Air di bumi ini mengulangi suatu sirkulasi yang
terus-menerus yakni penguapan, persipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air yang ada di permukaan
tanah, sungai, danau, dan laut selalu mengalir dan dapat berubah wujud menjadi
uap air sebagai akibat pemanasan oleh sinar matahari dan tiupan angin yang
kemudian menguap dan mengumpul membentuk awan. Pada tahap ini terjadi proses
kondensasi yang kemudian turun sebagai titik-titik hujan atau salju ke
permukaan laut atau daratan. Sebelum tiba ke permukaan bumi sebagian langsung
menguap ke udara dan sebagian tiba ke permukaan bumi.
Sebagian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) dengan mengisi
tanah/bebatuan dengan permukaan bumi yang kemudian disebut akuifer dangkal, dan
sebagian lagi terus masuk ke dalam tanah untuk mengisi lapisan akuifer yang
lebih dalam. Proses ini berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Lokasi
pengisian (recharge area) dapat jauh
dari lokasi pengambilan airnya (discharge
area) yang akan keluar sedikir demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke
permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (groundwater runoff) limpasan air tanah. Sirkulasi antara air laut
dan air darat yang berlangsung terus-menerus secara kontinu ini disebut siklus
hidrologi (hydrologyc cycle) (Santi
Susiloputri dan Savitri Nur Farida, 2009: h. 6–7).
Air meresap ke dalam tanah dan mengalir mengikuti gaya
gravitasi bumi. Akibat adanya gaya adhesi butiran tanah pada zona tidak jenuh
air, menyebabkan pori-pori tanah terisi air dan udara dalam jumlah yang berbeda-beda.
Setelah hujan, air bergerak ke bawah melalui zona tidak jenuh air (zona aerasi). Sejumlah air beredar di
dalam tanah dan ditahan oleh gaya-gaya kapiler pada pori-pori yang kecil atau
tarikan molekuler di sekeliling partikel-partikel tanah. Bila kapasitas retensi
dari tanah pada zona aerasi telah habis, air akan bergerak ke bawah ke dalam
daerah di mana pori-pori tanah atau
batuan terisi air. Air di dalam zona jenuh air ini disebut air tanah.
Air tanah memerlukan energi untuk dapat bergerak mengalir
melalui ruang antar-butir. Tenaga penggerak ini bersumber dari energi
potensial. Energi potensial air tanah dicerminkan dari tinggi muka airnya (pizometric) pada tempat yang
bersangkutan. Air tanah mengalir dari titik dengan energi potensial tinggi ke arah
titik dengan energi potensial rendah. Antara titik-titik dengan energi
potensial sama tidak terdapat pengaliran air tanah.
Air tanah dapat muncul ke permukaan secara alami, seperti
mata air, maupun karena budi daya manusia, yaitu lewat sumur bor. Munculan air
tanah ke permukaan karena budi daya manusia lewat sumur bor dapat dilakukan
dengan menembus saluran tebal akuifer (fully
penetrated) atau hanya menembus sebagian tebal akuifer (partially penetrated) (Santi Susiloputri
dan Savitri Nur Farida, 2009: h. 10, 11, 12).
Dengan demikian, air tanah adalah air yang bergerak dalam
tanah dan terdapat di dalam ruang-ruang antara butir-butir tanah yang membentuk
itu dan di dalam retak-retak dari bebatuan. Yang terdahulu disebut air lapisan
dan yang kedua disebut air celah (fissure
water). Keberadaan air tanah sangat tergantung besarnya curah hujan dan
besarnya air yang dapat meresap ke dalam tanah. Faktor lain yang mempengaruhi
adalah kondisi litologi (batuan) dan geologi setempat. Kondisi tanah yang
berpasir lepas atau batuan yang permeabilitasnya tinggi akan mempermudah
infiltrasi air hujan ke dalam formasi batuan. Dan sebaliknya, batuan dengan
sementasi kuat dan kompak memiliki kemampuan untuk meresapkan air kecil. Dalam
hal ini hampir semua curah hujan akan mengalir sebagai limpasan (runoff) dan terus ke laut. Faktor
lainnya adalah perubahan lahan-lahan terbuka menjadi pemukiman dan industri
serta penebangan hutan tanpa kontrol. Hal tersebut akan sangat mempengaruhi
infiltrasi terutama bila terjadi pada daerah resapan (recharge area) (Santi Susiloputri dan Savitri Nur Farida, 2009: h.
