Turun dari bus Khai Nam di dekat perempatan Jalan Nguyen
Trai, dengan yakin saya mendekati perempatan karena ingat pernyataan seseorang
di sebuah blog travelling (mungkin kata
perjalanan itu dianggap sungguh ndeso), “Pham Ngu Lao Street tidak jauh dari
pemberhentian bus.” Saya bertanya kepada seorang pembantu restoran yang
menemani juru masak memanggang ikan di mana Pham Ngu Lao Street itu. Benarlah
kata banyak orang betapa bahasa Inggris orang Vietnam di luar kawasan wisata
sangat mengharukan. Dia hanya nyengir sambil menggerak-gerakkan tangan sebagai
tanda tidak tahu. Ketika seorang bertampang pegawai bank yang mengenakan name tag hendak menyeberang, saya kejar
dia dan menanyakan di mana Pham Ngu Lao Street. Masa ya pegawai bank nggak
ngerti bahasa Inggris? Benar saja, dia menjawab, “Wah, jauh dari sini, lima
kilometer ke sana, naik taksi saja” sambil menunjuk arah timur. Saya
benar-benar berterima kasih kepadanya. Lima kilometer? Itu yang menulis blog
paham tidak maksud dekat? Klaten memang dekat dengan Yogyakarta, daripada Maluku,
tetapi kalau jalan kaki ya terima kasih banyaklah. Belakangan saya tahu bahwa
bus antarkota dalam negeri memang berhenti dan menurunkan penumpang di Jalan Pham Ngu
Lao, bukan dekat lagi. Persis di samping taman kota Pham Ngu Lao. Juga dekat
kalau turunnya dari bus kota jalur 152 yang berhenti di Pasar Ben Thanh.
Taman Pham Ngu Lao, Kota Ho Chi Minh |
Sambil menggerutu kesal dengan penulis blog yang infonya
tak akurat itu saya terus berjalan ke timur menyusuri Jalan Nguyen Trai. Dan
saya teringat perkataan Mazlan Zonan di PhnomPenh bahwa di bawah lima belas kilometer lebih baik berjalan kaki, mumpung
masih muda (Dari pemberhentian bus di luar kota Siem Reap dia berjalan kaki ke
pusat kota, sekitar 6 kilometer). Meski tak semuda Bung Mazlan, kalau cuma lima
kilometer masih sangguplah saya. Mendadak saya tertawa getir teringat akun
seorang gadis yang mem-posting meme
berikut:
Menyedihkan sebab di akun yang asli ... Tapi ya mau
bagaimana lagi, ada orang yang hanya bisa bahagia dengan dusta permanen.
Sudah jauh rasanya berjalan dan belum tampak tanda-tanda
kawasan turis dalam rupa bule-bule backpackers
berkeliaran saya bertanya kepada seorang pemuda Vietnam yang berjalan searah
dengan saya. Jawabannya: tidak tahu. Kenapa orang-orang Vietnam ini, masa
ditanya daerahnya sendiri tidak tahu? Semangat saya tak jadi redup melihat dua
bule yang sedang membaca buku panduan wisata. Saya tanya. Tidak tahu juga.
Mungkin mereka turis kelas harum mewangi yang berwisata ikut paket agen
perjalanan.
Di sebuah perempatan, saya lihat sepasang bule sedang
asyik memotret segala macam. Saya tanya kepada bule perempuan yang tidak
memotret. Jawabnya “I don’t know.”
Saya tambahi pertanyaan dengan keterangan bahwa Pham Ngu Lao adalah kawasan di
mana para backpackers mangkal,
kawasan turis yang terkenal di Ho Chi Minh City itu lho. Jawab si ibu, “Je ne parle pas anglais.” Saya ulangi
pertanyaan berikut penjelasannya itu dalam bahasa Prancis, lah dia malah
melengos dan berlalu. Nggak ngomong Inggris apaan? Lha I don’t know itu emang bahasa Klingon? Sudah lama saya tahu tentang
kepongahan sauvinistis orang Prancis terkait bahasa. Tetap terpana ketika saya
mengalami sendiri. Teringatlah saya pada ibu direktur Goethe Institute (tahun
2007-an) Jakarta ketika mengomentari kecongkakan orang Prancis yang enggan
menggunakan program komputer berbahasa Inggris, “Tapi memang begitulah orang
Prancis.”
