Pages

Friday, September 2, 2016

Kelahiran Alam Semesta



Semesta amat besar dan luas yang batasnya tidak diketahui manusia ini sudah menjadi objek penyelidikan dan rasa ingin tahu selama berabad-abad. Pertanyaan-pertanyaan dalam benak tentang alam semetasta sangat banyak dan kompleks. Misalnya, bagaimana alam semesta ini muncul? Berapa umurnya? Apakah ia ada asal mulanya atau sudah ada dari dulu dan abadi?
Itulah sebagian pertanyaan yang menjadi pangkal selisih paham di kalangan filsuf Muslim selama ratusan tahun. Sementara bagi para filsuf ateis, mereka menyatakan bahwa alam semesta tidak membutuhkan pencipta karena materinya abadi, selalu ada. Karena itulah mereka menyandangkan bagi materi salah satu sifat Pencipta: kekal. Itu pula sebabnya salah satu prinsip fisika mereka adalah “Materi tidak bisa diciptakan tidak pula dihancurkan.”
Imam Ali Hamid al Ghazali, rahimahullah (semoga Allah merahmatinya), adalah orang pertama yang menyelesaikan problem semesta kuno (abadi) dan menanggapi semua pertanyaan terkait interval kosong, yaitu sela periode waktu antara keabadian dan penciptaan alam semesta. Imam Ghazali mengatakan bahwa alam semesta mewujud dan bahwa waktu belum ada sebelum itu, waktu dan ruang bermula setelah alam semesta karena waktu terjalin berkelindan dengan gerak. Kita bayangkan seandainya segala sesuatu di alam semesta ini berhenti bergerak maka waktu juga akan berhenti, dengan demikian tidak akan ada waktu. Maka keliru menggagas eksistensi waktu sebelum penciptaan alam semesta.
Karena teori relativitas mengindikasikan bahwa waktu adalah dimensi keempat, dengan demikian merupakan sesuatu yang naluriah jika waktu mustahil ada di semesta di mana dimensi-dimensi lain belum ada (koordinat dimensi xyz). Di sini kita tidak bermaksud menyelami kerumitan filsafat, yang bisa jadi membosankan pembaca dan tidak memberikan manfaat apa-apa. Yang kita inginkan adalah menunjuk teori ilmiah lain tentang kelahiran alam semestas dan bagaimana ia menjadi mapan, menggunakan bukti-bukti ilmiah bahwa alam semesta memiliki permulaan dan ia bermula beberapa miliar tahun lampau.
Alam Semesta: antara stasioner dan gerak
Dalam kenyataan, penemuan manusia atas fenomena radiasi adalah pukulan telak pertama bagi teori kekekalan materi. Sepanjang matahari dan semua bintang lain menyala dan memancarkan radiasi, maka pasti ada sebuah permulaan. Sekiranya mereka ada dari kekekalan maka bahan bakar mereka pasti sudah habis miliaran tahun lampau. Meski begitu, para ilmuan ateis sengaja mengabaikan fakta ini dan terus mempertahankan pendapat mereka bahwa alam semesta adalah kekal dan tidak memerlukan pencipta.
Teori keadaan tetap, yang diterima di kalangan ilmiah pada pertengahan abad kedua puluh, menyatakan bahwa alam semesta diam di tempat dan tak terbatas secara waktu maupun spasial. Inilah satu contoh teori asal mula alam semesta, yang berfungsi sebagai sebuah referensi yang bisa diterima (bagi teori modern) atau setidak-tidaknya tidak menegasikan sebagian besar klaim penting mereka – kekekalan materi.
Meski begitu, fisika menyodorkan sarana-sarana penting untuk mengetahui beberapa karakteristik benda-benda langit dan bintang. Pada tahun 1913 Vesto Melvin Slipher, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa beberapa benda yang tadinya disangka debu kosmis sedang menjauhi kita dengan kecepatan seribu delapan ratus kilometer per detik. Penemuan ini adalah kejutan besar bagi para ilmuwan. Benda-benda itu ternyata adalah galaksi-galaksi yang jauh dari kita. Oleh sebab itu Edwin Hubble pada tahun 1929 menerbitkan hukum terkenalnya: “Galaksi-galaksi menjauhi kita dengan kecepatan yang berbanding lurus dengan jarak mereka dari kita.”
Kemudian menjadi jelas bahwa galaksi-galaksi tidak hanya menjauh dari kita, mereka juga menjadi semakin jauh satu sama lain. Dan ini artinya alam semesta terus mengembang secara ajek sesuai dengan firman Allah:
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan. Sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (Surat Adz Dzaariyaat: 47).
Sup Primordial
Karena alam semesta terus-menerus mengembang, andai kita memutar mundur film (tentang sejarahnya) pasti akan kita dapati seluruh alam semesta ini di masa lalu terpusat pada satu titik sederhana yang di kalangan ilmuwan dikenal dengan sebutan Atom Primordial atau Sup Primordial. Ilmuwan-ilmuwan lain berpendapat bahwa ukuran titik itu setara dengan sebuah nol (0) dan massanya tak terbatas. Ini adalah cara lain mengatakan bahwa alam semesta berasal dari ketiadaan karena itulah arti ukurannya setara dengan sebuah nol.
Bagaimanapun juga, kekuasaan macam apa yang mampu melontarkan seratus miliar galaksi dengan kecepatan sedahsyat itu, menempatkan satu galaksi sangat jauh dari galaksi lain, yang dengan demikian membangun sebuah semesta ekspansif semacam itu? Tidak mungkin bahwa kekuatan itu adalah tarikan gravitasional atau gaya tolak antara muatan sejenis. Tarikan gravitasi adalah daya yang menarik benda-benda langit menuju sebuah pusat dan tidak melontarkan mereka keluar. Begitu pula dengan gaya tarik antara muatan sejenis, ia terlalu lemah untuk menggerakkan skenario ini. Mengingat perimbangan muatan (antara positif dan negatif) di alam semesta, daya macam itu nyaris tak ada antara benda-benda langit.
Oleh karena itu, sebuah ledakan dahsyat mesti terjadi pada saat kelahiran alam semesta dan itulah yang menyebabkan mengembangnya alam semesta. Para ilmuwan menamakan ledakan dahsyat ini  “Dentuman Besar” (Big Bang). Setelah beberapa revisi atas teori “Dentuman Besar”, secara ringkas bunyi aktual teori ini adalah: “Sebuah ledakan dahsyat terjadi pada Atom Primordial ini yang berisi seluruh material dan energi yang terdapat di semesta saat ini. Pada saat pertama ledakan besar, suhunya naik menjadi beberapa triliun derajat ketika bagian-bagian atom (neutron, proton dan elektron) terbentuk dan ini semua membentuk atom-atom. Atom-atom ini membentuk debu kosmis yang nantinya memunculkan galaksi-galaksi.”

