Pages

Saturday, October 31, 2015

Bahasa Menunjukkan Bangsa







Penggunaan bahasa, dalam hal ini diksi, bisa membuat orang tampak awet muda. Pemakaian kata-kata “lucuk, nyanyik, pastik, aslik, yuks” dikabarkan bisa membikin penggunanya terkesan beberapa tahun lebih muda. Sudah barang pasti ketentuan dan syarat berlaku. Hanya berlaku di media sosial, utamanya Twitter, dan mensyaratkan anonimitas. Bagi yang sangat piawai—kepiawaian yang diperoleh dengan tebusan sangat mahal: membuang-buang waktu—korting umur itu bisa mencapai separuh usia sebenarnya. Karena anonim, andalan modus eksistensi di Twitter orang semacam itu adalah kata-kata yang sedang “in”. Sehingga apa pun yang mutakhir, entah itu gosip politik atau gaya bahasa, akan diadopsi demi eksistensi di dunia maya yang kadarnya melampaui eksistensi di dunia nyata. Secara gampangan saya melihat orang yang menolak proses alami menjadi tua itu getol menggunakan kata-kata “age just numbers ...” (sambil lupa bahwa liang kubur juga cuma galian satu kali dua meter, atau ukuran-ukuran lain sesuai keyakinan keagamaan yang dianut), atau “Let your age go old, but not your heart” dan kata-kata penghiburan hampa makna lainnya.
Atau, anggur makin tua makin enak, kelapa makin tua makin bersantan. Entah lupa atau tidak tahu, soal kelapa ini merujuk pada makin tua makin bijaksana. Bukan makin sinting. Kalau makin sinting ketika kadar kegaekan bertambah, itu tua-tua keladi. Sialnya, menurut kamus Indonesia-Inggris susunan Alan M. Stevens dan A. Ed. Schmidgall-Tellings tua-tua keladi artinya: “the older one gets, the stronger (sexually) one becomes; dirty old man.” Dipikir tidak ada perempuan yang makin tua ... dan seterusnya. Entah kalau anggur, boleh jadi itu pengibaratan yang pas untuk makin tua makin gila. Mungkin ada yang membela diri begini, “Itu kan cuma main-main, begitu saja diributkan?” Baiklah. Dalam kenyataan, saya sering melihat penganut ungkapan “main-main” ini cara bermain-main katanya membikin malu. Malu sama umur. Malu sama klaim diri sebagai perempuan sangat terhormat (sic). Malu sama Tuhan? Tidak yakin saya, mana bisa malu sama Tuhan (yang menurut keyakinan agama-agama langit Maha Mengetahui itu), soal jati diri saja berani menipu-Nya?
Kalau sudah terdesak, kalimat andalan impostor* (misalnya ibu-ibu lepas usia pensiun yang menirukan anak perempuannya di penghujung remaja) semacam itu biasanya adalah, “Kan cuma kata!” Memang ada orang yang sikap mau menang sendirinya sudah masuk kategori sakit jiwa. Kalau kata dianggap tidak ada artinya, buat apa orang-orang berkecenderungan IM (Ikhwanul Muslimin) sibuk mengupayakan penggantian birthday dengan milad? Buat apa umat Islam pada umumnya bersusah payah melawan penggunaan kata Mohammadanism dan menuliskannya dengan Islam? Buat apa umat Islam berusaha menggusur kata Mecca dengan Makkah? Kan, it’s just a word? Dua kalimat syahadat itu apa kalau bukan rangkaian kata-kata? Semua orang Islam dengan pengetahuan agama standar tahu betul ketentuan bahwa “Setiap kata yang terucap akan dimintakan pertanggungjawabannya di Hari Pengadilan kelak,” atau anjuran “Bicaralah yang baik atau diam.”
Itu tadi sekadar contoh ekstrem, dalam kenyataannya mustahil ketika ditanya hakim berapa usianya seorang nenek-nenek akan menjawab, “#eh penting ya, yang penting kan still young at heart.” Jika diminta menunjukkan surat nikah oleh pihak berwenang, walaupun perkawinannya remuk redam, mustahil keluar jawaban, “Kan cuma selembar kertas.” Hal yang sama berlaku untuk STNK, kartu keluarga, akta kelahiran, kontrak kerja, SK pengangkatan PNS, SKCK, dan segala dokumen berwujud kertas lainnya. Di dunia nyata semua orang tahu, dan suka atau tidak harus menerima, arti penting legalitas.
