Katanya bandara internasional sebagai pintu masuk suatu negara
adalah halaman muka yang mencerminkan kondisi negara yang bersangkutan.
Tampaknya anggapan serupa berlaku untuk perbatasan pintu masuk utama jalur
darat. Kantor imigrasi Thailand di Aranyaprathet yang lebih dari layak bisa
dibilang menggambarkan Thailand sebagai negara sedang berkembang, sedangkan
kantor imigrasi Kamboja di seberangnya yang lebih mengenaskan dari warung
Indomie itu menjelaskan dengan sendirinya situasi kerajaan dengan perekonomian
megap-megap. Saya rasa perilaku mengecoh di sisi Thailand dan di sisi Kamboja,
yang lebih menyeramkan, juga menjelaskan situasi perekonomian kedua negara
bertetangga itu.
Laki-laki jangkung dengan tato di leher yang menempel saya
sejak di wilayah Thailand terus merapalkan kata yang itu-itu saja: visa, stamp. Saya jawab dengan rumus yang
ini-ini saja: nggak, saya orang Indonesia. Dengan kegigihan bagai lalat dia
pindah ke orang Australia yang berjalan bersama saya. Alhasil, saya kena
getahnya juga. Entah tidak tahan dengan kegigihan si penempel entah bagaimana,
Tim (nama orang Australia itu) belok juga ke kantor imigrasi Kamboja (yang
tidak mengurusi stempel paspor) dan mengajak saya serta. Kepada saya seorang
petugas bertanya berapa lama saya akan tinggal di Kamboja. Saya bilang dua
hari. Dia menyuruh saya langsung ke border
control untuk cap paspor. Si penempel bermodal sir, visa, stamp yang menunggu di luar tak putus asa, melanjutkan
upaya kepada Tim menawarkan taksi ke Poipet, walaupun seluruh dunia juga tahu
kalau pemerintah Kamboja menyediakan bus gratis dari perbatasan ke terminal
Poipet. Kegigihannya boleh juga ... menjengkelkannya.
Saya masuk ke bangunan tripleks imigrasi Kamboja, tentu
saja si parasit tatoan tidak ikut, urusan selesai dengan cepat karena yang
antre tidak banyak. Tim sudah berada di tempat menunggu bus ketika saya keluar
dari kantor imigrasi yang terbikin dari tripleks itu. Si leher bertato kembali menempel saya
kendati urusan keimigrasian sudah beres dan tak ada lagi peluang mengecoh untuknya.
Saya heran, apalagi aksinya kemudian? Ketika saya menukar uang baht ke riel Kamboja si lintah bilang bahwa saya harus memberi dia tips “one hundred”. Saya benar-benar kesal dengan
keuletan lintah ini dalam upayanya mengisap darah orang. Saya jawab, “Tips apaan?”
Dia tampak terperanjat mendengar pertanyaan saya. Saya berlagak pilon saja.
Duduk diam. Dia terus berdiri di samping saya dan mengatakan sesuatu kepada
orang-orang di sekitar dalam bahasa yang jelas saya tidak mengerti. Kali ini mantranya
berubah: tips, tips, tips. Agak takut juga saya. Betapa tidak, ini negara
seperti tak ada aparatnya. Orang bisa nekat berusaha memeras bahkan ketika tak
jauh di depan saya duduk seorang polisi Kamboja yang bertugas jaga. Dia tidak
menunjukkan isyarat membantu saya lepas dari tempelan parasit bermodal kata-kata
visa, stamp, tips itu. Entah dari
mana tiba-tiba saya mendapat ide, tahu-tahu saya berkata keras, “Kenapa tak
kamu minta tips ke bule-bule itu” sambil menunjuk ke Tim yang sedang mengobrol
dengan sekumpulan backpackers bule.
Manjur. Pemeras itu beringsut menjauh dan mengobrol dengan kawan-kawannya
seraya memelototi saya. Seram pokoknya. Dan bus ke terminal Poipet tak kunjung
datang. Kini giliran para bule dikerumuni orang-orang sejenis si leher bertato
dengan modus menawarkan taksi. Dan polisi itu ... ya mau bagaimana lagi.
Mungkin pemandangan sehari-hari yang dilihatnya begitu. Akhirnya bus tiba. Saya
terbebas dari orang yang kerja saja tidak tetapi minta tips 100 baht. Gila! Dan
para bule terbebas dari mantra, “Taxi, my
friend!”
