1972 tanker Sea Star bertabrakan dengan sebuah kapal,
hasilnya Selat Oman dicemari 117 juta liter minyak. Daftarnya panjang kalau
diteruskan. Walaupun cuma menumpahkan 41,3 juta liter minyak ke Selat Prince William,
Exxon Valdez adalah yang paling intensif dikaji dalam sejarah dan menjadi
tonggak penting untuk memahami dampak jangka panjang minyak terhadap ekosistem
bahari dan reaksi masyarakat terhadap bencana semacam itu.
Minyak mentah yang berasal dari delapan tangki muatan tanker itu menumpahi
laut yang sangat produktif dan alami seluas 16.000 kilometer persegi perairan
pantai Alaska hingga sejauh 960 kilometer dari Karang Bligh. Setidak-tidaknya
1.920 kilometer garis pantai menghitam karena minyak mentah, termasuk beberapa
bagian dari tiga suaka margasatwa nasional, tiga taman nasional dan Hutan
Nasional Chugach. Juga wilayah luas yang selama ribuan tahun dihuni Orang Asli
Alaska. Diperkirakan sekitar 100.000 burung mati, termasuk 150 elang gundul.
Kurang lebih 1.000 linsang laut mati menemui ajal.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan kecelakaan itu juga tidak main-main.
Exxon Corporation, pemilik kapal dan minyak tumpahnya, membelanjakan miliaran
dolar untuk program pembersihan di mana sekitar 1.000 pekerja membersihkan
pantai dengan apa saja mulai dari semprotan air panas bertekanan tinggi hingga
garpu, sekop, dan tisu.
Uang itu belum termasuk pembayaran denda dan ganti rugi sebesar 1 miliar
dolar yang disepakati antara negara bagian Alaska dan pemerintah federal dengan
Exxon dan Alyeska Pipeline Service Company.
Negara bagian Alaska membatalkan pembukaan industri perikanan herring dan
membatasi penangkapan salmon, kedua bisnis ini menjaring lebih dari seratus
juta dolar per tahun. Kerugian terus mendera para nelayan dan penduduk asli
Alaska beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1992 dan 1993 populasi salmon merah
muda di selat itu merosot tajam. Begitu pula populasi hering, karena minyak
yang tumpah pada tahun 1989 merusak dan membunuh 90 persen larva hering yang
menetas di dekat pantai-pantai berminyak.
Dampak sosialnya juga serius. Frustrasi karena merosotnya salmon dan tidak
adanya penjelasan ilmiah yang bisa dipercaya, pada Agustus 1993 para nelayan
memblokir selat Valdez dengan sekitar 100 kapal, menghentikan lalu lintas
tanker selama tiga hari. Blokade itu baru berhenti setelah Menteri Dalam Negeri
Bruce Babbitt berjanji mendanai studi ekosistem komprehensif. Pada tahun itu
juga para ilmuwan di laboratorium Auke Bay milik Dinas Perikanan Kelautan
Nasional di Juneau mulai melakukan uji multigenerasi terhadap salmon merah muda
untuk mencari tahu apakah telur dan embrio yang hidup dalam konsentrasi rendah
larutan minyak akan mandul ketika dewasa.
Sosiolog Steve Picou dari University of South Alabama mendapati stres
kronis melanda para nelayan dan penduduk asli yang menggantungkan hidup pada
kemurahan alam. Picou membandingkan depresi yang menyebar dan penyakit sosial
ikutannya dengan kondisi serupa di antara orang-orang yang selamat dari
malapetaka di Bhopal (India), Chernobyl (Ukraina), Three Mile Island, Love
Canal dan Woburn, Massachussetts. Belum lagi persoalan sosio-ekonomi yang harus
dihadapai anak cucu penduduk asli terkait dengan dibelinya tanah mereka oleh
Exxon untuk perluasan taman publik, hutan nasional, dan suaka margasatwa. Kalau
uang yang mereka peroleh tidak ditanam dalam dana perwalian atau bentuk-bentuk
investasi lain generasi mendatang penduduk asli bisa tidak punya uang dan tanpa
tanah.
Sebetulnya Pulau Bligh dan Karang Bligh sudah sangat dikenal para nakhoda
sejak lama. Kapten George Vancouver
mencantumkan di peta dan menamai pulau itu dalam pelayarannya yang ketiga ke
Pasifik Utara dengan kapal Discovery pada tahun 1794. Kapten Vancouver
memberikan nama temannya sesama perwira selama enam belas tahun, William Bligh,
untuk pulau itu. William Bligh dikenal sebagai kapten yang sewenang-wenang,
kejam dan bermulut kasar. Kebengisannya menyulut pemberontakan di kapal Bounty
pada tanggal 28 April 1789 di Tahiti, bersama 18 orang pengikutnya yang setia
Bligh dibiarkan terkatung-katung dalam perahu terbuka. Tetapi dia juga salah
satu pelaut paling andal yang dikenal sejarah. Dengan kepiawaiannya dia
berhasil menempuh jarak 5823 kilometer dan kesulitan luar biasa. Tanggal 4 Juni
dia mendarat dengan selamat bersama seluruh pengikutnya di Pulau Timor.