6).
Air tanah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut
seluruh air yang berada di bawah permukaan tanah. Hampir di mana pun di
permukaan tanah di dunia ini lubang galian yang cukup dalamnya akan
menghasilkan air, bahkan di Gurun Sahara yang menjadi simbol kekeringan absolut
itu. Air tanah di padang pasir yang naik ke permukaan atau mendekati permukaan
menghasilkan daerah subur di tengah samudera pasir. Itulah yang lazim disebut
oasis. Air yang dapat dimanfaatkan sebagai air minum terdapat di dalam tanah –
dalam jumlah tertentu, dalam bentuk tertentu, pada kedalaman tertentu – hampir
di mana pun di bumi ini. Sesungguhnya, hampir seluruh persediaan air tawar di
dunia – tiga juta kilometer kubik atau 97 persen lebih dari seluruh persediaan
– terdapat dalam bumi.
Air yang berada di dalam tanah terus-menerus bergerak,
dan sebagian besar naik dalam lapisan pengandung air – yang bertindak seperti
pipa sumur yang tertutup – sampai timbul tekanan yang cukup untuk
mengalirkannya ke permukaan dalam mata air atau anak sungai. Air juga bisa naik
karena dipompa oleh tumbuh-tumbuhan atau manusia. Bagian terbesar, yang
berjalan dengan tidak terlihat itu, menyediakan banyak sekali air yang dipakai
untuk minum, mencuci dan pemrosesan dalam industri.
Pergerakan terus-menerus air itu mematuhi hukum umum
fisika dan kimia. Gravitasi menarik air dari langit, menyeretnya ke bawah,
hingga di permukaan tanah, menyebarkannya ke semua lapisan yang dapat ditembus
dan mempengaruhi arah yang akan diambilnya selagi mengalir. Di mana pun curahan
menyentuh bumi, sebagian pasti meresap. Air meresap ke bawah hingga terhalang
batuan tak berpori pada kedalaman tertentu. Air juga menyebar mendatar sehingga
menjenuhi bagian bumi yang luas. Semua lapisan di atas batuan dasar tak
tertembus ini menyimpan air tanah.
Air yang meresap ke dalam tanah tersebut bisa jadi tidak
segera kembali ke daur hidrologi selama berpuluh-puluh tahun, beratus-ratus
tahun atau bahkan beribu-ribu tahun lamanya. Bumi menyimpan lebih dari 8,3 juta
kilometer kubik air tanah di bawah permukaannya – 37 kali lebih banyak dari
yang terdapat di permukaan tanah, dalam danau atau sungai. Cepat atau lambat,
sepuluh tahun atau ribuan tahun kemudian, semua molekul air yang meresap ke
dalam tanah akan masuk ke daur hidrologi tak berkesudahan itu. Jalur yang
ditempuh bisa melalui mana saja, mata air, pipa pengeboran, menguap melalui
tumbuhan atau manusia. Dan daur hidrologi pun berulang tak kenal henti. Inilah
sebabnya air tanah sering disebut sebagai sumber daya air terbarukan (renewable).
Sesungguhnya air tanah merupakan sumber daya alam yang
terbarukan bila keseimbangan pasokan dan pemanfaatannya terjaga dengan baik.
Oleh karena itu air tanah harus dikelola berdasarkan asas kelestarian,
keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
kemandirian, transparansi dan akuntabilitas. Karena itu, air tanah juga harus
dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan. Semuanya demi menjamin
tersedianya air tanah, yakni dengan memperhatikan tersedianya air tanah, yakni
dengan memperhatikan pemanfaatan yang berkelanjutan. (Budi Mantoro, 2009).
Walaupun sumber daya air dapat diperbarui,
ketersediaannya tetap terbatas, kuantitas dan kualitasnya tergantung pada
terjaminnya keberlangsungan siklus hidrologi yang memadai (Emil Salim, 1993:
193). Lebih jauh, sekalipun air tanah merupakan sumber daya terbarukan, jika
mengalami kemerosotan kuantitas dan kualitasnya khususnya di daerah lepasan (discharge area) yang jauh dari daerah
imbuhan (recharge area), proses
pemulihannya bisa memakan waktu sangat lama, bisa mencapai ratusan tahun,
bahkan ribuan tahun (Sihwanto, 2004: 4).
