Sewaktu googling
mencari tahu adakah kapal penumpang dari Malaysia Timur ke Malaysia Semenanjung
saya mendapati situs Mark Smith yang mengampanyekan perjalanan tanpa
penerbangan. Kata Pak Smith, “... but
flying is not a real traveling. [...] Any travel agent will recommend you to
fly fly fly and fly.” Pemilik situs www.seat61.com ini memang menakjubkan dedikasinya di bidang perjalanan
tanpa penerbangan, khususnya kereta api. Maklumlah, Pak Smith ini pegawai
jawatan kereta api di negeri Inggris sana. Di situs web-nya dia menguraikan
secara terperinci tentang seluk beluk perkeretaapian di seluruh dunia, tak
terkecuali uraian detail tentang perjalanan dengan kereta api di Indonesia.
Perjalanan darat dengan kereta api dan bus di Asia Tenggara digambarkan dengan
sangat jelas, hingga cara membeli tiket dan berbagai tips lainnya. Bahkan,
untuk tujuan yang tidak ada kereta api atau bus, misalnya dari Bali ke
Australia, disediakan keterangan dari blog milik orang yang bepergian dari
London ke Australia tanpa penerbangan. Tentu saja harus dengan kapal laut.
Tetapi karena zaman kapal penumpang sudah lewat, blog tersebut mengisahkan
pengalaman penulisnya menyeberang Singapura ke Batam dengan perahu cepat (speedboat) yang disambung dengan kapal
PELNI dari Batam ke Jakarta, lalu diteruskan dengan kereta api hingga
Banyuwangi, menyeberang Selat Bali dengan feri, dan Benoa ke Australia dengan
menumpang yacht. Pak Smith
mengomentari sarana transportasi laut kita yang tidak menggembirakan, bahkan
jadwal kapal Pelni di internet pun tidak bisa diandalkan. Dia benar.
Karena tidak ada kapal laut yang memungkinkan saya
melakukan perjalanan tanpa penerbangan menyusuri Kalimantan – Filipina –
Malaysia Timur, Malaysia Semenanjung keinginan saya untuk memulai perjalanan
dari Semarang naik kapal ke Pontianak dan seterusnya saya urungkan. Sebetulnya
pernah ada kapal cepat dari Pontianak ke Kepulauan Riau, tetapi baru dua kali
beroperasi langsung dihentikan karena sepi penumpang. Di situs-situs pelancong
tanpa penerbangan sebetulnya ada penjelasan tentang bepergian dengan kapal
kargo, yang bisa saya pilih untuk menuju Manila dari Jakarta. Tetapi biaya
sehari 100 USD itu menyurutkan niat saya sesurut-surutnya.
Tampaknya perjalananan darat dan laut keliling Asia
Tenggara daratan seperti yang dipaparkan Pak Smith mengasyikkan juga, dan masuk
akal ongkosnya. Saya tidak menentang kontribusi tinggi emisi karbon pesawat
terbang segigih para flightless travellers.
Menentang atau menghindari penggunaan sesuatu karena pertimbangan ideologi
belum masuk dalam prioritas saya sebagai warga dunia ketiga, tetapi saya
menyepakati pandangan mereka: “Apa yang bisa dinikmati dari perjalanan dengan
ketinggian 35.000 kaki?”
Saya putuskan untuk menempuh perjalanan dengan tujuan
perjalanan itu sendiri. Saya bukan penggemar tempat wisata memang. Perjalanan
saya akan dimulai dengan kereta api (bisa Taksaka, Argo Dwipangga, Senja Utama, atau Fajar Utama) menuju Jakarta. Di ibu kota republik ini saya hendak memenuhi janji bertemu teman-teman lama dan menjaga relasi dengan beberapa penerbit yang memberi saya pekerjaan secara lepas (freelance). Beberapa hari kemudian saya akan naik bus antarkota antarprovinsi (rencananya Lorena, karena saya hafal di mana letak pool-nya) dari Jakarta ke Jambi. Dari
Jambi naik travel ke Tembilahan untuk mengunjungi paman yang sudah puluhan
tahun tak saya jumpai. Dari Tembilahan naik kapal cepat ke Batam, menjumpai
teman asal Banyubiru, Widodaren, Ngawi, Jawa Timur yang menjadi guru di sana. Lalu menyeberang ke Johor Bahru
untuk bersilahturahim dengan sepupu yang bekerja di sana. Dari Johor saya akan mengawali
perjalanan darat dengan kereta api hingga Aranyaprathet, lalu menyeberang
perbatasan Thailand dan Kamboja dengan tuk-tuk dan bus. Sesampai di Siem Reap kemudian
menyusuri Sungai Mekong dengan kapal cepat ke Phnom Penh. Dari Phnom Penh ke
Kota Ho Chi Minh (d/h Saigon) perjalanan dilanjutkan dengan bus kembali. Dari
Ho Chi Minh, dengan pertimbangan sudah letih menempuh perjalanan darat, saya akan
naik pesawat ke Singapura dan dilanjutkan dengan pesawat lagi ke Yogyakarta.
