Pages

Tuesday, May 31, 2016

Descendants of the Sun



drama korea bagus
Song Hye Kyo


Sering kali saya tak habis pikir dengan profesi penerjemah ini, apalagi penerjemah karya-karya sastra. Dari segi bayaran aduhai memelasnya, sedangkan tingkat kesulitannya sering membuat saya menyesal bersumpah tidak memaki. Inilah yang saya alami belakangan ini dengan karya Édouard Dujardin Les lauriers sont coupés yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stuart Gilbert menjadi We’ll to the Wood No More. Novel tipis aliran Simbolisme ini cukup menyiksa dengan melimpahnya kosa kata mudah, misalnya joint dan post, tetapi menjadi tak terkatakan sulitnya ketika dibunyikan dalam satu kalimat. Belum lagi kata-kata ripple, gloom, air, backwash yang artinya bisa apa saja ketika berdiri sendiri diapit koma dalam kalimat panjang. Novel Dujardin penuh kata benda dalam satu kalimat yang hanya dipisah dengan koma. Ringkasnya: susahnya minta maaf.
Selesai menerjemahkan, saya pergi ke Alfamart untuk mencari kata-kata setan tersebut memanfaatkan fasilitas internet Rp5.000 per 12 jam. Sebelum saya berangkat menunaikan tugas yang membikin senewen ini, istri saya meminta saya agar men-download (saya tahu kata Indonesianya mengunduh, tapi agak malas menggunakannya) drama Korea. Waduh, ini jelas lebih berat dari pekerjaan mencari padanan on the rocks, afterdusks, farniente .... Saya tak pernah mengerti kesenangan menonton drama Korea. Terakhir saya menonton drama Korea tahun 2000-an awal, tentang anak yang tertukar dan saling cinta, lupa judulnya.
Rupanya ada orang di sebelah saya yang mengamati layar saya ketika saya men-download Birth of a Beauty, saya baru tahu itu ketika orang tersebut menawarkan, “Saya sudah punya itu, Pak, kalau Bapak mau dan bawa flash disk, saya bisa kopikan ....” Agak malu juga, jangan-jangan dia pikir saya maniak drama Korea. Lha, tapi dia kan laki-laki juga ... hahaha ... Dan file di laptopnya adalah harta karun drama Korea, ya saya jawab saja, “Mas, ini sudah hampir selesai download-nya, kalau ada yang lain bolehlah saya dikopikan ke flash disk. Sampai rumah saya buka flash disk, isinya folder Descendants of the Sun. Walah, paling silat Korea, saya membatin. Tapi kan dikasih orang, masa mengeluh? Akhirnya saya tonton. Saya selalu begitu setiap kali menjelang tenggat (kadang-kadang, sering malah, selewat tenggat sebenarnya), konsentrasi pecah dan mengerjakan hal-hal tidak perlu. Wkwkwkwk.
Ternyata film cinta-cintaan dengan latar tahun 2015. Kisah cinta antara Kapten Yoo Si Jin dan dokter Kang Mo Yeon. Si kapten adalah komandan Tim Alfa pasukan khusus Korea Selatan, si dokter adalah ahli bedah di Rumah Sakit Haesung. Karena suatu kebetulan ala Tintin kedua sejoli itu bertemu di rumah sakit, cinta bersemi, disirami dengan kepulangan sang kapten dari Afghanistan, dan dilanjutkan dengan pemupukan cinta di Urk. Dibumbui penyedap sisipan kisah dengan tetangga musuh bebuyutan Korea Utara, Descendants of the Sun mengikuti pola umum drama aksi Korea yang pernah saya lihat. Hubungan benci tapi rindu dengan Korea Utara. Persis film India yang selalu menyertakan Pakistan sebagai bahan ledekan, apalagi menyangkut Kashmir.
