“Naik
bus atau kereta api juga tidak membuat orang memahami budaya masyarakat yang
kita lewati, kita cuma melihat sekilas karena kendaraan melaju kencang,” kata
seorang peminat tempat-tempat wisata yang didatangi dengan penerbangan.
Tampaknya dia tidak terima dengan pernyataan bahwa flying is not real travelling, hanya mengantar orang dari satu
titik ke titik lain tanpa nilai lebih perjalanan yang bisa diperoleh untuk
memperkaya pengalaman hidup. Iyalah, Nek, mau memahami budaya suatu masyarakat
memang tidak bisa dengan perjalanan tetapi belajar saja antropologi. Atau
tinggal bersama masyarakat yang dimaksud untuk waktu lama. Bagaimanapun juga
kisah-kisah dan pemandangan menarik yang saya dapati dalam perjalanan dari
Kuala Lumpur ke Hat Yai hingga Bangkok dan Aranyaprathet tidak akan saya
peroleh sekiranya saya naik pesawat dari Jakarta ke Bangkok, lalu terbang lagi
ke Siem Reap. Sekali lagi, yang menarik bagi saya adalah pengalaman perjalanan
itu sendiri, bukan tujuannya, apalagi objek wisata.
Ketika matahari sepenggalahan kereta api sudah sampai di
bagian utara Semenanjung Malaysia. Tampak pagar besi mengapit jalur kereta api.
Sejauh yang terlihat pagar itu tidak ada yang dijebol atau dirobohkan untuk
orang melompat. Sesekali kereta melewati jembatan penyeberangan orang di atas rel.
Pagar pembatas sepanjang jalur kereta api, Malaysia utara. |
Suasana pedesaan Malaysia menjelang perbatasan dengan
Thailand menunjukkan tingginya tingkat kemakmuran di sana. Mungkin karena
penduduk negara ini sedikit, tampak dari sepinya orang lalu lalang di sepanjang
kiri kanan jalur kereta api. Sesekali saja terlihat petani membajak sawah dengan traktor
(beroda empat, bukan traktor tangan seperti yang lazim di tempat kita). Kereta
Express Peninsular, walaupun menyandang nama ekspres, berhenti di hampir setiap
stasiun. Tetapi hanya untuk menurunkan penumpang, bukan menunggu kereta yang
datang dari arah berlawanan (kres). Tak lama. Perjalanan dengan kereta api di
Malaysia utara ini sangat nyaman, hampir tak terasa guncangan di kereta api
selama perjalanannya yang panjang. Walaupun lokomotif dan gerbong yang dipakai
tak lebih baik dari yang ada di negeri kita, harus diakui kualitas rel dan
sistem perkeretaapian Malaysia secara keseluruhan lebih baik.
Menjelang tengah hari kereta tiba di stasiun Padang Besar
di mana para penumpang harus mengurus keimigrasian meninggalkan Malaysia dan
masuk ke wilayah Thailand (orang Malaysia menyebut negeri ini Siam, dulu kita
juga). Di stasiun perbatasan ini lokomotif penarik rangkaian gerbong Malaysia
berhenti dan digantikan dengan lokomotif milik State Railway of Thailand.
Petugas imigrasi di mana-mana sama saja, formal, kaku,
menimbulkan kesan tegang. “Proses keimigrasian,” kata MJA Nasir, teman saya
peneliti ulos Batak, “adalah proses dehumanisasi.” Dengan seragam cokelat tua
ketat mereka, para petugas imigrasi Thailand terkesan lebih kaku dibanding
sejawat Malaysia mereka. Dengan tegas seorang petugas perempuan menyuruh seorang
turis bule kembali ke Penang untuk mengurus visa. Setelah urusan paspor saya selesai (kita mendapat izin berada di Thailand hanya 15 hari jika masuk melalui jalur darat), saya dapati si turis sedang duduk di ruang tunggu tiket KTM, mungkin dia
memesan tiket ke Penang. Hal semacam itu tak akan menimpa kita warga negara
Indonesia karena kita bebas masuk ke semua negara anggota ASEAN tanpa visa
(entah Myanmar, kabarnya masih dibutuhkan visa
on arrival untuk masuk ke sana). Karena penumpang yang hendak ke Hat Yai
tak banyak, tugas aparat imigrasi Thailand selesai dalam waktu singkat. Dan
mereka kembali menjadi seperti umumnya orang yang ramah dan manusiawi.
