Pages

Saturday, November 21, 2015

Perbatasan Thailand – Kamboja, Poipet, dan Siem Reap.



Katanya bandara internasional sebagai pintu masuk suatu negara adalah halaman muka yang mencerminkan kondisi negara yang bersangkutan. Tampaknya anggapan serupa berlaku untuk perbatasan pintu masuk utama jalur darat. Kantor imigrasi Thailand di Aranyaprathet yang lebih dari layak bisa dibilang menggambarkan Thailand sebagai negara sedang berkembang, sedangkan kantor imigrasi Kamboja di seberangnya yang lebih mengenaskan dari warung Indomie itu menjelaskan dengan sendirinya situasi kerajaan dengan perekonomian megap-megap. Saya rasa perilaku mengecoh di sisi Thailand dan di sisi Kamboja, yang lebih menyeramkan, juga menjelaskan situasi perekonomian kedua negara bertetangga itu.
Laki-laki jangkung dengan tato di leher yang menempel saya sejak di wilayah Thailand terus merapalkan kata yang itu-itu saja: visa, stamp. Saya jawab dengan rumus yang ini-ini saja: nggak, saya orang Indonesia. Dengan kegigihan bagai lalat dia pindah ke orang Australia yang berjalan bersama saya. Alhasil, saya kena getahnya juga. Entah tidak tahan dengan kegigihan si penempel entah bagaimana, Tim (nama orang Australia itu) belok juga ke kantor imigrasi Kamboja (yang tidak mengurusi stempel paspor) dan mengajak saya serta. Kepada saya seorang petugas bertanya berapa lama saya akan tinggal di Kamboja. Saya bilang dua hari. Dia menyuruh saya langsung ke border control untuk cap paspor. Si penempel bermodal sir, visa, stamp yang menunggu di luar tak putus asa, melanjutkan upaya kepada Tim menawarkan taksi ke Poipet, walaupun seluruh dunia juga tahu kalau pemerintah Kamboja menyediakan bus gratis dari perbatasan ke terminal Poipet. Kegigihannya boleh juga ... menjengkelkannya.
Saya masuk ke bangunan tripleks imigrasi Kamboja, tentu saja si parasit tatoan tidak ikut, urusan selesai dengan cepat karena yang antre tidak banyak. Tim sudah berada di tempat menunggu bus ketika saya keluar dari kantor imigrasi yang terbikin dari tripleks itu. Si leher bertato kembali menempel saya kendati urusan keimigrasian sudah beres dan tak ada lagi peluang mengecoh untuknya. Saya heran, apalagi aksinya kemudian? Ketika saya menukar uang baht ke riel Kamboja si lintah bilang bahwa saya harus memberi dia tips “one hundred”. Saya benar-benar kesal dengan keuletan lintah ini dalam upayanya mengisap darah orang. Saya jawab, “Tips apaan?” Dia tampak terperanjat mendengar pertanyaan saya. Saya berlagak pilon saja. Duduk diam. Dia terus berdiri di samping saya dan mengatakan sesuatu kepada orang-orang di sekitar dalam bahasa yang jelas saya tidak mengerti. Kali ini mantranya berubah: tips, tips, tips. Agak takut juga saya. Betapa tidak, ini negara seperti tak ada aparatnya. Orang bisa nekat berusaha memeras bahkan ketika tak jauh di depan saya duduk seorang polisi Kamboja yang bertugas jaga. Dia tidak menunjukkan isyarat membantu saya lepas dari tempelan parasit bermodal kata-kata visa, stamp, tips itu. Entah dari mana tiba-tiba saya mendapat ide, tahu-tahu saya berkata keras, “Kenapa tak kamu minta tips ke bule-bule itu” sambil menunjuk ke Tim yang sedang mengobrol dengan sekumpulan backpackers bule. Manjur. Pemeras itu beringsut menjauh dan mengobrol dengan kawan-kawannya seraya memelototi saya. Seram pokoknya. Dan bus ke terminal Poipet tak kunjung datang. Kini giliran para bule dikerumuni orang-orang sejenis si leher bertato dengan modus menawarkan taksi. Dan polisi itu ... ya mau bagaimana lagi. Mungkin pemandangan sehari-hari yang dilihatnya begitu. Akhirnya bus tiba. Saya terbebas dari orang yang kerja saja tidak tetapi minta tips 100 baht. Gila! Dan para bule terbebas dari mantra, “Taxi, my friend!