Saya kembali berjalan dengan ransel yang putus satu tali
cangklongannya. Dari jauh tampak seorang pria jangkung bertampang anak benua
India, saya tanya saja ketika kami berpapasan. Katanya sambil menunjuk ke arah
timur, “Di sana ada pasar, nah di sekitar situlah banyak penginapan murah.”
Alhamdulillah. Setelah mengucap terima kasih kepada pria anak benua itu saya
mempercepat langkah. Benar saja, tak lama kemudian saya menjumpai papan nama
ini di persimpangan jalan.
Gembira menjumpai papan nama Pham Ngu Lao, saya luput memperhatikan
arah kanan di mana pasar yang ditunjukkan pria Asia Selatan tadi berada. Saya
langsung menyeberang dan beranggapan itulah jalan Pham Ngu Lau yang tersohor.
Tetapi tak satu pun hostel saya jumpai. Cuma ada satu hotel sungguhan sesudah
saya menyusuri jalan kecil dengan kios-kios spanduk, vandel, stempel dan
lain-lain berderet-deret. Sampai masuk gang-gang kecil tetap tak ada kawasan
seperti yang saya bayangkan. Akhirnya saya melihat seorang bule yang sedang
duduk menikmati es sari tebu. Kata-katanya adalah penawar letih karena berjalan
kaki, lebihlah kalau lima kilometer saya rasa. “Percayalah padaku, Kawan. Aku lama
tinggal di sini. Lurus saja, di seberang persimpangan itu ada pasar, banyak
sepeda di depannya. Di belakang pasar itu banyak sekali penginapan murah. Jangan
cari di sekitar sini, adanya hotel mahal-mahal” katanya diiringi tawa
bersahabat. Berterima kasih, saya menjabat tangan lelaki Italia itu. Pham Ngu
Lau, selain nama jalan, adalah nama distrik.
Yang pertama saya datangi adalah Saigon Backpacker
Hostel, 8 USD semalam. Nanti dululah. Ada juga yang menawarkan harga 8 USD satu
jam. Di Siem Reap saya diberitahu seorang
pelancong Filipina bahwa di Kota Ho Chi Minh dia menginap di Eco Backpacker
Hostel, tarif seharinya 4 USD, ada komputer dengan sambungan internet gratis
pula. Karena sudah tak kuasa lagi berjalan mencari-cari, akhirnya saya memesan
tempat tidur model asrama (dormitory)
di Dormitory Guesthouse di Jalan Bu Vien. Dan tempatnya tidak menyenangkan,
tarifnya 5 USD. Ketika saya mendapat email berisi permintaan untuk menulis
ulasan tentang penginapan oleh tripadvisor, saya tulis saja betapa tidak menyenangkannya
Dormitory Guesthouse ini. Dikelola oleh kaluarga yang mahal senyum, bahkan
nanya password wifi saja diisikan oleh anak yang punya hostel. Sesuatu yang tidak
lazim. Karena dikelola keluarga ya malam tutup meski ada keterangan check in 24 hours. Tentu saja ulasan
saya tidak dimuat, beda dengan ulasan saya tentang OneStop Hostel Siem Reap yang
memang dikelola secara profesional. Nggak paham juga saya dengan kebijakan tripadvisor,
memangnya semua penginapan harus diulas penuh sanjungan?
Bagaimanapun juga, hostel yang berada di lantai dua di
atas toko Pizza Rex itu berada di lokasi strategis memang. Persis di depannya terdapat
rumah makan Mumtaz. Dari namanya saya yakin menyediakan hidangan halal. Saya
pun memesan nasi biryani. Cuma ketika makan agak heran juga melihat bule minum
bir di meja lain. Selesai makan, iseng-iseng saya membuka menu: pork ini, pork
itu ada juga ternyata. Lah, mana tahu masaknya tidak memakai wajan yang sama?
