Song Hye Kyo |
Sering kali saya tak habis pikir dengan profesi
penerjemah ini, apalagi penerjemah karya-karya sastra. Dari segi bayaran aduhai
memelasnya, sedangkan tingkat kesulitannya sering membuat saya menyesal
bersumpah tidak memaki. Inilah yang saya alami belakangan ini dengan
karya Édouard Dujardin Les lauriers sont
coupés yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stuart Gilbert
menjadi We’ll to the Wood No More.
Novel tipis aliran Simbolisme ini cukup menyiksa dengan melimpahnya kosa kata
mudah, misalnya joint dan post, tetapi menjadi tak terkatakan
sulitnya ketika dibunyikan dalam satu kalimat. Belum lagi kata-kata ripple, gloom, air, backwash yang artinya bisa apa saja
ketika berdiri sendiri diapit koma dalam kalimat panjang. Novel Dujardin penuh
kata benda dalam satu kalimat yang hanya dipisah dengan koma. Ringkasnya:
susahnya minta maaf.
Selesai menerjemahkan, saya pergi ke Alfamart untuk
mencari kata-kata setan tersebut memanfaatkan fasilitas internet Rp5.000 per 12
jam. Sebelum saya berangkat menunaikan tugas yang membikin senewen ini, istri
saya meminta saya agar men-download
(saya tahu kata Indonesianya mengunduh, tapi agak malas menggunakannya) drama
Korea. Waduh, ini jelas lebih berat dari pekerjaan mencari padanan on the rocks, afterdusks, farniente
.... Saya tak pernah mengerti kesenangan menonton drama Korea. Terakhir saya
menonton drama Korea tahun 2000-an awal, tentang anak yang tertukar dan saling
cinta, lupa judulnya.
Rupanya ada orang di sebelah saya yang mengamati layar
saya ketika saya men-download Birth of a
Beauty, saya baru tahu itu ketika orang tersebut menawarkan, “Saya sudah
punya itu, Pak, kalau Bapak mau dan bawa flash disk, saya bisa kopikan ....”
Agak malu juga, jangan-jangan dia pikir saya maniak drama Korea. Lha, tapi dia
kan laki-laki juga ... hahaha ... Dan file di laptopnya adalah harta karun
drama Korea, ya saya jawab saja, “Mas, ini sudah hampir selesai download-nya, kalau ada yang lain
bolehlah saya dikopikan ke flash disk.
Sampai rumah saya buka flash disk,
isinya folder Descendants of the Sun.
Walah, paling silat Korea, saya membatin. Tapi kan dikasih orang, masa mengeluh?
Akhirnya saya tonton. Saya selalu begitu setiap kali menjelang tenggat
(kadang-kadang, sering malah, selewat tenggat sebenarnya), konsentrasi pecah
dan mengerjakan hal-hal tidak perlu. Wkwkwkwk.
Ternyata film cinta-cintaan dengan latar tahun 2015.
Kisah cinta antara Kapten Yoo Si Jin dan dokter Kang Mo Yeon. Si kapten adalah komandan
Tim Alfa pasukan khusus Korea Selatan, si dokter adalah ahli bedah di Rumah
Sakit Haesung. Karena suatu kebetulan ala Tintin kedua sejoli itu bertemu di
rumah sakit, cinta bersemi, disirami dengan kepulangan sang kapten dari
Afghanistan, dan dilanjutkan dengan pemupukan cinta di Urk. Dibumbui penyedap
sisipan kisah dengan tetangga musuh bebuyutan Korea Utara, Descendants of the Sun mengikuti pola umum drama aksi Korea yang
pernah saya lihat. Hubungan benci tapi rindu dengan Korea Utara. Persis film
India yang selalu menyertakan Pakistan sebagai bahan ledekan, apalagi
menyangkut Kashmir.
Alkisah, di samping berbagai serba kebetulan lainnya, dr.
