When I turn to Bible, I
discover that my ancestor’s name was Abraham. He appears to have come from the
city of Ur in southern Mesopotamia. He left the sedentary world of Ur—the first
civilization created by man—and became a wanderer.
— Chaim Potok
Semua anak yang dididik dalam tradisi tiga agama
besar dunia, Yahudi, Kristen, Islam, pasti hafal kisah Nabi Ibrahim
meninggalkan Mesopotamia (kini Irak) menuju tanah Palestina dan menjadi leluhur
sekalian nabi yang diimani para penganut ketiga agama samawi tersebut. Tetapi
pemahaman bahwa kepergian nabi pertama yang diakui keberadaannya secara
arkeologis itu terkait dengan persoalan sumber daya tentu hanya dimiliki
orang-orang dewasa, sebagaimana terlihat dalam uraian berikut.
“Ia mengembara ke utara melalui Assiria, lalu ke
barat lewat Syria, dan ke selatan masuk Palestina menyusuri lengkung tak rata
hamparan tanah yang sebagian besar subur yang dibatasi pegunungan di sebelah
utara dan timur serta gurun pasir di selatan. Selama musim kelaparan, ia
menyusuri lengkung itu hingga ke ujung baratnya, Mesir, lalu kembali ke
Palestina. Lengkung bumi hijau itu dinamai Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) oleh sarjana Amerika
bernama James Henry Breasted.”1
Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan sumber daya,
manusia menempuh berbagai macam cara seperti perdagangan, yang sering ditopang
dengan perang, atau perang itu sendiri. Wilayah Bulan Sabit Subur yang kini
disebut Timur Tengah itu tak pernah sepi dari kegiatan perdagangan dan perang.
Dalam sejarah Islam sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kota kelahiran Nabi
Muhammad dikenal karena perdagangannya. Bahkan sebelum diangkat menjadi nabi,
Muhammad dikenal luas sebagai pedagang yang piawai. Janji Nabi Muhammad bahwa
pedagang yang jujur akan mendapatkan tempat di surga bersama para syuhada bisa
dipahami sebagai pemuliaan Islam terhadap perdagangan, yang dipandang rendah
dalam beberapa keyakinan lain. Uraian Charles Le Gai Eaton berikut bisa
menggambarkan betapa pentingnya peran pedagang dalam sejarah dan perkembangan
Islam.
Selama Abad Pertengahan para sarjana, dai, dan
pedagang Muslim menjelajahi seluruh dunia Islam yang membentang dari Spanyol
hingga Indonesia dengan paspor kalimat La
ilah illa ‘Llah. Perjalanan jauh mereka menjadi mudah berkat ajaran bahwa menunjukkan keramahan dan memberi
bantuan kepada musafir adalah ibadah. Begitu jauhnya mereka bepergian hingga
wajar jika ada yang bertanya-tanya sarana transportasi apa yang mereka gunakan
kalau bukan karpet terbang yang legendaris itu.
Banyak pedagang Muslim yang
bepergian melampaui batas Darul Islam. Seorang pedagang dari Kairo bisa menukar
surat berharganya dengan uang tunai di Canton. Meski begitu mereka umumnya
berusaha agar tetap berada di wilayah dunia beradab dan tidak mau mengambil
risiko memasuki Eropa yang gelap—di mana hampir bisa dipastikan mereka akan
dibunuh—walaupun mereka pasti tahu tentang wilayah itu dari para sarjana Eropa
yang belajar di universitas-universitas Islam besar di Spanyol. Seorang penulis
masa itu berpendapat, dengan niat baik yang tulus, bahwa orang kulit putih
(bertolak belakang dengan anggapan umum saat itu) tak kalah cerdas dari
orang-orang kulit hitam Afrika; tetapi secara keseluruhan Eropa pertengahan di
balik pegunungan Pyrenees tampaknya merupakan daerah penuh kebejatan dan
barbarisme.
Pada tahun 720 sesungguhnya
pasukan Muslim sudah berhasil menyeberangi hambatan besar pegunungan Pyrenees
dan seluruh Eropa Barat terbentang bagi mereka. Mereka dikalahkan oleh
orang-orang Frank dalam sebuah pertempuran di daerah yang kini berada di antara
kota Tours dan Poitiers, tetapi patut diragukan jika pertempuran ini dipandang
menentukan, dan bagaimanapun juga sayap timur pasukan sudah menembus Valais di
Swiss. Kemungkinan lebih besar yang menjadi sebab adalah hutan-hutan gelap di
depan mereka sungguh tidak memikat; dan dingin menggigilkan negeri-negeri empat
musim pastilah terasa seperti dinginnya kematian bagi mereka; dan sudah barang
tentu gelombang besar ekspansi, saat itu, sudah kelelahan dan mencapai batas
alaminya. Maju beberapa mil lagi pasukan itu dan ceritanya akan sangat berbeda,
dengan seorang sultan duduk di singgasana Prancis, amirnya menempati istana di
tepi Sungai Thames, dan anak cucu Eropa mendiami Amerika Utara di bawah
panji-panji Islam.2
Pada tahun 1683 pasukan Utsmani mengepung Wina
untuk terakhir kalinya, pasukan yang sudah kelelahan. Dunia Islam sudah berada
dalam posisi bertahan selama bertahun-tahun menghadapi kekuatan Barat yang
memiliki senjata api dan kapal-kapal yang lebih unggul. Dan pertahanan itu pun
runtuh. Inggris menguasai India dan Belanda berkuasa di Indonesia. Sementara
Rusia mengobrak-abrik kaum Muslimin di Balkan.