Terminal Poipet sepi. Bangunan besar itu tampak mubadzir
dengan ruang-ruang untuk toko yang tak terpakai. Tempat menjual makanan yang
buka ada di tengah ruangan lapang itu. Tak banyak, hanya ada dua atau tiga resto
dengan beberapa gelintir turis bule minum-minum bir. Saya membeli tiket bus ke
Siem Reap seharga 9 USD. Agak khawatir juga kalau uang kembaliannya riel karena
saya membayar dengan pecahan 50 USD. Ternyata tidak, kembalian yang saya terima
sepenuhnya dalam dolar AS. Setelah membeli tiket saya berjalan-jalan seorang
diri melihat-lihat terminal dan sekelilingnya. Di luar terminal keadaannya
persis Indonesia tahun 1980-an. Cuma mobil dan sepeda motor saja yang
menegaskan bahwa ini tahun 2000-an. Di atas salah satu pintu terminal
terbentang spanduk bertuliskan “Tourism
creates jobs and opportunisties”. Ya tapi kalau parasit-parasit model
perbatasan itu dibiarkan orang akan lebih suka menggunakan penerbangan untuk
mengagumi Angkor Wat, War Museum, Night Market, Pub Street, dan lain-lain, di
Siem Reap.
Kembali masuk ke terminal, seorang pemandu wisata
bertanya saya dari negara mana. Saya bilang dari Indonesia. Kata dia,
seandainya tidak mendengar saya berbicara dalam bahasa Inggris dia pasti mengira
saya Cambodian Muslim. Saya jadi
mafhum, kalau saja di perbatasan tadi saya diam saja pasti si parasit tidak
akan menempel saya. Haha. Agak lama kemudian bus tujuan Siem Reap menyalakan
mesin, saya mencari Tim yang sedang menunggu bus ke Battambang di sisi lain terminal
untuk berpamitan.
Dari Poipet ke Siem Reap, bus yang berlari santai itu
membutuhkan waktu sekitar 3 jam, sudah termasuk beristirahat di sebuah toko
suvenir yang juga menjual makanan dan minuman. Bus dari Poipet tidak sampai ke
pusat kota Siem Reap, melainkan masuk ke sebuah gang kecil di mana pool bus tersebut berada. Tentu saja
tukang tuk-tuk sudah menunggu. Mungkin inilah pelaksanaan dari slogan dalam spanduk
di terminal Poipet bahwa pariwisata menciptakan pekerjaan dan membuka peluang.
Bus sengaja tidak masuk kota untuk memberi kesempatan para tukang tuk-tuk
mencari uang.
Saya berjalan kaki, tak seorang pun tukang tuk-tuk yang
lewat menawari saya. Tampaknya benar bahwa tampang orang kita mirip orang Kamboja.
Setelah menimbang-nimbang kemungkinan akan tiba di pusat kota Siem Reap
kemalaman kalau berjalan kaki, saya menghampiri tukang tuk-tuk yang sedang
bermain hp di tuk-tuknya. Lima dolar katanya. Dua kali ongkos Stasiun
Aranyaprathet ke perbatasan yang jaraknya kurang lebih sama dengan pool bus ke pusat kota Siem Reap. Sebagai
perbandingan saja, masa Paron – Ngawi ongkosnya Rp69.000? Untunglah ada dua
orang turis backpackers Italia dan
seorang perempuan muda Kamboja yang bersedia berbagi ongkos. Ketika sampai di perempatan
Pub Street, saya kebagian membayar 2 USD.
Pertama yang saya cari adalah rumah makan halal yang
katanya dekat dengan tempat saya turun dari tuk-tuk. Setelah berjalan ke sana
kemari dan ternyata hanya berputar-putar di kawasan Pub Street, Night Market
dan Old Market, saya bertanya pada dua perempuan berkerudung di mana rumah
makan halal. “Bapak dari Indonesia?” tanya salah seorang dari mereka meski saya
bertanya dalam bahasa Inggris. Ternyata mereka orang Malaysia. Dia lalu
memanggil rombongan mereka yang berjalan lebih dahulu dan meminta kepada
seorang laki-laki temannya agar menunjukkan arah Rumah Makan Haji Musa (Muslim
Family Restaurant) kepada saya. “Bapak jalan lurus, lalu ada pengkolan belok
kiri lalu ....” “Ya, terima kasih banyak,” kata saya setulus hati meski sama
sekali tak paham ketika dia menunjukkan peta google di hp-nya. Selain
berhitung, kemampuan saya membaca peta sungguh mengundang iba. Saya ikuti
sarannya, tetapi tak ketemu juga. Biasanya saya gampang mencari alamat di
Yogyakarta, tetapi harus siang dan ada masjid untuk menentukan arah. Lha ini
malam, dan masjidnya masih belum ketemu hahaha.
Karena letih, saya putuskan untuk beristirahat di OneStop
Hostel. Semalam 7 USD tarifnya. Tentu bukan kamar, melainkan ruangan dengan
enam tempat tidur susun (dormitory).
Ya tak apa, wong tidur di emperan Hua Lamphong saja tak masalah. Haha. Secara keseluruhan, bisa dibilang OneStop
Hostel ini bolehlah.