Kapan terjadinya ledakan Semesta?
Kapan “Dentuman Besar” itu terjadi? Saat pastinya belum ditetapkan. Namun, jika kita ingat bahwa Hoyle memperkirakan untuk satu juta tahun cahaya diperlukan kecepatan 15,3 kilometer per detik, kita dapatkan angka dua puluh miliar tahun. Tetapi tidak boleh kita lupakan bahwa kecepatan ekspansi alam semesta dan penjarakan galaksi-galaksi tidak konstan. Pembuatan jarak itu lebih cepat di masa lalu. Oleh karena itu sejarah alam semesta setidak-tidaknya lebih dari lima belas miliar tahun. Inilah pendapat yang paling kuat saat ini. Salah satu bukti teori “Dentuman Besar” adalah adanya radiasi kosmis. Para ilmuwan mengatakan bahwa sebuah ledakan seperti itu pasti meninggalkan radiasi. Radiasi itu terdeteksi ketika NASA meluncurkan sebuah satelit buatan ke angkasa pada tahun 1989 untuk memastika keberadaan radiasi tersebut. Satelit itu dilengkapi dengan peranti sensor modern. Hanya delapan menit yang diperlukan oleh satelit itu untuk mendeteksi radiasi tersebut dan mengukurnya.
Bukti lain yang mendukung teori ini ini jumlah relatif gas hidrogen dan helium di alam semesta yang sesuai perkiraan (kelimpahan relatif) menurut teori ini. Jika semesta itu kekal (sudah ada sejak kekekalan) maka semua hidrogennya akan terbakar dan menjadi helium.

Dilema pendukung keberadaan kekal (alam semesta)
Pentingnya teori “Dentuman Besar” tidak terbatas pada berbagai bidang sains dan astronomi saja; teori ini juga melucuti senjata, atau kita sebut saja dalih, para filsud dan ilmuwan ateis yang mereka andalkan karena teori ini mengakhiri mitos kekekalan materi dan semesta.
Teori ini membikin gerah beberapa ilmuwan dan filsuf ateis. Misalnya, filsuf ateis Anthony Phillip mengatakan: “Mereka katakan: Kesadaran bermanfaat bagi manusia dari perspektif piskologis dan saya akan mendasarakn pendapat saya pada kesadaran. Contoh “Dentuman Besar” adalah sesuatu yang memalukan bagi para pemikir bebas karena sains membenarkan sebuah ide yang dipertahankan kitab suci agama-agama ... ide bahwa semesta memiliki sebuah permulaan.” Ilmuwan Denis Zikmor (salah satu pendukung paling gigih teori semesta tidak berkembang stasioner) mengatakan: “Saya tidak membela teori semesta stasioner karena teori itu benar tetapi karena saya berharap itu benar. Bagaimanapun juga, setelah pengumpulan bukti-bukti, menjadi jelas bagi kita bahwa saat bersenang-senang sudah berakhir dan harus sepenuhnya meninggalkan sepenuhnya teori tentang semesta tidak berkembang stasioner ini.”
Selain fakta bahwa materi diciptakan dan tidak kekal dan bahwa semesta ada permulannya teori Dentuman Besar menunjukkan keberadaan Pencipta, dan semesta diciptakan oleh Pencipta. Sifat “Dentuman Besar” ini menambahkan bukti lain bahwa semesta diciptakan menurut ukuran-ukuran yang tepat dan dengan tatanan memukau. Ini karena suatu ledakan selalu merusak, menghancurkan, mencerai-beraikan dan menyebar materi. Bagaimanapun juga, ketika kita mengamati suatu ledakan dengan kedahsyatan dan guncangan semacam itu menghasilkan formasi dan konstruksi sebuah semesta yang teratur sempurna, di balik itu pasti ada Tangan Perkasa, Pengetahuan, Desain dan perkiraan luar biasa akurat yang lebih besar dari apa pun. Inilah yang dimaksud ilmuwan Inggris terkemuka Fred Hoyle ketika mengatakan: “Teori Dentuman Besar memberi tahu kita bahwa alam semesta berasal dari sebuah ledakan besar dan kita semua mengeri bahwa setiap ledakan meremukkan dan menyebar materi tanpa keteraturan. Tetapi ledakan besar ini menghasilkan yang sebaliknya, ia menyebar materi dalam cara yang tertata. Ia memperlakukan materi dalam cara yang diliputi misteri, mengatur materi untuk membentuk galaksi.”