Nama Karang Pulau Bligh sudah lama tercantum dalam peta Survei Geodetik dan
Pantai AS, dipendekkan menjadi Karang Bligh oleh badan survei itu pada tahun
1930. Nama Bligh kembali disebut-sebut dunia tepat dua ratus tahun setelah
pemberontakan Bounty berkat Kapten Hazelwood yang seenaknya menyerahkan kapal
tanker raksasa kepada Kelasi Tiga Gregory Cousins yang tidak punya izin khusus
membawa tanker di Selat Pangeran William.
Tidak sulit menghindari Karang Bligh. Yang harus dilakukan hanyalah belok
ke barat tepat ketika kapal sejajar dengan lampu navigasi di Pulau Busby. Pulau
ini terlihat jelas di malam hari sekalipun. Orang pun tak habis pikir bagaimana
bisa Exxon Valdez menerjang bahaya yang sudah diketahui dan bisa diperkirakan
itu. Persoalan dimulai ketika Kapten Hazelwood memutuskan untuk membawa kapal
ke timur jalur reguler demi menghindari konsentrasi es yang sangat berbahaya.
Hazelwood tidak melanggar aturan apa pun dengan keputusannya itu. Hanya saja berada
di sebelah timur jalur reguler kapal menempatkan tankernya langsung mengarah ke
Karang Bligh.
Mengingat konsentrasi es di perairan, gelap malam, menjauhkan kapal dari
Karang Bligh sebelum menghantamnya, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
membelokkan raksasa itu, mestinya Hazelwood sendiri yang harus membawa kapal.
Di bagian selat Pangeran William itu diperlukan izin khusus untuk mengemudikan
tanker, Hazelwood adalah satu-satunya orang yang punya izin demikian di tanker
itu. Tetapi dia malah meninggalkan anjungan, dengan alasan hendak menyelesaikan
laporan rutin, dan menyerahkan kendali kepada kelasi Gregory Cousins yang sudah
sangat mengantuk. Giliran tugas Cousins sebetulnya sudah lewat, tetapi karena
petugas pengganti tidak muncul-muncul dia terpaksa menunda tidur. Perintah
Hazelwood untuk menghidupkan kemudi otomatis makin merunyamkan keadaan. Sesuatu
yang tidak semestinya dilakukan ketika kapal berada di luar jalur reguler.
Kemudi otomatis itu menambah laju kapal yang membuatnya mendekati karang lebih
cepat dan mengurangi waktu yang diperlukan untuk melakukan koreksi jika ada
kesalahan. Lalu terjadilah apa yang sudah terjadi di atas.
Di pengadilan terungkap bahwa keputusan Hazelwood dipengaruhi alkohol. Dia
pernah menjalani pengobatan selama 28 hari tetapi mangkir dari program
rehabilitasi dan minum lagi. Sebelum naik ke kapal malam itu dia minum-minum di
bar Valdez.
Kecelakaan itu tidak akan terjadi sekiranya tuntutan masyarakat setempat
agar hanya tanker berlambung ganda yang boleh melewati perairan mereka
diindahkan dan, tentunya, orang yang hobi minumnya seterkenal Kapten Haddock
tidak dibiarkan mengemudikan supertanker seluas tiga lapangan bola. Ini
kecerobohan yang sungguh terlalu.
Hazelwood dihukum, dia kehilangan pekerjaan. Exxon Valdez, yang berganti
nama menjadi Sea River Mediterranean, tidak boleh memasuki perairan Selat
Pangeran William. Masih banyak pemilik tanker yang berkeras tidak mau
menggunakan tanker lambung ganda. Minyak tak berhenti tumpah ke laut.
Setelah Exxon Valdez, masih banyak tanker yang celaka dari tahun ke tahun.
Januari 1993, tanker Braer kandas di perairan Kepulauan Shetland, Skotlandia.
148 juta liter minyak tumpah mencemari laut. Agustus 1993, sebuah kapal barang
berbendera Filipina bertabrakan dengan dua kapal tongkang di Teluk Tampa,
Amerika Serikat, 1,1 juta liter minyak tumpah. Tiga tahun kemudian, kapal tunda
Scandia yang sedang menarik tanker North Cape kandas berikut tanker yang
ditundanya di lepas pantai Rhode Island, Amerika Serikat. 1,1 juta liter minyak
tumpah. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Walaupun catatan keselamatan transportasi minyak tidak bisa dibilang bagus,
sulit membayangkan ada negara atau organisasi internasional tertentu menyatakan
keberatan terhadap kapal tanker yang lalu lalang di wilayah perairan atau di
dekat mereka. Semua negara di dunia bergantung pada minyak dalam kadar
berlainan. Komunitas internasional akan berang jika ada pihak yang menghalangi
rute tanker atau berani mencari gara-gara dengan sistem transportasi ini.
Tetapi lain ceritanya bila yang lewat adalah kapal pengangkut bahan-bahan
kebutuhan industri nuklir.
Bacaan:
Bryan Hodgson, Alaska’s Big Spill; Can the Wilderness
Heal? National Geographic, Januari 1990.
Daniel Yergin, The Prize: The Epic Quest for Oil,
Money & Power, Touchstone, New York, 1992.
Sumber
gambar:
No comments:
Post a Comment