Kang Mo Yeon dikirim memimpin relawan medis ke Urk, negeri yang usai dilanda
perang itu tentu saja Irak yang disamarkan. Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa Korea Selatan mengirimkan pasukan sebagai bagian dari Sekutu dalam perang
menggempur Irak. Anehnya, pasukan khusus dalam drama ini bermarkas di sebuah
gereja. Walaupun di Irak terdapat banyak umat Kristen Assiria, pilihan ini
tetap ganjil. Seperti tak ada tempat lain saja. Tetapi kalau ingat berita bahwa
misionaris Korea Selatan sering menimbulkan ketegangan di kalangan warga Muslim
setempat, ya wajar juga kalau ada semangat evangelis dalam film ini. Yang aneh,
bahasa Arab orang setempat dalam drama itu mudah saya pahami. Padahal biasanya
saya selalu tak paham dengan bahasa Arab pasaran. Artinya, bahasa Arab dalam
film itu bahasa Arab yang dipelajari di sekolah-sekolah. Tidak lazim, karena
lazimnya orang Arab berbicara dalam bahasa Arab sukiyah, yang saya tak paham. Yang lebih aneh lagi, tulisan yang
tertera di perahu menggunakan aksara Yunani. Saya curiga lokasi syutingnya di
Cyprus atau Yunani. Yang paling aneh dari semua itu, saya bisa memaklumi
kekurangan fatal tersebut. Karena ceritanya memang bagus. Lebih tepatnya cara
bercerita film itu, karena kisah cinta di mana-mana ya sama saja. Gangnam bisa
diganti Pasar Senen, Afghanistan bisa diganti Papua, Urk (Irak) bisa diganti
Pasar Klewer. Dan cinta, di Mars sekalipun (misalnya dalam film Red Planet),
hanya menarik pada proses “jadian”. Sehabis itu ya .... bayar listrik, cicilan
kredit, dan hal-hal tak menarik lainnya. Meski sesungguhnya di situlah cinta
sejati terbukti. Bukan di socmed
dengan mengumbar wejangan cinta dengan twit yang dibuat di ranjang perkawinan
sudah mirip kuburan. Wkwkwk sajalah soal ini.
Selain pemeran dr. Kang Mo Yeon dan Letnan Yoon Myeong Ju
memang cantik menawan begitu indah dilihat, cara meramu klise-klise kisah cinta
(yang sejak jaman Napoleon masih kopral sebetulnya ya begitu-begitu saja: Naksir, ditolak, mbulet dibikin sendiri,
diterima) memang memukau. Pendek kata: menghibur. Dan itulah tujuan film yang
saya sepakati. Kalau mau yang rumit-rumit ya baca Martin Heidegger :D
Segi menarik lain dari Descendants
of the Sun, Korea Selatan adalah negara yang menakjubkan bagi saya. Waktu
kecil saya cuma tahu negeri ginseng itu berkat zona demiliterisasi Panmunjom
yang sering diberitakan dalam Dunia Dalam Berita. Agak besar sedikit, yang saya
dengar soal Korea Selatan adalah parlemennya yang suka ribut. Ketika kuliah,
demonstrasi mahasiswa Korea Selatan adalah pembicaraan yang sering saya dengar.
Kemudian muncul HP Samsung. Lalu alat penanak nasi Yong Ma. Lalu mobil-mobil
KIA, Hyundai (sponsor Decendants of the
Sun) yang membanjiri negeri kita melawan dominasi mobil Jepang. Samsung
sukses menganvaskan Nokia di negeri kita.
Kembali ke drama, Korea Selatan sungguh luar biasa.
Dengan bahasa yang tak kita kenal, produksi film negeri asal Tae Kwon Do itu
menjaring banyak sekali penggemar yang cukup fanatik. Sesungguhnya, kata teman
saya yang lama tinggal di Seoul, perempuan Korsel itu umumnya jelek-jelek.
Susah minta ampun mencari perempuan cantik. Kata teman saya itu, yang cantik ya
cuma para aktris. Justru inilah luar biasanya bagi saya. Kita adalah penduduk
negeri yang tidak mengenal defisit perempuan cantik. Tapi ya gitu .... prestasi
kita begini-begini saja. Tapi cantik saja tidak cukup, saya rasa, dalam kasus Descendants of the Sun mimik wajah para
aktris yang berbicara lebih banyak dari kata-kata itu tak banyak saya lihat di
sinetron-sinetron kita. Belum lagi soal akting. Bahkan dengan kedodorannya casting dalam latar Urk dan replikasi lokasi
yang terkesan seadanya, drama ini memukau karena akting para pemeran utama begitu
alami hingga sejenak lupa bahwa yang sedang kita lihat itu drama saja.
No comments:
Post a Comment