Kecepatan ekspansi alam semesta
Salah satu misteri paling signifikan “Dentuman Besar” ini adalah luar biasa pentingnya kecepatan ekspansi yang diberikannya kepada alam semesta setelah ledakan. Inilah yang dimaksud ilmuwan ternama Inggris Bill Davis ketika mengatakan, “Berbagai perhitungan menunjukkan bw laju rekspanse alam semesta tak terkatakan pentingna. Jika semesta mengembang dengan laju sedikit lebih lambat dari kecepatannya sekarang, semesta pasti akan runtuh ke dalam karena kekuatan gaya tarik gravitasi. Dan jika laju ekspansinya sedikit lebih besar dari kecepatan aktualnya, tentunya materi alam semesta akan tersebar dan alam semesta hancur. Sekiranya kecepatan ekspansi berbeda dari kecepatannya yang diketahui sebanyak satu dalam 1018 bagian, itu saja sudah cukup untuk mengganggu ekuilibrium yang diperlukan, Karena itulah “Dentuman Besar” bukan sebuah ledakan normal melainkan sebuah aktivitas yang diperhitungkan dan diatur dengan sangat cermat di semua bidang.
Apa yang bisa kita tarik dari semua uraian dan fakta ilmiah ini? Davis menjelaskan kesimpulan tak terelakkan dan tak terbantahkan dari semua bukti itu: “Sangat sulit menyangkal bahwa suatu kekuatan masuk akal yang cerdas memunculkan alam semesta ini yang bergantung (untuk stabilitasnya) pada perhitungan yang jelas dibuat dengan cermat. Tentu saja variasi-variasi ekstrem dalam nilai-nilai bilangan yang teramati (dari berbagai parameter) dan hal-hal terkait dengan ekuilibrium alam semesta adalah bukti yang sangat kuat bagi keberasaan sebuah rancangan bagi cakupan alam semesta.”
Sedangkan bagi ahli fisika Stephen Hawking, ketika membicarakan dalam bukunya A Brief History of Time kecanggihan manakjubkan kecepatan ekspansi alam semesta pada saat pertama ledakan dahsyat, mengatakan: “Kecepatan ekspansi alam semesta begitu signifikan hingga andai pada saat pertama ledakan kurang dari satu pecahan dan 1 bagian dalam 1018 bagian, maka alam semesta akan runtuh menimpa dirinya sendiri sebelum mencapai luasnya saat ini.”
Begitulah cakupan detail menakjubkan dalam mengatur ledakan “Dentuman Besar” dan rancangan kecepatannya.
Kesimpulan akhir yang dicapai astronom Amerika George Greenstein dalam bukunya Symbiotic Universe adalah: “Semakin kita memeriksa bukti-bukti dengan cermat makin sering kita menghadapi kenyataan itu sendiri, bahwa ada kekuatan cerdas di luar alam yang camput tangan dalam permulaan alam semesta.”
“Berkata rasul-rasul mereka: ‘Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, pencipta langit dan Bumi? ...” (Surat Ibrahim: 10).
(Aurakhaan Muhammad Ali/Istanbul)

Diterjemahkan dari Scientific Wonders on the Earth & in Space By Yusuf Al-Hajj Ahmad

 
terjemahan kosmologi
sumber gambar: www.amazon.com

Tuesday, August 30, 2016

Organizational Change Development



suplemen jasa penyedia kutipan
OCD


Makalah berjudul Leading in Crisis: Leading Organizational Change & Business Development ini bermaksud meninjau dan menelaah literatur mutakhir dalam manajemen krisis organisasi. Di samping itu, ia juga mengevaluasi literatur tentang bagaimana memimpin perubahan organisasional dan menguraikan berbagai penjelasan dari literatur krisis manajemen tentang bagaimana memimpin perubahan dan bagaimana perubahan itu dikelola dalam organisasi. Memimpin dan mengelola perubahan bertumpu pada kemampuan para pemimpin untuk mempengaruhi para pengikut mereka untuk bertindak secara luar biasa. Hal itu juga bertumpu pada efektivitas kepemimpinan pada saat krisis berkenaan dengan penciptaan peluang-peluang yang akan memungkinkan para pegawai organisasi mewujudkan perubahan menjadi kenyataan. Manajemen krisis menghendaki kepemimpinan kuat yang mampu mendorong perkembangan bisnis, mewujudkan perubahan, dan dengan demikian membentuk ulang organisasi dalam kaitannya dengan bagaimana bisnis dijalankan dan bagaimana pandangan para pemangku kepentingan (stakeholders) tentang hal itu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Makalah ini juga menyoroti bagaimana globalisasi mewujudkan perubahan dalam lingkungan bisnis dan dalam organisasi. Selain itu makalah ini juga menyoroti potensi-potensi yang ditawarkan krisis dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan bagi organisasi.

Pendahuluan
Artikel berjudul Leading in Crisis: Leading Organizational Change & Busineass Development oleh Dr. Evangelia Fragouli dan Bali Idapo dari University of Dundee yang dimuat dalam International Journal of Information, Business and Management, Vol. 7, No. 3, 2015, ISSN 2076-9202 ini menarik dan penting untuk ditelaah karena membahas tentang bagaimana memimpin dalam krisis guna mewujudkan perubahan organisasional dan perkembangan bisnis. Walaupun baru setelah krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997 timbul kesadaran luas tentang pentingnya manajemen krisis dalam mewujudkan perubahan organisasi bagi kelangsungan hidup dan kesuksesan organisasi, sebetulnya berbagai krisis telah melanda sebelum itu di banyak tempat. Lepas dari krisis moneter yang berakibat terjadinya Gerakan Reformasi, Indonesia kembali dilanda krisis ekonomi pada tahun 2008. Dan pada saat ini masyarakat luas merasakan krisis karena perlambatan ekonomi. Dengan kata lain, krisis adalah sesuatu yang selalu ada dan harus dihadapi. Bukannya dipandang sebagai ancaman, dengan pemahaman yang baik tentang manajemen krisis dan perubahan organisasi, krisis justru bisa dipandang sebagai peluang bagi pertumbuhan bisnis dan mewujudkan organisasi yang lebih baik.