Dua atau tiga ruko di selatan Onestop Hostel ada warnet
yang tarifnya 0,7 dolar AS per jam. Warnet ini juga menyediakan segala macam tiket
perjalanan ke berbagai tujuan, tetapi saya tidak membeli tiket bus ke Kota Ho Chi Minh di situ, melainkan di
seberang jalan di biro perjalanan bernama Unique Travel. Harga tiket Siem Reap – Ho
Chi Minh adalah 20 USD. Di tempat lain saya lihat ada yang menawarkan 17 USD,
di warnet tempat saya mengetik menawarkan harga 18 USD. Yah, sudah telanjur
beli, mau bagaimana lagi. Perlu diketahui bahwa sekalipun kita memesan bus dari Siem Reap langsung ke Kota Ho Chi Minh, konon ada peraturan pemerintah yang mengharuskan pergantian bus di Phnom Penh.
Kepada resepsionis saya tanyakan arah masjid. Katanya,
beberapa meter di sebelah kanan hostel ada jalan, ikuti jalan itu, belok kiri,
lalu kanan, tanya orang di sekitar situ. Saya ikuti petunjuk dia, belum sampai
tempat yang dimaksud saya sudah menemukan rumah-rumah warga Muslim Siem Reap.
Banyak anak-anak kecil berkopiah berlarian dan bersepeda, meski tidak sedang
TPA (di tempat kita, biasanya anak-anak berbusana muslim dan muslimah di sore
hari saat berkegiatan TPA). Kepada seorang ibu yang sedang menyapu di halaman
saya sengaja bertanya dalam bahasa Indonesia, “Di mana masjid, Bu?” Minimal
kata masjid dia pasti tahu. Dan benar, ternyata ibu itu bisa bahasa Melayu.
“Jalan ini teras ... eh, terus, sampai depan belok kiri.” Saya berterima kasih
dan berlalu menapaki jalan tak beraspal seraya berpikir, “Jangan-jangan teras tadi itu memang terus dalam bahasa
lokal, persis teras dalam bahasa Jawa
halus untuk terus?” Di jalanan aspal depan Muslim Family Kitchen saya
berhenti, di arah selatan (kiri) tampak masjid, warung-warung makan dengan penjual berkerudung cukup banyak terlihat. Anak-anak berkopiah lalu
lalang, gadis-gadis kecil berjilbab tampak bermain-main dan berteriak-teriak
dalam bahasa Melayu. Saya berjalan kaki ke utara, menjauhi masjid, menuju papan
nama Cambodian Muslim Restaurant. Makanannya enak, harganya pun masuk akal. Kemudian
saya kembali ke hostel untuk check out,
pukul 12.00. Saya tidak memperpanjang menginap di OneStop Hostel karena sudah harus
berada di agen bus yang akan membawa saya ke Kota Ho Chi Minh tepat pukul
22.00.
Sore hari saya makan di restoran Wau. Restoran halal yang
berada tak jauh dari tempat saya makan siang tadi. Tampaknya milik orang Malaysia,
dan tentu saja bahasa Melayu terpakai di sini. Makanannya enak juga dan
harganya wajar. Sehari semalam di Siem Reap saya cukup banyak mendapat kembalian
dalam riel, karena jumlahnya tak seberapa, dan saya dengar agak sulit
menukarkannya ke USD, saya sumbangkan saja untuk dana madrasah dan gaji ustadz
di kotak amal yang tersedia di restoran Wau.
Menjelang maghrib saya datang ke masjid Siem Reap, di belakang
masjid terdapat madrasah dengan ruangan bertuliskan “Kelas 1” dan
keterangan-keterangan lain dalam bahasa Melayu. Di samping madrasah inilah terletak
Muslim Family Restaurant milik Haji Usman.
Di masjid Al Nikmatul Islami Siem Reap inilah saya salat berjamaah untuk pertama
kalinya sejak meninggalkan Yogyakarta.
Ketika berdiri saat iqamah dan bersiap berdiri dalam saf, orang di samping saya
memperkanalkan diri, “Saya Imron.” Saya tanya apakah Pak Imron tinggal di
sekitar sini. Dia bilang ya. Kami bercakap-cakap, saya berbahasa Indonesia sedangkan
Pak Imron berbahasa Melayu, hingga imam bertakbir mengawali salat Maghrib. Usai
salam, saya memisahkan diri dari jamaah yang berdzikir untuk menjamak salat
Isya. Kemudian saya berusaha mencari Pak Imron. Rupanya dia sudah pulang. Entah
kapan saya bisa menyambung perbincangan kami.
Sewaktu berjalan menyusuri gelap jalan tak beraspal yang saya lewati siang tadi, seorang bocah lelaki yang bergegas mendahului saya berucap, "Assalamu alaikum." Dia lalu masuk ke rumah di mana saya menanyakan masjid tadi siang.
Sewaktu berjalan menyusuri gelap jalan tak beraspal yang saya lewati siang tadi, seorang bocah lelaki yang bergegas mendahului saya berucap, "Assalamu alaikum." Dia lalu masuk ke rumah di mana saya menanyakan masjid tadi siang.
No comments:
Post a Comment