Itu kunjungan pertama dan terakhir saya.
Setelah makan, saya mencari warnet. Di jalan yang sama dengan
Dormitory Guesthouse ada biro perjalanan yang menyewakan komputer dengan koneksi
internet. Tarifnya 25.000 dong satu jam. Mahal, sejam sekitar lima belas ribu
rupiah. Saya mencari warnet lain sambil mencari di mana Eco Backpacker Hostel
berada. Keluar masuk gang kecil-kecil antara Jalan Bu Vien dan Jalan Pham Ngu
Lao akhirnya saya menemukan Eco Backpacker Hostel, besoklah saya pindah ke
situ. Lalu di jalan yang paralel dengan jalan di mana hostel yang saya cari itu
berada, saya menemukan warnet dengan tarif 10.000 dong perjam. Sekitar 6.000
rupiah itu. Boleh juga. Dan boleh merokok. Hore. Pekerjaan saya selesai di
Saigon :D
Menjelang subuh saya pulang ke Dormitory Guesthouse dengan
niat salat subuh di sana karena belum tahu di mana Musulman Mosque tepatnya
berada. Penginapan itu masih tutup. Terpaksalah saya menunggu, mondar-mandir di
jalan dan bertemu bule-bule pulang dari bersuka ria dengan botol-botol di
tangan. Tak juga buka hingga matahari nyaris terbit, akhirnya saya salat di
jalan. Tentu saja tayamum. Sekitar pukul setengah sembilan saya baru masuk ke
penginapan, tidur-tidur ayam, mandi, lalu check
out sebelum jam sebelas siang.
Di gang kecil di dekat Eco Backpacker Hostel saya singgah
di Taj Mahal Restaurant. Saya sangat menyukai rumah makan sederhana milik Pak
Malik Muhammad Zaman ini. Selain kehalalannya meyakinkan, banyak hal menarik
saya jumpai di sana. Misalnya orang-orang Pakistan yang berdebat dengan orang-orang
India soal pertumbuhan ekonomi negeri mereka masing-masing. Orang India yang berkeras
mengatakan kepada saya bahwa pusat Jama’ah Tabligh itu di negaranya. Para
pengusaha Arab yang berunding sambil makan.
Meski bernama Taj Mahal, sebetulnya pemilik rumah makan
ini orang Pakistan.
Menjelang sore saya memesan tempat di Eco Backpacker
Hostel, berbeda dari informasi yang daya peroleh dari turis backpacker Filipina di Siem Reap,
tarifnya 6,5 dolar AS semalam. Tak apalah, saya ingin tidur beneran. Tidak
berminat berjalan-jalan, saya duduk-dukuk saja di depan hostel. Mengobrol dengan
tukang ojek yang menawari ganja, pijat plus-plus, dan hal-hal lain yang buat
apa saya lakukan di negeri jauh. Kalau mau begitu di negeri sendiri juga
melimpah hahaha. Berbagi cerita dengan backpacker
Kanada yang energik, juga memperhatikan mbak-mbak resepsionis yang cakep ketika
menggunakan bahasa Inggris dan menjadi aneh ketika bercanda sesama mereka dalam
bahasa Vietnam. Saya jadi teringat kata Hari Prabowo teman saya yang pernah
punya cerita dengan gadis Vietnam. Kata dia, “Ayu-ayu, ning nek ngomong kaya wong ketekak (Cantik-cantik sebetulnya,
cuma kalau bicara persis orang tercekik). Ada-ada saja hahaha. Bagaimanapun juga,
ketika menggunakan bahasa Prancis, mereka luar biasa. Ya tapi mungkin saja orang
asing punya pandangan serupa terhadap gadis cantik Jawa ketika berbahasa Jawa.