Tinjauan Umum Artikel
Saat ini, menurut Ramo (2009), kita sedang berada pada suatu awal yang mungkin saja merupakan perubahan paling intens dalam tatanan global selama ratusan tahun, yang sedang kita hadapi bukan hanya sebagai gerakan tunggal melainkan gempuran dahsyat perubahan tak henti-henti yang menciptakan gangguan luar biasa dan pemisahan. Selanjutnya Ayaz (tanpa tahun) menyatakan bahwa “organisasi-organisasi saat ini menghadapi tantangan globalisasi, pengetahuan berdasarkan kompetisi dan revolusi digital yang mengubah lingkungan bisnis.” Dunia saat ini berada dalam keadaan perubahan konstan, dan pertimbangan yang paling mendalam dicurahkan pada isu perkembangan berkelanjutan. Berbagai negara, organisasi dan masyarakat berusaha mengikuti perubahan cepat yang berlangsung, di samping menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan yang datang bersama perubahan-perubahan tersebut (Barbu dan Nastase, 2010). Barbu dan Nastase lebih jauh menggarisbawahi bahwa “lingkungan bisnis baru yang diciptakan oleh perubahan dicirikan oleh anarki, kendati demikian lingkungan baru tersebut menawarkan banyak sekali peluang bisnis dan juga sebagai konteks krisis.
Konteks krisis ini sangat signifikan karena krisis dapat menghalangi operasi, reputasi dan perkembangan sebuah organisasi. Menurut Friedman (2008) “krisis berskala dunia, dari sebuah krisis lingkungan global sampai hilangnya identitas nasional, berpengaruh pada organisasi.” Artinya, tak ada satu pun organisasi atau bisnis yang kebal dari pengaruh krisis. Akibatnya, manajemen krisis menjadi aspek penting dalam mengelola organisasi – tugas memimpin sebuah organisasi pada masa-masa krisis adalah ujian besar bagi karakter seorang pemimpin.
Di sini bisa disimpulkan bahwa perubahan dan krisis saling berkaitan dan kepemimpinan memainkan peran penting dalam manajemen krisis maupun perubahan. Krisis bisa dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari dan petunjuk perkembangan dalam sebuah organisasi, oleh sebab itu para pemimpin harus mengetahui bagaimana cara mempengaruhi dan mendorong perubahan dalam masa-masa krisis untuk melakukan perombakan dan penataan ulang organisasi mereka, beradaptasi lebih baik dengan krisis di depan mata dan, pada akhirnya, berkembang menjadi sebuah bisnis yang lebih berkelanjutan.

Manajemen Krisis Organisasional
Menurut Massey dan Larsen (2006) krisis adalah “sebuah peristiwa besar dan tidak terprediksi yang mengancam keselamatan organisasi dan para pemangku kepentingannya.” Lebih jauh Coombs (1999) menyatakan bahwa meskipun terjadinya sebuah krisis tidak bisa diprediksi, sebetulnya hal itu bukan tidak bisa diduga. Terdapat peningkatan dalam krisis yang dialami berbagai organisasi pada masa-masa belakangan ini, sebagian besar di antaranya bisa dikaitkan dengan berbagai macam faktor seperti tumpuan lebih banyak pada teknologi, industrialisasi dan meningkatnya perhatian media terhadap tindakan dan aktivitas organisasi (Seeger, et al 2012; Perrow, 1984; Ogrizek dan Guillery, 1999). Oleh karena itu, konsep manajemen krisis menyedot banyak sekali perhatian sejak akhir 1970-an (Barton, 1993; Coombs, 1995).

Definisi Manajemen Krisis
Menurut Pearson dan Clair (1998) “manajemen krisis adalah upaya sistematis untuk menghindari krisis organisasional atau untuk mengelola krisis yang terjadi tersebut.” Di samping itu, Perrow (1984) menegaskan bahwa krisis juga memiliki aspek-aspek administratif dan teknis seperti manajemen krisis yang menghendaki pelenyapan kegagalan teknologi dan juga mengembangkan metode-metode yang sesuai bagi komunikasi untuk mengelola atau menghindari situasi krisis (Barton, 2001).
Sejak awal 1980-an, ada dua kecenderungan utama yang mencirikan bidang manajemen krisis: “perencanaan dalam manajemen krisis dan analisis kemungkinan darurat organisasional selama sebuah krisis” (Lalonde, 2007). Literatur Analysing Organizational Contingencies (AOC) melibatkan hubungan banyak segi dan sering ruwet di antara aktor-aktor itu sendiri, di samping karakter dan pembawaan orang selama krisis. Kecenderungan ini menyoroti bahwa “konteks sosial lebih besar” harus dipertimbangkan dalam manajemen krisis, termasuk karakter struktur masyarakat (Dynes, 1970), kejadian-kejadian krisis yang sudah lalu (Pery & Nigg, 1985; Dynes, 1970), tingkat keterlibatan kehidupan sosial dalam populasi” (Echterling et al., 1988; Wolensky, 1983; Wenger, 1978 sebagaimana dikutip dalam Quarentelli, 1978), infrastruktir dan sumber daya lokal yang ada (Stallings & Schepart, 1987), lokasi, apakah di kawasan perkotaan atau semi perkoraan, pedesaan atau semi-pedesaan (Lalonde, 2004; Dynes, 1975), dinamika bantuan sosial (Drabek & McEntire, 2002; Kaniasty & Norris, 1995; Wright et al., 1990), metode-metode serangan (Denis, 1993, 2002) dan keberadaan oposisi apa pun sehubungan dengan dunia luar (Quarantelli & Dynes, 1976).
Di sisi lain, literatur Crisis Management Planning (CMP) mencakupi serangkaian pernyataan-pernyataan normatif yang diarahkan pada peningkatan efisiensi intervensi krisis. Berbagai penulis CMP menyoroti bahwa perencanaan darurat sangat diperlukan dalam manajemen krisis (Counts & Prowants, 1994; Lagadec, 1991; Denis, 2002; Sylves & Waugh, 1990), di samping tindakan-tindakan tersebut perlu didefinisikan secara relatif terhadap fase-fase yang berubah evolusi krisis, dimulai dengan identifikasi isyarat-isyarat peringatan hingga aktivitas-aktivitas sesudah krisis (Drabek & Hoetmer, 1991 sebagaimana dikutip dalam Simpson 1993).
Lebih jauh, para penulis menekankan perlunya mengembangkan sebuah filsafat keamanan internal (di dalam organisasi) dan di kalangan para pemangku kepentingan (Denis, 2002; Lagadec, 1990, 1991; Tazieff, 1988), dengan penakenan kuat diberikan pada perlunya melatih dan mengasah kepekaan para pemimpin berkenaan dengan peran kepemimpinan dalam krisis (Lagadec, 1991, 1996; Perry & Nigg, 1985; Kuban, 1995).

