Josemariá Escrivá de Balaguer, rohaniwan muda Spanyol
yang menyepi di Biara Vincentian di Madrid, mendapat sebuah visi, yang
memaparkan kepadanya kehendak Tuhan yang “utuh dan lengkap”. Saat itu 2 Oktober
1928, tanggal yang kemudian ditetapkan oleh para anggota Opus Dei sebagai tanggal
lahir kelompok yang kelak didera berbagai kontroversi itu. Josemariá Escrivá dan
para pengikutnya begitu meyakini bahwa organisasi mereka mengakar dalam
kehendak Tuhan hingga Escrivá menyatakan, “Aku bukan pendiri Opus Dei. Opus Dei didirikan bukan olehku.” Pada
mulanya Escrivá bahkan tidak memberi nama bagi realitas baru itu; “Opus Dei”,
yang adalah bahasa Latin untuk “karya Tuhan”, berasal dari komentar spontan
salah seorang jemaat Escrivá, yang bertanya kepadanya, “Bagaimanakah Karya
Tuhan itu bekerja?” Itulah sebabnya para anggota biasa menyebut Opus Dei
sebagai “Karya”.
Gagasan inti Opus Dei adalah pengkudusan kehidupan
sehari-hari umat yang mengamalkan Alkitab dan ajaran Gereja seutuhnya. Oleh
karena itulah simbol utama Opus Dei adalah salib bersahaja dalam
lingkaran—simbolisme yang melambangkan pengkudusan dunia dari dalam: “menjadi
seorang suci” bukanlah wilayah eksklusif segelintir atlet spiritual, melainkan
takdir universal setiap orang Kristen. Kesucian bukan melulu, terutama juga
bukan, untuk para pastor dan biarawati. Lebih jauh, kesucian bukanlah sesuatu
yang terutama dicapai melalui ibadat dan disiplin spiritual, melainkan
lebih melalui detail-detail duniawi kerja sehari-hari. Dengan demikian kesucian
tidak mensyaratkan suatu perubahan dalam keadaan eksternal, melainkan sebuah
perubahan dalam sikap, memandang dengan cara baru berkenaan dengan takdir
spiritual seseorang.
Para pengagum Escrivá, termasuk Paus Yohanes Paulus II,
yakin bahwa santo Spanyol itu sudah memperhitungkan “seruan universal pada
kesucian” yang kelak diumumkan oleh Konsili Vatikan Kedua. Mendiang kardinal
Florence dan tangan kanan Paus Paulus VI, Giovanni Benelli—yang bertikai dengan
Escrivá selama bertahun-tahun—bahkan pernah mengatakan bahwa makna Santo
Ignatius de Loyola, pendiri Jesuit, bagi Konsili Trent abad keenam belas,
persis seperti makna Escrivá bagi Konsili Vatikan Kedua. Dengan kata lain, dia
adalah santo yang menerjemahkan konsili itu ke dalam kehidupan Gereja.
Bagi internal umat Katolik kisah tentang Josemariá
Escrivá de Balaguer (yang dikanonisasi pada 6 Maret 2002) di atas tentulah
tidak asing. Di luar kalangan Gereja, Opus Dei jauh lebih terkenal daripada
sang pendiri sampai-sampai organisasi ini menjadi ikon bagi sebuah perhimpunan
rahasia dan tertutup dengan cita rasa elitis yang agak mirip Skull and Bond atau Freemason. Soal
elitis itu tidak mungkin dijelaskan dalam tulisan ini, tetapi bahwa “pangsa
pasar” Opus Dei dalam agama Katolik global hanyalah kecil memang begitulah kenyataannya.
Menurut Annuaria Pontificio 2004,
buku tahunan resmi Vatikan, 1.850 pastor Opus Dei di seluruh dunia bersama
83.641 umat menjadikan kelompok ini berkekuatan 85.491 orang, 0,008 persen dari
populasi Katolik global yang berjumlah 1,1 miliar orang (55 persen anggota Opus
Dei, asal tahu saja, adalah perempuan). Sekadar perbandingan, keuskupan agung
Hobart di pulau Tasmania, Australia, beranggotakan 87.691 orang, artinya jumlah
ini saja sudah lebih besar ketimbang keanggotaan Opus Dei seluruh dunia.
Jauh sebelum ribut-ribut tentang desas-desus konspirasional bahwa Opus Dei adalah penguasa
dunia sesungguhnya dan popularitas global miring tentang Opus Dei melalui The Da Vinci Code, tak lama setelah lahir
organisasi ini sudah mendapat tudingan anti-Semitisme. Tudingan yang dikaitkan dengan
kenyataan bahwa hampir semua anggota generasi awal Opus Dei bergabung dengan
Divisi Biru Spanyol yang berperang bahu-membahu dengan tentara Jerman di front
timur melawan tentara Soviet. Sejarawan Spanyol Alfredo Méndiz, yang juga
anggota Opus Dei, menepis tudingan itu dengan mengatakan, “Banyak pemuda
Katolik idealis Spanyol, bukan cuma anggota Opus Dei, yang menjadi pasukan
sukarela untuk memerangi kaum Bolshevik. Beberapa anggota Opus Dei, tidak
semua, ikut bergabung, tetapi tak satu pun yang benar-benar berangkat ke medan
perang. Biar bagaimanapun, yang mendorong orang Spanyol bergabung dengan Divisi
Biru bukan anti-Semitisme atau kecintaan kepada Hitler, melainkan hasrat untuk
melawan Stalin, yang dipandang sebagai musuh agama.”