Terminal Poipet sepi. Bangunan besar itu tampak mubadzir dengan ruang-ruang untuk toko yang tak terpakai. Tempat menjual makanan yang buka ada di tengah ruangan lapang itu. Tak banyak, hanya ada dua atau tiga resto dengan beberapa gelintir turis bule minum-minum bir. Saya membeli tiket bus ke Siem Reap seharga 9 USD. Agak khawatir juga kalau uang kembaliannya riel karena saya membayar dengan pecahan 50 USD. Ternyata tidak, kembalian yang saya terima sepenuhnya dalam dolar AS. Setelah membeli tiket saya berjalan-jalan seorang diri melihat-lihat terminal dan sekelilingnya. Di luar terminal keadaannya persis Indonesia tahun 1980-an. Cuma mobil dan sepeda motor saja yang menegaskan bahwa ini tahun 2000-an. Di atas salah satu pintu terminal terbentang spanduk bertuliskan “Tourism creates jobs and opportunisties”. Ya tapi kalau parasit-parasit model perbatasan itu dibiarkan orang akan lebih suka menggunakan penerbangan untuk mengagumi Angkor Wat, War Museum, Night Market, Pub Street, dan lain-lain, di Siem Reap.
Kembali masuk ke terminal, seorang pemandu wisata bertanya saya dari negara mana. Saya bilang dari Indonesia. Kata dia, seandainya tidak mendengar saya berbicara dalam bahasa Inggris dia pasti mengira saya Cambodian Muslim. Saya jadi mafhum, kalau saja di perbatasan tadi saya diam saja pasti si parasit tidak akan menempel saya. Haha. Agak lama kemudian bus tujuan Siem Reap menyalakan mesin, saya mencari Tim yang sedang menunggu bus ke Battambang di sisi lain terminal untuk berpamitan.
Dari Poipet ke Siem Reap, bus yang berlari santai itu membutuhkan waktu sekitar 3 jam, sudah termasuk beristirahat di sebuah toko suvenir yang juga menjual makanan dan minuman. Bus dari Poipet tidak sampai ke pusat kota Siem Reap, melainkan masuk ke sebuah gang kecil di mana pool bus tersebut berada. Tentu saja tukang tuk-tuk sudah menunggu. Mungkin inilah pelaksanaan dari slogan dalam spanduk di terminal Poipet bahwa pariwisata menciptakan pekerjaan dan membuka peluang. Bus sengaja tidak masuk kota untuk memberi kesempatan para tukang tuk-tuk mencari uang.
Saya berjalan kaki, tak seorang pun tukang tuk-tuk yang lewat menawari saya. Tampaknya benar bahwa tampang orang kita mirip orang Kamboja. Setelah menimbang-nimbang kemungkinan akan tiba di pusat kota Siem Reap kemalaman kalau berjalan kaki, saya menghampiri tukang tuk-tuk yang sedang bermain hp di tuk-tuknya. Lima dolar katanya. Dua kali ongkos Stasiun Aranyaprathet ke perbatasan yang jaraknya kurang lebih sama dengan pool bus ke pusat kota Siem Reap. Sebagai perbandingan saja, masa Paron – Ngawi ongkosnya Rp69.000? Untunglah ada dua orang turis backpackers Italia dan seorang perempuan muda Kamboja yang bersedia berbagi ongkos. Ketika sampai di perempatan Pub Street, saya kebagian membayar 2 USD.
Pertama yang saya cari adalah rumah makan halal yang katanya dekat dengan tempat saya turun dari tuk-tuk. Setelah berjalan ke sana kemari dan ternyata hanya berputar-putar di kawasan Pub Street, Night Market dan Old Market, saya bertanya pada dua perempuan berkerudung di mana rumah makan halal. “Bapak dari Indonesia?” tanya salah seorang dari mereka meski saya bertanya dalam bahasa Inggris. Ternyata mereka orang Malaysia. Dia lalu memanggil rombongan mereka yang berjalan lebih dahulu dan meminta kepada seorang laki-laki temannya agar menunjukkan arah Rumah Makan Haji Musa (Muslim Family Restaurant) kepada saya. “Bapak jalan lurus, lalu ada pengkolan belok kiri lalu ....” “Ya, terima kasih banyak,” kata saya setulus hati meski sama sekali tak paham ketika dia menunjukkan peta google di hp-nya. Selain berhitung, kemampuan saya membaca peta sungguh mengundang iba. Saya ikuti sarannya, tetapi tak ketemu juga. Biasanya saya gampang mencari alamat di Yogyakarta, tetapi harus siang dan ada masjid untuk menentukan arah. Lha ini malam, dan masjidnya masih belum ketemu hahaha.
Karena letih, saya putuskan untuk beristirahat di OneStop Hostel. Semalam 7 USD tarifnya. Tentu bukan kamar, melainkan ruangan dengan enam tempat tidur susun (dormitory). Ya tak apa, wong tidur di emperan Hua Lamphong saja tak masalah. Haha. Secara keseluruhan, bisa dibilang OneStop Hostel ini bolehlah.
hostel murah Siem Reap
OneStop Hostel, Siem Reap