Konseptualisasi Kepemimpinan
Menurut Darling et al., (2002) “memimpin berarti memahami, mempengaruhi, dan membimbing dalam tujuan, arah, tindakan dan opini.” Menurut Heller (2002) “para pemimpin adalah orang-orang yang melakukan hal-hal yang tepat, dan para pemimpin yang efektif berkomunikasi dan mengoordinasi orang-orangnya dalam membimbing operasi organisasi.” Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kepemimpinan sangatlah penting bagi manajemen krisis yang efektif.
Menurut Graen dan Uhl-Bien (1995) terdapat sebuah konsensus mengenai konsep kepemimpinan dan bagaimana konsensus itu bisa dicapai. Sesungguhnya, ada banyak teori yang mengangkat aspek-aspek berbeda kepemimpinan; meski begitu hanya ada sedikit kohesi di antara teori-teori tersebut – akibat dari telaah yang tidak memadai tentang pendekatan-pendekatan kepemimpinan. Dalam sebuah upaya mengatasi kekaburan yang menyelimuti penelitian tentang kepemimpinan, Graen dan Uhl-Bien (1995) mengembangkan sebuah pendekatan Taksonomi bagi Kepemimpinan. Pendekatan Taksonomi Kepemimpinan oleh Graen dan Uhl-Bien (1995) ini melukiskan tiga gaya kepemimpinan yang didasarkan pada hubungan pemimpin dan pengikut. Pendekatan ini, bagaimanapun juga, dipertanyakan berdasarkan fakta bahwa ia menyediakan pemahaman parsial tentang konsep kepemimpinan karena mengabaikan informasi kunci yang fundamental sifatnya bagi pemahaman konsep tersebut. Pendekatan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan identifikasi perilaku-perilaku kepemimpinan spesifik dan manfaatnya dalam mencapai hasil-hasil spesifik.

Kepemimpinan dan Manajemen Krisis
Dalam organisasi apa pun, para pemimpin bertanggung jawab atas kesuksesan manajemen krisis maupun bahwa para pemangku kepentingan terkait dikelola. Heller (2012) menegaskan bahwa para pemimpin organisasi bertanggung jawab merancang paradigma perencanaan darurat yang menguntungkan para pemangku kepentingan maupun organisasi secara keseluruhan. Bennis dan Nanus (2003) menyatakan bahwa para pemimpin yang efektif harus memiliki pandangan yang berorientasi visi. Dalam kata-kata Heller (2012), para pemimpin perlu memperlihatkan sebuah pemahaman yang tinggi atas kemungkinan-kemungkinan darurat dan juga melaksanakan tanggung jawab mereka sebaik mungkin, terutama pada saat krisis. Dia juga menjelaskan bahwa pada masa-masa seperti itu, para pemimpin yang sukses harus menyibukkan diri dengan keunggulan organisasi mereka dan memandang lebih jauh dari “bagaimana bekerjanya seluk-beluk kinerja operasional, dan menyertakan parameter perencanaan dan tindakan, pelaksanaan segala sesuatunya dengan benar, terutama yang berkaitan dengan keterlibatan penting seluruh pemangku kepentingan dalam organisasi dalam rangka mengatasi sebuah situasi krisis” (Heller, 2012).
Guna mengembangkan solusi efektif bagi situasi krisis, para pemimpin juga perlu membuka diri dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mendengarkan opini mereka. Ide ini sejalan dengan manajemen krisis yang efektif dalam sebuah latar organisasi – penting untuk diperhatikan bahwa pada masa-masa krisis organisasional, para pemimpin yang efektif menyediakan sebuah platform bagi interaksi dengan semua orang yang terlibat (Heller, 2012). Menurut Wilkinson (2003) platform semacam itu memberi para bawahan perasaan dihargai maupun meningkatkan tingkat komitmen dan motivasi untuk mencapai tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan. Penting juga untuk diingat bahwa sebuah situasi krisis menghendaki para pemimpin yang tidak hanya mengandalkan kepatuhan bawahan dan hierarki tetapi juga berminat dalam menerapkan dan mengembangkan strategi-strategi kepemimpinan yang bermakna dan dengan demikian bisa mengaktualisasi manajemen krisis yang efektif bagi organisasi.
Salah satu faktor utama yang membedakan organisasi-organisasi yang sukses itu setelah krisis terjadi, dari organisasi-organisasi yang tidak berhasil, adalah kepemimpinan yang ditunjukkan selama krisis dan proses manajemen krisis (James dan Wooten, 2005). Sering kali ini cara krisis ditangani, dan bukan kejadian krisis itu sendiri yang memiliki konsekuensi paling signifikan (positif dan negatif) bagi sebuah organisasi. Tugas memimpin sebuah organisasi pada masa krisis, entah Anda CEO sebuah organisasi beasr atau manajer prakarsa organisasional tak terencana yang menjadi pelopor, ad tugas yang sulit.
Lebih jauh, aktivitas-aktivitas komunikasi dan PR memang diperlukan tetapi bukan merupakan pendekatan yang memadai dalam memimpin sebuah organisasi mengarungi krisis. Kepemimpinan krisis membutuhkan lebih dari pengelolaan komunikasi korporat dan hubungan masyarakat (PR). Sesungguhnya, para pemimpin terbaik dalam krisis adalah mereka yang membangun fondasi kepercayaan bukan saja dalam organisasi mereka, tetapi juga menjangkau seluruh sistem organisasi. Para pemimpin itu menggunakan fondasi tersebut untuk menyiapkan organisasi mereka dalam menyongsong masa-masa sulit – membatasi krisis ketika terjadi dan memanfaatkan situasi krisis sebagai sarana menciptakan peluang dan akhirnya sebuah organisasi yang lebih baik (James dan Wooten, 2005).