Pesawat terbang tetap bukan untuk musafir sejati bagi saya, tetapi itulah cara
tercepat untuk pulang. Sayangnya rencana ini tidak sepenuhnya terlaksana. Tidak
selamanya perjalanan darat lebih murah dari perjalanan dengan penerbangan.
Kecuali Anda fanatikus Garuda yang tidak mau naik maskapai selainnya, apalagi
maskapai untuk kaum “kere”. Berikut perhitungan saya.
Tiket kereta api Senja Utama dari Yogyakarta ke Jakarta
sekitar 280 ribuan, tiket bus Jakarta – Jambi sekitar 500 ribuan. Jambi –
Tembilahan ongkosnya 110 ribuan dengan travel. Kapal cepat dari Tembilahan ke
Batam tiketnya sekitar 590 ribuan. Dengan kapal cepat, ongkos ke Johor Bahru
dari Batam sekitar 250.000 atau 300.000 rupiah. Biaya makan, penginapan, dan
lain-lain belum dihitung. Belum lagi kalau tiket kereta api tidak tersedia,
tentu saya harus menginap dan itu menambah ongkos. Saya mencoba booking ke website KTM (Kereta Tanah
Melayu), sekadar memeriksa ketersediaan tiket. Ternyata tidak ada tiket untuk
tanggal yang saya maksud dan beberapa hari berikutnya. Kalaupun ada saya juga
mustahil bisa membayar karena tidak punya kartu kredit.
Sementara itu tiket Yogyakarta – Kuala Lumpur dengan Air
Asia hanyalah Rp 477.103. Apa boleh buat. Saya ambil pilihan ini dengan
pertimbangan keuangan dan mengabaikan saran teman saya agar tidak naik Air Asia
karena hanya memperkaya orang Malayisa. Tak apalah, saya tidak punya persoalan dengan
saudara serumpun kita itu. Untuk pulangnya, saya memilih penerbangan dari Kota Ho
Chi Minh – Singapura seharga Rp578.619. Dari Singapura saya akan naik kapal
cepat ke Batam. Dari Batam saya akan naik kapal cepat ke Tembilahan, lalu ke
Jambi dan menempuh perjalanan darat dengan bus ke Jakarta. Setelah beberapa
hari di Jakarta, saya berencana naik kereta api atau bus malam untuk pulang ke Yogyakarta.
Ini pun tak sepenuhnya berhasil. Itu sebabnya saya paling malas booking penginapan secara online. Kapan
tiba di tempat yang dimaksud saja tidak bisa dipastikan. Saya yakin saja pasti
ada tempat beristirahat di tujuan nanti.
Akhirnya, saya kagum dengan para backpacker yang mencari tiket promo penerbangan jauh-jauh hari
sebelumnya. Bahkan ada yang setahun sebelumnya sudah mendapat tiket untuk piknik.
Teman saya, dengan kegigihan mencari tiket promo yang menakjubkan, mendapat tiket
Yogyakarta – Kuala Lumpur pulang pergi hanya Rp300.000. Mendapatkan tiket murah
saya berhasil (Yogyakarta – Kuala Lumpur), tetapi gagal total menyelesaikan
pekerjaan yang saya perkirakan sudah selesai jauh sebelum hari keberangkatan. Netbook pinjaman adik ipar saya ternyata tidak kuat diajak bekerja maraton menyelesaikan terjemahan 500-an halaman pada waktunya.
Saya putuskan tetap berangkat, setelah googling
dan mendapat informasi bahwa di dekat KL Sentral ada warnet murah. Lagi pula,
perjalanan ini saya yakini baik untuk orang seperti saya yang bekerja di rumah.
Rabun dekat afektif bukan hal yang langka di kalangan pria berkeluarga.
Dari rumah ke Bandara Adisutjipto saya diantar istri dan
anak bungsu saya. Sebetulnya lebih mudah kalau saya diantar sampai Kentungan,
lalu naik Trans Jogja jalur B3 jurusan bandara. Tetapi membayangkan anak bungsu
saya bergembira melihat pesawat dari dekat adalah sesuatu yang membahagiakan.
Jalan Solo dilihat dari udara |
Catatan:
- Ternyata sudah tidak ada lagi biaya airport tax, katanya sudah dimasukkan dalam harga tiket.
- Ada layanan bus gratis dari terminal domestik ke terminal internasional di Bandara Adisutjipto.
- Rupanya parkir motor menginap berhari-hari sudah tidak diperbolehkan lagi di bandara ini.
- Gambar diambil dengan kamera hp Samsung, silakan dipakai bila mau.
- Catatan selanjutnya Semalam di Malaysia
No comments:
Post a Comment