Saya tidak memperpanjang masa menginap meski pesawat saya
baru berangkat keesokan harinya. Saya berniat membuktikan keterangan seseorang yang
menuliskan di blog pengalamannya tidur di Bandar Udara Internasional Tan SonNhat. Sehabis check out, saya kembali
makan di Taj Mahal. Begitu masuk pelayan (yang tampaknya masih keluarga
pemilik) mengucap “Assalamu alaikum.” Mestinya saya yang salam karena masuk
tempat orang. Mungkin karena saya tidak terbiasa mengucapkan salam ketika masuk
ke rumah makan milik orang Islam. Kepadanya saya tanyakan di mana masjid
terdekat. Dia bilang di samping Hotel Sheraton. Saya pernah membaca tulisan di
blog berbahasa Inggris bahwa orang harus tinggal di Kota Ho Chi Minh minimal
tujuh hari untuk menumbuhkan rasa cinta bagi kota yang juga disebut Saigon ini.
Saya tidak mau tinggal di kota ini selama itu sekadar untuk menghayati kehidupan
masyarakat Saigon khususnya dan Vietnam pada umumnya. Saya tak punya romantisme
semacam itu. Beda orang beda kepala memang. Tetapi, makan di restoran Taj Mahal
inilah barangkali hal yang paling mengesankan bagi saya di Kota Ho Chi Minh.
Kemudian saya berjalan kaki menyusuri taman Pham Ngu Lao
menuju Pasar Ben Thanh untuk membelikan istri saya sandal. Kesalahan besar
menyuruh saya belanja mengingat saya tidak bisa menawar harga :D Tapi ya
lumayanlah, sandal yang ditawarkan 250.000 dong diturunkan menjadi 100.000
dong. Tampaknya orang Malaysia biasa berbelanja ke pasar ini, para pedagang
umumnya menawarkan dagangannya kepada saya dalam bahasa Melayu.
Hujan turun cukup deras. Setelah reda, saya berjalan ke
timur mencari Kantor Pos Saigon untuk membeli suvenir-suvenir yang dijual dengan
harga pas.
Keluar dari kantor pos sentral Ho Chi Minh saya berjalan
kaki ke selatan (arah kiri dari kantor pos) mencari masjid Musulman yang terletak
di sebelah timur Hotel Sheraton. Setelah berjalan cukup jauh, sampai juga
akhirnya. Hujan turun lagi. Lebih deras daripada yang tadi. Ketika hendak mengambil
air wudlu, seorang turis bertanya di mana letak kamar kecil. Saya tunjukkan,
lalu dia bilang, “syukran.”
Setalah hujan reda, saya keluar masjid menuju pangkalan
bus kota di Ben Thanh. Berjalan bersama si musafir yang tadi juga salat di
Musulman Mosque, saya tanya dari mana dia dalam bahasa Arab. Cuma dalam beberapa
langkah kami bercakap-cakap dalam bahasa Arab. Orang Aljazair itu berpindah menggunakan
bahasa Inggris. Barangkali dia iba dengan bahasa Arab saya yang kacau balau :D
Sampai di Ben Thanh kami bersalaman dan mengucapkan selamat berpisah, saya ke
pangkalan bus, dia kembali ke hotelnya.
Di banyak blog yang saya baca, ongkos bus kota 152 dari
Pasar Ben Thanh ke bandara adalah 6.000 dong. Ketika saya menyerahkan uang
sejumlah itu, si sopir mengatakan sesuatu dalam bahasa yang tidak saya mengerti.
Dia menunjuk-nunjuk uang. Akhirnya saya keluarkan uang 20.000 dong. Ternyata saya
harus membayar 10.000 dong, walaupun karcisnya tertulis 5.000 dong.
Saya tanya turis Cina di bangku belakang berapa dia
bayar. 12.000 dong. Katanya karena membawa tas besar. Padahal ya ransel kami normal-normal
saja. Begitulah.
No comments:
Post a Comment