Manajemen Perubahan Organisasional
Di sebagian besar organisasi, krisis biasanya dipandang sebagai ancaman, meski begitu para pemimpin organisasi yang efektif bisa melihat situasi krisis sebagai kesempatan untuk mengembangkan sebuah organisasi dan mewujudkan perubahan organisasional dalam organisasi maupun di kalangan para pemangku kepentingannya. Sebagaimana dijelaskan oleh Barbu dan Nastase (2010), perubahan menciptakan sebuah lingkungan kompleks yang menuntut para pemimpin modern menangani banyak peluang dan ancaman dengan lebih baik dan lebih cepat.
Manajemen perubahan adalah sebuah topik yang banyak dibahas sehubungan dengan manajemen dan efektivitas organisasional. Bernard dan Stoll (2011) menegaskan bahwa salah satu tanggung jawab paling krusial dan menantang yang dihadapi manajemen adalah mengenali pentingnya perubahan berskala organisasi, dan memimpin perubahan dalam organisasi semacam itu. Menurut Burke dan Trahant (2000) memahami arti penting perubahan organisasional semacam itu menjadi semakin signifikan seiring tahun-tahun berjalan karena organisasi-organisasi kini sedang menempuh masa perubahan dahsyat sebagai akibat globalisasi, di samping pengaruh mengacaukan teknologi-teknologi baru dan kemunculan e-business. Burke dan Trahant juga menyoroti deregulasi, instabilitas politik, kemunculan ekonomi-ekonomi baru di Lingkar Pasifik, dan ledakan jumlah penemuan ilmiah baru sebagai faktor yang turut menyebabkan turbulensi pasar dan “pergeseran-pergeseran fase yang kacau” dalam bisnis, yang bisa menimbukan krisis dalam organisasi yang harus ditangani para pemimpin organisasi.
Fokus utama literatur tentang manajemen perubahan dalam kurun waktu belakangan ini terletak pada sektor swasta dan, yang lebih penting, orang-orang yang berupaya memimpin perubahan berskala organisasi dalam berbagai organisasi (Kickert 2010; Branch, 2002). Tujuan perubahan organisasional adalah menciptakan kemajuan cepay dalam nilai ekonomi, sementara pada saat yang bersamaan membentuk sebuah organisasi yang orang-orangnya, budaya, struktur, dan prosesnya dirancang sejalan dengan lingkungan dan misi yang ada, dan ditempatkan agr perubahan yang mendesak menjadi diperlukan (Beer dan Nohria, 2000). Beckhard dan Harris (1987); Burke dan Trahant (2000); Bridges (1995) menyoroti dua tahap perubahan: “(1) fundamental atau transformasional, yang berfokus pada isu-isu “gambar besar” seperti kepemimpinan, strategi, misi, budaya, lingkungan eksternal); dan (2) transisional atau transaksional yang terpusat pada isu-isu operasional seperti sistem, praktek-praktek manajemen, strukur, kebutuhan, motivasi, kesesuian pekerjaan dan iklim unit kerja.”
   Greiner (1998), Goleman (2000), Christensen dan Overdorf (2000). Adizes (1999), Enriquez dan Goldberg (2000) dan Lawler et al. (2001) membahas empat komponen utama manajemen perubahan: kerangka teoretis dan model-model yang menunjukkan dan menuntun para pegawai organisasi dan filsafat para sarjana tentang perubahan organisasi, unsur-unsur signifikan bagi manajemen perubahan yang efektif, pendekatan dan peralatan, dan hasil serta konsekuensi proses perubahan manajemen. Sebuah titik fundamental yang tercermin dalam literatur mereka adalah kepemimpinan itu sangat vital dalam perubahan organisasional, dan manajemen serta para pemimpin harus merajut perlengkapan dan keterampilan mereka agar memenuhi persyaratan spesifik dalam mewujudkan perubahan organisasional.
Di era global saat ini, tren bisnis berubah dengan cepat; permintaan para konsumen mengalami peningkatan dan saat ini, lebih dari yang sudah-sudah, peran kepemimpinan sangat krusial bagi perkembangan organisasi (Abbas dan Asghar, 2010). Agar organisasi bisa berkembang dan maju, diperlukan para pemimpin yang sangat terampil dalam memperkirakan sebelum perubahan-perubahan yang akan terjadi, mendapatkan komitmen dari para pegawai dan juga menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi para pegawai untuk memahami dan mengadopsi perubahan-perubahan yang datang (Abbad dan Asghar, 2010).
Oleh karena itu sangat penting bagi organisasi untuk memiliki pemimpin yang memiliki pandangan ke depan dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam lingkungan bisnisnya, dalam rangka mengembangkan bisnis. Bass (1990) dan Burke dan Cooper (2004) menyatakan bahwa hal tersebut fundamental sifatnya bagi efektivitas dan kelangsungan hidup organisasi.
Sampai di sini bisa disimpulkan bahwa manajemen krisis sudah menjadi sebuah aspek krusial perkembangan dan kesuksesan bisnis khususnya di dunia masa kini, yang menjadi sangat dinamis dan lebih mudah dipengaruhi krisis sebagai akibat globalisasi. Kepemimpinan memainkan peran utama dalam manajemen krisis dan manajemen perubahan. Pada masa krisis, dibutuhkan adanya para pemimpin organisasi yang bisa dirasakan kehadirannya di dalam dan di luar organisasi mereka, karena hal ini menawarkan semacam stabilitas bagi situasi dan organisasi. Di samping itu, pada masa krisis menjadi hal yang sangat mendasar bagi para pemimpin untuk berkomunikasi dengan para pegawai organisasi dan para pemangku kepentingan mengenai situasi yang ada. Selain itu, situasi krisis mensyaratkan adanya para pemimpin yang tidak mengikuti norma dan mampu merumuskan strategi-strategi untuk mengelola krisis dan memanfaatkan krisis semacam itu untuk mewujudkan perubahan dan menumbuhkan organisasi – perubahan organisasi yang sukses menghendaki sebuah gaya kepemimpinan dan keterlibatan efektif partisipasi para pemangku kepentingan dan pegawai.
Penting bagi para pemimpin untuk memiliki sebuah visi yang jelas tentang perubahan yang diperlukan dan membagi visi itu dengan para pegawai karena untuk mewujudkan perubahan para pemimpin harus memahami bahwa mereka juga harus mengelola budaya organisasi.