Ruang imigrasi Thailand yang lengang setelah pemeriksaan paspor selesai. |
Kepada seorang petugas imigrasi Thailand berjilbab saya
bertanya sambil menunjuk rangkaian gerbong tanpa loko apakah ini kereta ke Hat
Yai. Dalam bahasa Melayu dia menjawab, “Ya, tapi jangan naik dulu. Ke atas
saja, makan-makan dulu.”
Saya naik ke lantai atas. Ada semacam kafetaria dipenuhi
bendera-bendera Malaysia. Ya, stasiun Padang Besar memang masih sepenuhnya
berada di wilayah Malaysia. Malaysia berbagi tempat di stasiun itu untuk kantor imigrasi dan kantor Kereta Api Negara Thailand.
Setelah makan di warung yang menerima pembayaran dengan
uang ringgit dan bath, saya turun ke peron untuk melihat-lihat suasana. Saya
menjumpai petugas imigrasi Thailand yang masih sangat muda berpotongan rambut ala petarung Thai boxing merokok dengan
santai kendati larangan merokok dalam bahasa Melayu dan Thai bertebaran. Ketika
rombongan gadis berjilbab Malaysia yang hendak ke Krabi mengajaknya berfoto,
dia tersenyum sambil menyembunyikan rokok di balik punggungnya. Beberapa saat
kemudian lokomotif penarik milik Thailand datang. Perjalanan ke Hat Yai segera
dimulai.
Belum lama kereta
meninggalkan stasiun Padang Besar, seorang petugas kereta api Malaysia (di kita
mungkin setara dengan juru rem, melihat penampilannya) menanyakan tiket saya.
Dugaan saya ini upaya akal-akalan untuk mendapatkan uang secara tidak sah,
mungkin saya akan dimintai uang sekiranya tiket saya bukan gerbong sleeper dan pindah ke sini selepas
Padang Besar. Setelah saya tunjukkan bahwa dari awal tempat tidur ini memang
sesuai tiket saya dia mengatakan kalimat-kalimat tidak jelas tetapi saya
tangkap maksudnya bahwa dia ingin memastikan bahwa saya berada di tempat
semestinya. Dugaan upaya penipuan (scam)
ini dikuatkan oleh tawa gadis-gadis tujuan Krabi ketika si petugas melewati
mereka dan tidak berani mengangkat muka ketika ditertawakan rombongan gadis
itu. Yah, namanya juga usaha.
Begitu memasuki wilayah yang dipenuhi bendera Thailand
dan aksara-aksara tak terbaca guncangan kereta karena sambungan rel yang
terlalu pendek mulai terasa. Kondisi rel seperti ini mengingatkan saya pada
perjalanan dengan kereta api antara Jakarta dan Cirebon pada awal 1990-an. Jauh
betul beda sistem kereta api Thailand dari Malaysia. Kiri kanan jalur kereta
api persis di negeri kita, tanpa pagar pembatas yang mencegah orang tidak
berkepentingan masuk. Rangkaian gerbong tidak melaju secepat ketika ditarik
loko Malaysia di wilayah Malaysia. Pemandangannya persis pedesaan Jawa Barat di
jalur kereta api menjelang masuk Jakarta. Kumuh. Atmosfer kemiskinan tampak
jelas. Kecuali halaman rumah dan mulut-mulut jalan berhias pagoda dan
bendera-bendera Thailand yang berkibar lesu, tak ada bedanya dengan pemandangan
di Indonesia.
Lewat tengah hari rangkaian gerbong Express Peninsular yang
ditarik lokomotif Thailand (persis yang digunakan di negeri kita sewaktu kereta
api masih ditangani PJKA) tiba di stasiun Hat Yai. Gerbang masuk semua kereta
api dari perbatasan Thailand dan Malaysia.
-
Patuhi
semua peraturan yang berlaku di negeri orang demi menghindari hal-hal yang tidak
perlu.
-
Semua
gambar saya ambil dengan kamera hp Samsung, pakai saja kalau Anda mau.
-
Catatan
perjalanan sebelumnya: Semalam di Malaysia,
Artikelnya menarik Pak..
ReplyDeleteTeringat kenangan perjalanan menuju Hatyai.
wow bagus sekali fotonya
ReplyDelete