Sayangnya, belum saya jumpai adanya penelitian tentang penggunaan kata secara serampangan untuk keperluan “awet muda” dengan semakin maraknya pemakaian kata yang berbeda dari definisi orisinalnya. Tidak jelas ada hubungannya atau tidak, tetapi jelas bahwa kedua fenomena ini berjalan seiring. Contoh sederhana adalah kata “secara”. “Secara gw kuliah di UI,” tampaknya secara adalah kata ganti untuk karena, atau mengingat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara berarti (1) sebagai; selaku atau (2) menurut (tentang adat, kebiasaan, dan sebagainya) atau (3) dengan cara; dengan jalan, atau (4) dengan. Lama-kelamaan, bersama geming, acuh, nyinyir, kata “secara” boleh jadi lazim digunakan menyimpang dari makna kata sesungguhnya, atau makna yang sudah lama lazim dipahami, seperti yang menimpa kata “malam”.
Ketika televisi swasta mulai bermunculan, awal tahun 1990-an, dan rajin menyiarkan pertandingan sepak bola secara langsung, pernah ada seorang pembawa acara membuka perjumpaan dengan salam, “Selamat malam, pemirsa ....” Komentator pengisi acara, seolah melihat sang pembawa acara melakukan dosa besar, langsung menegur, “Bung, ini sudah lewat pukul 00.00, jadi seharusnya selamat pagi.” Lewat tengah malam (dari kata ini sudah jelas bahwa lepas pukul dua belas malam adalah masih malam juga) saya sering mendengar para penyiar radio mengucap salam “Selamat dini hari”. Ada benarnya juga ungkapan bahwa kemajuan teknologi memendekkan malam. Daniel Yergin mengungkapkan malam yang kian pendek, sehubungan dengan minyak, dalam bukunya The Price seperti berikut, “In its first decades, the oil business provided an industrializing world with a product called by the made-up name of “kerosene” and known as the “new light”, which pushed back the night and extending the working day.”
Namun, uraian Yergin lebih bersifat konotatif. Hanya menunjukkan jam kerja yang bertambah panjang, sehingga semakin banyak orang yang bekerja setelah hari berganti malam. Secara bahasa, menurut Merriam-Webster: night, (1) the time from dusk to dawn when no sunlight is visible; (2) a. an evening or night taken as an occasion or point of time <the opening night> b. an evening set aside for particular purpose; (3) the quality or state of being dark, b. the condition or period felt to resemble the darkness of night. Kamus-kamus lain menyampaikan definisi yang sama, dengan redaksi kata-kata yang berbeda. Pengertian-pengertian tersebut berlaku juga untuk konsep malam panjang yang di negeri kita dikaitkan dengan malam Minggu.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia malam adalah “Waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit”. Sedangkan, menurut fikih, hal-hal yang dilarang dilakukan selama puasa boleh dilakukan di malam hari. Artinya, pukul 00:40 bolehlah makan, minum, dan lain-lain yang akan membatalkan puasa jika dilakukan setelah terbit matahari hingga terbenamnya. Pengertian malam yang mempunya konsekuensi hukum umum bisa dijumpai dalam, salah satunya, rangkaian kata-kata berikut, “Barang siapa menjadikan sebagai pencarian untuk memberi tempat bermalam kepada orang lain, dan tidak mempunya register terus-menerus, atau tidak mencatat atau menyuruh catat nama, pencarian atau pekerjaan, tempat kediaman, hari datang dan perginya orang yang bermalam di situ, atau atas permintaan kepala polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, tidak memperlihatkan registes itu, diancam dengan pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 516).” Menurut Pasal 98 kitab undang-undang ini yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
Kendati demikian, bukankah mustahil ada orang yang akan datang ke suatu rapat pukul 00:15 ketika ada undangan lisan, “Besok pagi kita rapat di kantor”? Apakah akan ada penjaga malam yang cukup sinting untuk mengakhiri jam kerjanya pukul 00:01? Apakah ada negara yang cukup bodoh mengakhiri jam malam pada pukul 00:10? Kenapa harus meributkan malam dan kata-kata lainnya yang hanya kata itu? Karena “Pada mulanya adalah kata” (Yohanes 1:1). Karena bahasa menunjukkan bangsa.

* one that assumes false identity or title for the purpose of deception