Pemanfaatan yang terus meningkat dan berkelanjutan telah
menimbulkan berbagai masalah yang perlu dihadapi serta diatasi secara terpadu.
Sebagai sumber daya alam yang terbarukan (renewable
natural resources), daya dukung sumber air yang penting perlu dikaji dan
dipantau secara terus-menerus dan terencana. Adapun dampak pemanfaatan air yang
masih terus mengandalkan air tanah secara berlebihan telah menimbulkan berbagai
masalah terhadap kondisi air tanah maupun lingkungan sekitarnya seperti
penurunan muka air tanah yang berlanjut dan perubahan mutu air tanah suatu
daerah akibat penyusupan air laut/air asin serta dibarengi dengan penurunan
muka air tanah (land subsidence)(Budi
Tjahjadi, tt: 11).
Terakhir, air tanah terbentuk atau mengalir
(baik secara horisontal maupun vertikal), dari titik /daerah imbuh (recharge),
seketika itu juga pada saat hujan turun, hingga membutuhkan waktu harian,
mingguan, bulanan, tahunan, puluhan tahun, ratusan tahun, bahkan ribuan tahun,
tinggal di dalam akuifer sebelum muncul kembali secara alami di titik/daerah
luah (discharge). Oleh sebab itu, kalau dibandingkan dalam kerangka waktu umur
rata-rata manusia, air tanah sesungguhnya adalah salah satu sumberdaya alam
yang “tak terbarukan”. Pemaknaan “tak terbarukan” ini pada intinya dimaksudkan
agar penggunaan air tanah tidak dilakukan dengan cara tidak semena-mena. Tentu
saja sifat alami air tanah tetap merupakan sumberdaya alam yang terbarukan,
sehingga upaya-upaya konservasi tetap harus dijalankan untuk menjamin
keberlanjutan kemanfaatan dan keterdapatan air tanah. (Soetrisno, 2002).
Pengelolaan air tanah yang lestari dan berkelanjutan
memerlukan perhatian terhadap input air tanah yang harus lebih besar dari
pemanfaatan air tanah. Imbuhan air tanah tergantung pada faktor iklim dan aspek
penyusun bentuk lahan, sedangkan pemanfaatan air tanah tergantung pada aspek
penyusunan satuan lahan dan peraturan masyarakat dan pemerintah.
Sumber gambar:
Bahan Bacaan
Budi
Mantoro, Mengendalikan Pemakaian Air Tanah dengan Sumur Pantau, Warta Mineral, Batubara & Panas Bumi,
edisi 3 April 2009.
Budi
Tjahjadi, Sistem Pengelolaan Air Bawah Tanah, makalah, (tanpa tahun).
Emil Salim, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Cet.
Ke-6, LP3ES, Jakarta, 1993
Luna B.
Leopod, Kenneth S. David dan para editor Pustaka Time-Life, Air, Tira Pustaka, Jakarta, 1983..
Santi
Susiloputri dan Savitri Nur Farida, Pemanfaatan
Air Tanah Untuk Memenuhi Irigasi Di Kabupaten Kudus Jawa Tengah, Laporan Tugas
Akhir, Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, Semarang,
2009.
Sihwanto, Konservasi Air Tanah Kabupaten Semarang,
Direktorat Geologi Tata Lingkungan Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral
Departemen Pertambangan dan Energi, Bandung, 2000.
Soetrisno,
S. ASPEK HUKUM DAN KELEMBAGAAN
PENGELOLAAN AIR TANAH DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH, Makalah
pegangan untuk Pelatihan Manajemen Air Bawah Tanah di Wilayah Perkotaan yang
Berwawasan Lingkungan, Jurusan Geologi, Fakultas Teknik UGM – Bappeda Provinsi
Bali, Yogyakarta 15 – 27 September 2002.
Suharjo,
Drs., M.S., Absori, Prof., Dr., M.S., Agus Anggoro Sigit, S.Si., MSc., Munawar
Cholil, Drs., M.Si., Model Pengelolaan
Air Tanah Daerah Lereng Gunung Merapi Di Kabupaten Klaten Jawa Tengah, Usulan Penelitian Unggulan
Perguruan Tinggi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Oktober 2014.
No comments:
Post a Comment