Telaah atas artikel Leading in Crisis: Leading Organizational Change & Business Development
Abtsraksi arikel ini cukup jelas tetapi tidak memenuhi persyaratan lazim abstraksi artikel ilmiah yaitu Introduction, Methods, Result, Discussion. Abstraksi artikel ini justru berisi tujuan artikel yaitu meninjau dan menelaah literatur mutakhir dalam manajemen krisis organisasi, di samping mengevaluasi literatur tentang memimpin perubahan organisasional dan menguraikan berbagai penjelasan dari literatur krisis manajemen tentang bagaimana memimpin perubahan dan bagaimana perubahan itu dikelola dalam organisasi. Bukan hanya tidak menyebutkan metode penelitian yang digunakan, abstraksi artikel ini juga tidak menyinggung hasil dari usulan yang disampaikan seperti bagaimana memimpin dan mengelola perubahan yang bertumpu pada kemampuan para pemimpin untuk mempengaruhi para pengikut mereka untuk bertindak secara luar biasa. Kendati demikian abstraksi yang singkat itu memberikan kesimpulan yang jelas bahwa manajemen krisis menghendaki kepemimpinan kuat yang mampu mendorong perkembangan bisnis, mewujudkan perubahan, dan dengan demikian membentuk ulang organisasi sehubungan dengan bagaimana bisnis dijalankan dan bagaimana pandangan para pemangku kepentingan (stakeholders) tentang hal itu dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam abstraksi juga disebutkan bahwa artikel ini juga menyoroti bagaimana globalisasi mewujudkan perubahan dalam lingkungan bisnis dan dalam organisasi. Selain itu makalah ini juga menyoroti potensi-potensi yang ditawarkan krisis dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan bagi organisasi.
Artikel yang ditulis oleh Dr. Evangelia Fragouli dan Bali Idapo ini adalah tulisan yang berisi kajian terhadap literatur tentang manajemen perubahan organisasi, kepemimpinan yang diperlukan dalam situasi krisis agar sukses dalam mewujudkan perubahan organisasi dan menghasilkan bisnis yang lebih baik, dengan demikian artikel ini adalah artikel teoretis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini tidak disebutkan secara jelas sebagaimana sudah disebutkan di atas, tetapi bisa dikatakan bahwa seperti lazimnya tulisan teroretis tulisan ini adalah analisis atas berbagai pemikiran yang dituangkan para ahli manajemen krisis dan perubahan organisasional. Sebagai tulisan teoretis, artikel ini lebih banyak menekankan definisi dan konseptualisasi pengetian seperti kepemimpinan, kepemimpinan transisional atau transaksional, kepemimpinan karismatik, sehingga artikel ini memiliki kelemahan tidak menyediakan langkah-langkah terperinci yang konkret bagaimana mewujudkan perubahan organisasi dan kaitannya dengan perubahan perilaku pihak-pihak yang berkepentingan. Walaupun hal ini bisa dimaklumi untuk sebuah artikel teoretis, akan lebih baik sekiranya disebutkan contoh kasus tentang kesuksesan dari langkah-langkah usulan yang diterapkan.
Artikel ini tampaknya masih memerlukan uraian lebih jauh karena ia hanya membahas pentingnya kepemimpinan dalam menghadapi situasi krisis yang kini sudah menjadi kelaziman dalam sebuah dunia yang mengalami globalisasi. Di luar itu, artikel ini cukup memadai dengan berbagai definisi tentang kepemimpinan, perubahan, globalisasi, dan krisis.