Adapun kebangkitan Barat melalui jalan kapitalisme diuraikan dengan jelas
oleh Michel Beaud dalam buku A History of
Captalism sebagaimana dikutip berikut:
Kapitalisme dibentuk dalam masyarakat pedagang dan moneter Eropa Barat.
Sebetulnya banyak masyarakat pedagang dan moneter yang pernah ada di dunia,
tetapi tidak berkembang menjadi bentuk baru kapitalisme ini, yang mempunyai
kemampuan besar kreatif dan destruktif semacam itu.
Masyarakat feodal sudah mapan pada abad kesebelas; dalam
kerangka estate, organisasi produksi (perbudakan, kerja paksa, korve)
dan pemaksaan kerja berlebihan (dalam bentuk penyewaan tenaga kerja) dilakukan
demi keuntungan seigneur, bangsawan tinggi pemilik tanah pemegang
hak-hak prerogatif politik dan yuridis.
Kendati demikian, masyarakat feodal nyaris tidak mapan
ketika proses kehancurannya bermula. Penyewaan tenaga kerja berubah menjadi
penyewaan barang atau peminjaman uang, dengan perkembangan buruh bebas dan
bentuk-bentuk kepemilikan petani. Berbarengan dengan itu terjadi pembaruan
perdagangan lewat pekan raya niaga, pengaktivan kembali kelas artisan (dalam
bingkai gilda), sebuah renaisans kehidupan perkotaan, dan pembentukan borjuasi
niaga. Dalam pembusukan tatanan feodal inilah pembentukan kapitalisme merkantil
berakar.
Selama satu periode beberapa abad “perjalanan panjang”
menuju kapitalisme meluas ke arah ini: sebuah proses kompleks dan kait-mengait
yang melibatkan formasi borjuasi saudagar dan perbankan, kemunculan
bangsa-bangsa dan pembentukan negara modern, ekspansi perdagangan dan dominasi
berskala global, perkembangan teknologi transportasi dan produksi, pemberlakuan
mode baru produksi dan kemunculan sikap serta ide-ide baru.
Tahap pertama dari perjalanan panjang ini ditandai oleh
penaklukan dan penggarongan Amerika (abad keenam belas), tahap kedua ditandai
dengan kebangkitan dan peneguhan borjuasi (abad ketujuh belas).
Perang Salib merupakan peluang untuk menghimpun kekayaan
luar biasa, yang paling mencolok adalah yang dilakukan Ordo Templar.
Perdagangan, perbankan, dan keuangan mula-mula berkembang di republik-republik
Italia abad ketiga belas dan keempat belas, selanjutnya di Belanda dan Inggris.
Dengan ditemukannya mesin cetak, kemajuan dalam metalurgi, pemanfaatan tenaga
air, dan penggunaan lori dalam pertambangan, peruh kedua abad kelima belas
ditandai oleh kemajuan nyata dalam produksi logam dan tekstil. Pada masa itu
meriam dan senjata-senjata api lainnya mulai diproduksi untuk pertama kalinya,
sementara penyempurnaan dalam konstruksi kapal layar ringan bertiang dua dan
dalam teknik-teknik navigasi memungkinkan dibukanya rute-rute maritim baru.
Modal, barang dagangan yang kian melimpah, kapal layar,
dan senjata: inilah sarana ekspansi bagi perniagaan, penemuan, dan penaklukan.
Pada gerakan yang sama dan di atas landasan yang sama
penghancuran tatanan feodal, monarki-monarki besar menggalang kekuatan melalui
perkawinan, dan membangun imperium dan kerajaan dari penaklukan-penaklukan
perang. Jauh sebelum persatuan nasional tercapai, negara-negara kuat bekerja
keras untuk menggembungkan otonomi mereka dalam hubungannya dengan kepausan.
Seruan bagi reformasi Gereja membuka jalan bagi gerakan Reformasi, yang menjadi
mesin perang melawan Paus. Walaupun moralitas Abad Pertengahan mengagungkan
harga yang jujur dan melarang peminjaman uang dengan bunga, moralitas ini sudah
diporak-porandakan sewaktu Calvin menghalalkan perniagaan dan peminjaman dengan
bunga, sebelum dia melangkah “untuk menjadikan keberhasilan perdagangan sebagai
tanda pilihan ilahi.”
Raja-raja haus kebesaran dan kekayaan, negara-negara
bertarung demi supremasi, para saudagar dan bankir terpacu untuk memperkaya
diri: inilah kekuatan yang menggerakkan perdagangan, penaklukan dan perang;
mensistemasi penjarahan; mengorganisasi perdagangan budak; dan mengerangkeng
gelandangan guna memaksa mereka bekerja.3
No comments:
Post a Comment