hostel penginapan murah Siem Reap
Papan nama jalan di depan OneStop Hostel, Siem Reap

Dua atau tiga ruko di selatan Onestop Hostel ada warnet yang tarifnya 0,7 dolar AS per jam. Warnet ini juga menyediakan segala macam tiket perjalanan ke berbagai tujuan, tetapi saya tidak membeli tiket bus ke Kota Ho Chi Minh di situ, melainkan di seberang jalan di biro perjalanan bernama Unique Travel. Harga tiket Siem Reap – Ho Chi Minh adalah 20 USD. Di tempat lain saya lihat ada yang menawarkan 17 USD, di warnet tempat saya mengetik menawarkan harga 18 USD. Yah, sudah telanjur beli, mau bagaimana lagi. Perlu diketahui bahwa sekalipun kita memesan bus dari Siem Reap langsung ke Kota Ho Chi Minh, konon ada peraturan pemerintah yang mengharuskan pergantian bus di Phnom Penh.
warnet murah siem reap di samping restoran halal maharajah
Warnet murah di Siem Reap, per jam 0,7 dolar AS

tiket bus Siem Reap ke Ho Chi Minh City
Tawaran biro perjalanan Siem Reap
tempat pemesanan tiket bus di Siem Reap
Penjualan aneka tiket di Siem Reap


Kepada resepsionis saya tanyakan arah masjid. Katanya, beberapa meter di sebelah kanan hostel ada jalan, ikuti jalan itu, belok kiri, lalu kanan, tanya orang di sekitar situ. Saya ikuti petunjuk dia, belum sampai tempat yang dimaksud saya sudah menemukan rumah-rumah warga Muslim Siem Reap. Banyak anak-anak kecil berkopiah berlarian dan bersepeda, meski tidak sedang TPA (di tempat kita, biasanya anak-anak berbusana muslim dan muslimah di sore hari saat berkegiatan TPA). Kepada seorang ibu yang sedang menyapu di halaman saya sengaja bertanya dalam bahasa Indonesia, “Di mana masjid, Bu?” Minimal kata masjid dia pasti tahu. Dan benar, ternyata ibu itu bisa bahasa Melayu. “Jalan ini teras ... eh, terus, sampai depan belok kiri.” Saya berterima kasih dan berlalu menapaki jalan tak beraspal seraya berpikir, “Jangan-jangan teras tadi itu memang terus dalam bahasa lokal, persis teras dalam bahasa Jawa halus untuk terus?” Di jalanan aspal depan Muslim Family Kitchen saya berhenti, di arah selatan (kiri) tampak masjid, warung-warung makan dengan penjual berkerudung cukup banyak terlihat. Anak-anak berkopiah lalu lalang, gadis-gadis kecil berjilbab tampak bermain-main dan berteriak-teriak dalam bahasa Melayu. Saya berjalan kaki ke utara, menjauhi masjid, menuju papan nama Cambodian Muslim Restaurant. Makanannya enak, harganya pun masuk akal. Kemudian saya kembali ke hostel untuk check out, pukul 12.00. Saya tidak memperpanjang menginap di OneStop Hostel karena sudah harus berada di agen bus yang akan membawa saya ke Kota Ho Chi Minh tepat pukul 22.00.
Sore hari saya makan di restoran Wau. Restoran halal yang berada tak jauh dari tempat saya makan siang tadi. Tampaknya milik orang Malaysia, dan tentu saja bahasa Melayu terpakai di sini. Makanannya enak juga dan harganya wajar. Sehari semalam di Siem Reap saya cukup banyak mendapat kembalian dalam riel, karena jumlahnya tak seberapa, dan saya dengar agak sulit menukarkannya ke USD, saya sumbangkan saja untuk dana madrasah dan gaji ustadz di kotak amal yang tersedia di restoran Wau.
Menjelang maghrib saya datang ke masjid Siem Reap, di belakang masjid terdapat madrasah dengan ruangan bertuliskan “Kelas 1” dan keterangan-keterangan lain dalam bahasa Melayu. Di samping madrasah inilah terletak Muslim Family Restaurant milik Haji Usman.
masjid di sebelah rumah makan Haji Musa Siem Reap
Anak-anak bermain di halaman madrasah Siem Reap

Masjid di Siem Reap
Informasi dalam tiga bahasa di masjid Siem Reap

Masjid Siem Reap
Masjid Al Nikmatul Islami, Siem Reap
Di masjid Al Nikmatul Islami Siem Reap inilah saya salat berjamaah untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Yogyakarta. Ketika berdiri saat iqamah dan bersiap berdiri dalam saf, orang di samping saya memperkanalkan diri, “Saya Imron.” Saya tanya apakah Pak Imron tinggal di sekitar sini. Dia bilang ya. Kami bercakap-cakap, saya berbahasa Indonesia sedangkan Pak Imron berbahasa Melayu, hingga imam bertakbir mengawali salat Maghrib. Usai salam, saya memisahkan diri dari jamaah yang berdzikir untuk menjamak salat Isya. Kemudian saya berusaha mencari Pak Imron. Rupanya dia sudah pulang. Entah kapan saya bisa menyambung perbincangan kami. 
Sewaktu berjalan menyusuri gelap jalan tak beraspal yang saya lewati siang tadi, seorang bocah lelaki yang bergegas mendahului saya berucap, "Assalamu alaikum." Dia lalu masuk ke rumah di mana saya menanyakan masjid tadi siang.

No comments:

Post a Comment