Alkisah, di samping berbagai serba kebetulan lainnya, dr. Kang Mo Yeon dikirim memimpin relawan medis ke Urk, negeri yang usai dilanda perang itu tentu saja Irak yang disamarkan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Korea Selatan mengirimkan pasukan sebagai bagian dari Sekutu dalam perang menggempur Irak. Anehnya, pasukan khusus dalam drama ini bermarkas di sebuah gereja. Walaupun di Irak terdapat banyak umat Kristen Assiria, pilihan ini tetap ganjil. Seperti tak ada tempat lain saja. Tetapi kalau ingat berita bahwa misionaris Korea Selatan sering menimbulkan ketegangan di kalangan warga Muslim setempat, ya wajar juga kalau ada semangat evangelis dalam film ini. Yang aneh, bahasa Arab orang setempat dalam drama itu mudah saya pahami. Padahal biasanya saya selalu tak paham dengan bahasa Arab pasaran. Artinya, bahasa Arab dalam film itu bahasa Arab yang dipelajari di sekolah-sekolah. Tidak lazim, karena lazimnya orang Arab berbicara dalam bahasa Arab sukiyah, yang saya tak paham. Yang lebih aneh lagi, tulisan yang tertera di perahu menggunakan aksara Yunani. Saya curiga lokasi syutingnya di Cyprus atau Yunani. Yang paling aneh dari semua itu, saya bisa memaklumi kekurangan fatal tersebut. Karena ceritanya memang bagus. Lebih tepatnya cara bercerita film itu, karena kisah cinta di mana-mana ya sama saja. Gangnam bisa diganti Pasar Senen, Afghanistan bisa diganti Papua, Urk (Irak) bisa diganti Pasar Klewer. Dan cinta, di Mars sekalipun (misalnya dalam film Red Planet), hanya menarik pada proses “jadian”. Sehabis itu ya .... bayar listrik, cicilan kredit, dan hal-hal tak menarik lainnya. Meski sesungguhnya di situlah cinta sejati terbukti. Bukan di socmed dengan mengumbar wejangan cinta dengan twit yang dibuat di ranjang perkawinan sudah mirip kuburan. Wkwkwk sajalah soal ini.
Selain pemeran dr. Kang Mo Yeon dan Letnan Yoon Myeong Ju memang cantik menawan begitu indah dilihat, cara meramu klise-klise kisah cinta (yang sejak jaman Napoleon masih kopral sebetulnya ya begitu-begitu saja:  Naksir, ditolak, mbulet dibikin sendiri, diterima) memang memukau. Pendek kata: menghibur. Dan itulah tujuan film yang saya sepakati. Kalau mau yang rumit-rumit ya baca Martin Heidegger :D
Segi menarik lain dari Descendants of the Sun, Korea Selatan adalah negara yang menakjubkan bagi saya. Waktu kecil saya cuma tahu negeri ginseng itu berkat zona demiliterisasi Panmunjom yang sering diberitakan dalam Dunia Dalam Berita. Agak besar sedikit, yang saya dengar soal Korea Selatan adalah parlemennya yang suka ribut. Ketika kuliah, demonstrasi mahasiswa Korea Selatan adalah pembicaraan yang sering saya dengar. Kemudian muncul HP Samsung. Lalu alat penanak nasi Yong Ma. Lalu mobil-mobil KIA, Hyundai (sponsor Decendants of the Sun) yang membanjiri negeri kita melawan dominasi mobil Jepang. Samsung sukses menganvaskan Nokia di negeri kita.
Kembali ke drama, Korea Selatan sungguh luar biasa. Dengan bahasa yang tak kita kenal, produksi film negeri asal Tae Kwon Do itu menjaring banyak sekali penggemar yang cukup fanatik. Sesungguhnya, kata teman saya yang lama tinggal di Seoul, perempuan Korsel itu umumnya jelek-jelek. Susah minta ampun mencari perempuan cantik. Kata teman saya itu, yang cantik ya cuma para aktris. Justru inilah luar biasanya bagi saya. Kita adalah penduduk negeri yang tidak mengenal defisit perempuan cantik. Tapi ya gitu .... prestasi kita begini-begini saja. Tapi cantik saja tidak cukup, saya rasa, dalam kasus Descendants of the Sun mimik wajah para aktris yang berbicara lebih banyak dari kata-kata itu tak banyak saya lihat di sinetron-sinetron kita. Belum lagi soal akting. Bahkan dengan kedodorannya casting dalam latar Urk dan replikasi lokasi yang terkesan seadanya, drama ini memukau karena akting para pemeran utama begitu alami hingga sejenak lupa bahwa yang sedang kita lihat itu drama saja.    

No comments:

Post a Comment