Tudingan anti-Semitisme itu semakin gencar setelah Josemaría
Escrivá mengatakan bahwa Hitler
diperlakukan buruk oleh opini dunia sebab dia tidak mungkin bisa membunuh enam
juta Yahudi. Menurut Escrivá paling banter Hitler cuma membunuh empat juta
Yahudi. Pernyataan ini menyebabkan Josemaría Escrivá dimasukkan dalam daftar
para santo anti-Semit oleh Jerusalem Post.
Apa boleh buat, pertikaian yang sering dirunut hinga Injil
Matius 26: 59, “Imam-imam kepala, malah seluruh Mahkamah Agama mencari
kesaksian palsu terhadap Yesus, supaya Ia dapat dihukum mati” ini menyebabkan
Gereja menjadi langganan favorit tuduhan anti-Semit. Selain Josemaría Escrivá
de Balaguer, Jerusalem Post edisi 20
Oktober 2003 bahkan memasukkan Paus Pius IX, pastor Polandia Maximilian Kolbe
dan Alojzije Stepinac, uskup agung Zagreb pada tahun 1940-an yang mendukung
rezim pro-Nazi di Kroasia dalam kategori orang-orang suci anti-Semit bersama
Santa Anne Catherine Emmerich.
Sudah umum diketahui bahwa Gereja dikatakan menumbuhkan
anti-Semitisme tradisional terkait pengkhianatan Yahudi terhadap Yesus, tetapi yang
jarang disebutkan adalah orang Yahudi tidak selamanya sengsara karena sentimen ini.
Kalaupun orang Yahudi menderita di bawah kekuasaan Gereja, mereka juga tidak sendirian
dalam hal ini. Misalnya, Konsili Lateran keempat pada 1215 mewajibkan orang
Yahudi mengenakan pakaian khusus agar mudah dibedakan dari orang Kristen,
ketentuan ini juga berlaku bagi orang Islam. Tetapi jangan dilupakan Konsili
Tours, tahun 1236, konsili ini berisi ketentuan yang toleran terhadap Yahudi.
Sebelum itu, ketika di Worms para petani yang mengamuk menewaskan delapan ratus
Yahudi, menghancurkan sinagoga di Cologne, uskup agung setempat melindungi
orang-orang Yahudi di kastilnya.
Tahun demi tahun berlalu, tentu ada gejolak di sana sini.
Normal. Perang Reformasi berkobar, orang-orang Yahudi dibebani pajak untuk
membiayai pasukan. Mereka juga menjual pakaian, menjadi pedagang keliling, dan
lintah darat. Tidak ada yang istimewa, sama tidak istimewanya dengan para petani
Ortodoks yang ditindas para penguasa Katolik Roma. Dalam konteks masa itu,
ketika sentimen antaragama jauh lebih sengit ketimbang sekarang, pandangan
Rabbenu Gershom, di negeri Kristen, mustahil disukai pejabat gereja yang mana
pun. Sikap Gershom: karena mereka menyembah patung, menuhankan manusia, dan
beriman pada Trinitas, mereka harus dipandang sebagai penyembah berhala. Tetapi
karena orang Yahudi minoritas dan tidak bisa hidup tanpa bergantung pada orang
Kristen, tanpa masuk ke rumah mereka, tanpa berskiap ramah kepada mereka, tanpa
berjual beli dengan mereka, banyak hukum Talmud yang melarang berhubungan
dengan orang pagan harus ditafsir ulang.
Mengenai pandangan Santo Josemaría Escrivá de Balaguer tentang
Yahudi, dialog berikut menarik untuk direnungkan:
Penanya: “Bapa, saya orang Yahudi ...”
Escrivá: “Saya sangat mencintai umat Yahudi sebab saya
mencintai Yesus Kristus habis-habisan, dan dia Yahudi. Saya tidak mengatakan
bahwa dia sebelumnya Yahudi, tetapi sekarang pun dia Yahudi. Iesus Christus eri et hodie et in seacula.
Yesus Kristus terus hidup dan dia Yahudi seperti Anda. Dan cinta kedua dalam
hidup saya juga untuk orang Yahudi—Perawan Suci Maria, Ibunda Yesus Kristus.
Maka saya memandang Anda dengan kasih sayang ....
Penanya: Saya rasa Anda sudah menjawab pertanyaan saya,
Bapa.”
Rujukan:
Chaim Potok, Wanderings:
Chaim Potok’s History of The Jews, Fawcet Crest, New York,
1980.
John Allen, Opus
Dei, Penguin, 2006.
Kanonisasi Josemaria
Sumber gambar: https://www.aciprensa.com/santos/santo.php?id=192
No comments:
Post a Comment