Tuesday, May 31, 2016

Descendants of the Sun



drama korea bagus
Song Hye Kyo


Sering kali saya tak habis pikir dengan profesi penerjemah ini, apalagi penerjemah karya-karya sastra. Dari segi bayaran aduhai memelasnya, sedangkan tingkat kesulitannya sering membuat saya menyesal bersumpah tidak memaki. Inilah yang saya alami belakangan ini dengan karya Édouard Dujardin Les lauriers sont coupés yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stuart Gilbert menjadi We’ll to the Wood No More. Novel tipis aliran Simbolisme ini cukup menyiksa dengan melimpahnya kosa kata mudah, misalnya joint dan post, tetapi menjadi tak terkatakan sulitnya ketika dibunyikan dalam satu kalimat. Belum lagi kata-kata ripple, gloom, air, backwash yang artinya bisa apa saja ketika berdiri sendiri diapit koma dalam kalimat panjang. Novel Dujardin penuh kata benda dalam satu kalimat yang hanya dipisah dengan koma. Ringkasnya: susahnya minta maaf.
Selesai menerjemahkan, saya pergi ke Alfamart untuk mencari kata-kata setan tersebut memanfaatkan fasilitas internet Rp5.000 per 12 jam. Sebelum saya berangkat menunaikan tugas yang membikin senewen ini, istri saya meminta saya agar men-download (saya tahu kata Indonesianya mengunduh, tapi agak malas menggunakannya) drama Korea. Waduh, ini jelas lebih berat dari pekerjaan mencari padanan on the rocks, afterdusks, farniente .... Saya tak pernah mengerti kesenangan menonton drama Korea. Terakhir saya menonton drama Korea tahun 2000-an awal, tentang anak yang tertukar dan saling cinta, lupa judulnya.
Rupanya ada orang di sebelah saya yang mengamati layar saya ketika saya men-download Birth of a Beauty, saya baru tahu itu ketika orang tersebut menawarkan, “Saya sudah punya itu, Pak, kalau Bapak mau dan bawa flash disk, saya bisa kopikan ....” Agak malu juga, jangan-jangan dia pikir saya maniak drama Korea. Lha, tapi dia kan laki-laki juga ... hahaha ... Dan file di laptopnya adalah harta karun drama Korea, ya saya jawab saja, “Mas, ini sudah hampir selesai download-nya, kalau ada yang lain bolehlah saya dikopikan ke flash disk. Sampai rumah saya buka flash disk, isinya folder Descendants of the Sun. Walah, paling silat Korea, saya membatin. Tapi kan dikasih orang, masa mengeluh? Akhirnya saya tonton. Saya selalu begitu setiap kali menjelang tenggat (kadang-kadang, sering malah, selewat tenggat sebenarnya), konsentrasi pecah dan mengerjakan hal-hal tidak perlu. Wkwkwkwk.
Ternyata film cinta-cintaan dengan latar tahun 2015. Kisah cinta antara Kapten Yoo Si Jin dan dokter Kang Mo Yeon. Si kapten adalah komandan Tim Alfa pasukan khusus Korea Selatan, si dokter adalah ahli bedah di Rumah Sakit Haesung. Karena suatu kebetulan ala Tintin kedua sejoli itu bertemu di rumah sakit, cinta bersemi, disirami dengan kepulangan sang kapten dari Afghanistan, dan dilanjutkan dengan pemupukan cinta di Urk. Dibumbui penyedap sisipan kisah dengan tetangga musuh bebuyutan Korea Utara, Descendants of the Sun mengikuti pola umum drama aksi Korea yang pernah saya lihat. Hubungan benci tapi rindu dengan Korea Utara. Persis film India yang selalu menyertakan Pakistan sebagai bahan ledekan, apalagi menyangkut Kashmir.
Alkisah, di samping berbagai serba kebetulan lainnya, dr. Kang Mo Yeon dikirim memimpin relawan medis ke Urk, negeri yang usai dilanda perang itu tentu saja Irak yang disamarkan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Korea Selatan mengirimkan pasukan sebagai bagian dari Sekutu dalam perang menggempur Irak. Anehnya, pasukan khusus dalam drama ini bermarkas di sebuah gereja. Walaupun di Irak terdapat banyak umat Kristen Assiria, pilihan ini tetap ganjil. Seperti tak ada tempat lain saja. Tetapi kalau ingat berita bahwa misionaris Korea Selatan sering menimbulkan ketegangan di kalangan warga Muslim setempat, ya wajar juga kalau ada semangat evangelis dalam film ini. Yang aneh, bahasa Arab orang setempat dalam drama itu mudah saya pahami. Padahal biasanya saya selalu tak paham dengan bahasa Arab pasaran. Artinya, bahasa Arab dalam film itu bahasa Arab yang dipelajari di sekolah-sekolah. Tidak lazim, karena lazimnya orang Arab berbicara dalam bahasa Arab sukiyah, yang saya tak paham. Yang lebih aneh lagi, tulisan yang tertera di perahu menggunakan aksara Yunani. Saya curiga lokasi syutingnya di Cyprus atau Yunani. Yang paling aneh dari semua itu, saya bisa memaklumi kekurangan fatal tersebut. Karena ceritanya memang bagus. Lebih tepatnya cara bercerita film itu, karena kisah cinta di mana-mana ya sama saja. Gangnam bisa diganti Pasar Senen, Afghanistan bisa diganti Papua, Urk (Irak) bisa diganti Pasar Klewer. Dan cinta, di Mars sekalipun (misalnya dalam film Red Planet), hanya menarik pada proses “jadian”. Sehabis itu ya .... bayar listrik, cicilan kredit, dan hal-hal tak menarik lainnya. Meski sesungguhnya di situlah cinta sejati terbukti. Bukan di socmed dengan mengumbar wejangan cinta dengan twit yang dibuat di ranjang perkawinan sudah mirip kuburan. Wkwkwk sajalah soal ini.
Selain pemeran dr. Kang Mo Yeon dan Letnan Yoon Myeong Ju memang cantik menawan begitu indah dilihat, cara meramu klise-klise kisah cinta (yang sejak jaman Napoleon masih kopral sebetulnya ya begitu-begitu saja:  Naksir, ditolak, mbulet dibikin sendiri, diterima) memang memukau. Pendek kata: menghibur. Dan itulah tujuan film yang saya sepakati. Kalau mau yang rumit-rumit ya baca Martin Heidegger :D
Segi menarik lain dari Descendants of the Sun, Korea Selatan adalah negara yang menakjubkan bagi saya. Waktu kecil saya cuma tahu negeri ginseng itu berkat zona demiliterisasi Panmunjom yang sering diberitakan dalam Dunia Dalam Berita. Agak besar sedikit, yang saya dengar soal Korea Selatan adalah parlemennya yang suka ribut. Ketika kuliah, demonstrasi mahasiswa Korea Selatan adalah pembicaraan yang sering saya dengar. Kemudian muncul HP Samsung. Lalu alat penanak nasi Yong Ma. Lalu mobil-mobil KIA, Hyundai (sponsor Decendants of the Sun) yang membanjiri negeri kita melawan dominasi mobil Jepang. Samsung sukses menganvaskan Nokia di negeri kita.
Kembali ke drama, Korea Selatan sungguh luar biasa. Dengan bahasa yang tak kita kenal, produksi film negeri asal Tae Kwon Do itu menjaring banyak sekali penggemar yang cukup fanatik. Sesungguhnya, kata teman saya yang lama tinggal di Seoul, perempuan Korsel itu umumnya jelek-jelek. Susah minta ampun mencari perempuan cantik. Kata teman saya itu, yang cantik ya cuma para aktris. Justru inilah luar biasanya bagi saya. Kita adalah penduduk negeri yang tidak mengenal defisit perempuan cantik. Tapi ya gitu .... prestasi kita begini-begini saja. Tapi cantik saja tidak cukup, saya rasa, dalam kasus Descendants of the Sun mimik wajah para aktris yang berbicara lebih banyak dari kata-kata itu tak banyak saya lihat di sinetron-sinetron kita. Belum lagi soal akting. Bahkan dengan kedodorannya casting dalam latar Urk dan replikasi lokasi yang terkesan seadanya, drama ini memukau karena akting para pemeran utama begitu alami hingga sejenak lupa bahwa yang sedang kita lihat itu drama saja.