Oleh E. Wayne Ross
& Rich Gibson
Walaupun sering
dipakai bergantian dengan istilah globalisasi
dan dipandang sebagai sebuah teori ekonomi, neoliberalisme adalah sebuah
kompleks nilai-nilai, ideologi, dan praktek yang mempengaruhi aspek-aspek
politik dan budaya masyarakat. Martinez dan Garcia (2000) mendefinisikan
neoliberalisme sebagai:
Seperangkat
kebijakan ekonomi yang menyebar luas selama sekitar 25 tahun terakhir. Meskipun
kata ini jarang terdengar di Amerika Serikat, Anda bisa melihat dengan jelas
efek neoliberalisme di sini ketika yang kaya makin kaya dan yang miskin makin
miskin ... Di seluruh dunia, neoliberalisme diberlakukan oleh lembaga-lembaga
keuangan besar seperti Dana Moneter internasional (IMF), Bank Dunia dan
International American Development Bank ... krisis kapitalis selama 25 tahun
terakhir, dengan tingkat laba menyusut, mengilhami elite korporasi untuk
menghidupkan kembali liberalisme ekonomi. Ini yang membuat liberalisme menjadi
“neo” atau baru.
Dengan demikian neoliberalisme adalah istilah lain untuk
liberalisme pasar dan kebijakan-kebijakan perdagangan bebas.
Liberalisme bisa merujuk
pada serangkian ide (misalnya ide-ide politis, ekonomi, dan keagamaan). Di
Amerika Serikat, liberalisme politik lazimnya ditampilkan sebagai ideologi
progresif (sayap kiri) yang ditandai oleh kelapangan pikir atau toleransi
terhadap beragamnya praktek-praktek sosial, kepedulian terhadap kebebasan sipil
serta kesejahteraan sosial dan dipertentangkan dengan politik “konservatif”
(sayap kanan). Penting untuk dipahami bahwa pandangan-pandangan politis kubu
konservatif dan liberal (dalam politik arus utama Amerika Serikat) sama-sama
mendukung (neo)liberalisme.
Neoliberalisme
adalah paradigma ekonomi politik yang berlaku di dunia saat ini dan
dideskripsikan sebagai sebuah “monokultur” ideologis, artinya ketika
kebijakan-kebijakan neoliberal dikritik respon yang lazim dikemukakan adalah
“tidak ada alternatif” (there is no alternative atau TINA). Walaupun istilah neoliberalism umumnya tidak dipakai oleh
publik di Amerika Serikat, ia merujuk pada sesuatu yang familier bagi semua
orang—kebijakan dan proses “yang menjadikan segelintir kepentingan swasta
diperbolehkan mengontrol sebanyak mungkin kehidupan sosial untuk memaksimalkan
keuntungan pribadi mereka” (McChesney, 1998, h. 7). Neoliberalisme dianut oleh
semua pihak dalam berbagai spektrum politik, dari kanan sampai kiri, sehingga
kepentingan para investor kaya-raya dan perusahaan-perusahaan besar menentukan
kebijakan sosial dan ekonomi. Pasar bebas, badan usaha swasta, pilihan
konsumen, prakarsa kewirausahaan, efek merusak regulasi pemerintah, dan
sebagainya, adalah prinsip-prinsip neoliberalisme. Sesungguhnya, pelintiran
media yang dikontrol korporasi membuat publik percaya bahwa
konsekuensi-konsekuensi kebijakan ekonomi neoliberal, yang melayani kepentingan
elite kaya raya, itu baik untuk semua orang.
Padahal, dalam
kenyataannya kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal menciptakan ketimpangan
sosial ekonomi mencolok antara individu dan bangsa-bangsa. Misalnya, kombinasi
serupa utang pribadi yang semakin besar dan kesenjangan kemakmuran kian melebar
yang mendahului Depresi Besar adalah yang mendasari perekonomian saat ini dan
digerakkan oleh penurunan upah, suku bunga tabungan, dan jumlah pekerja yang
dicakup skema pensiun swasta. Saat ini, 1% rumah tangga elite di Amerika
Serikat memiliki 40% kekayaan nasional (Collins, 1999). Kesenjangan kemakmuran
terutama mencolok di kalangan warga Afrika Amerika dan Latino. Walaupun
“ekonomi kuat, jumlah orang Amerika yang tidak memiliki asuransi kesehatan
bertambah dari tahun 1998 hingga 1999 sekitar 1 juta hingga mencapi 44,3 juta
(Pear, 1999). Amerika Serikat tercatat memiliki angka kemiskinan anak tertinggi
di kalangan negara-negara industri (Chomsky, 1999).
Pada tataran
global, kebijakan ekonomi neoliberal mereproduksi ketimpangan di antara
berbagai negara. Kebijakan tersebut, diciptakan oleh pemerintah Amerika Serikat
dan lembaga-lembaga keuangan internasional, menghancurkan perekonomian
negara-negara seperti Brazil dan Meksiko, sedangkan elite lokal dan korporasi
transnasional meraup untung besar (Petras & Veltmeyer, 1999).
Neoliberalisme
juga berfungsi sebagai sebuah sistem politik di mana terdapat demokrasi formal
tetapi warga negara tetap menjadi penonton, dijauhkan dari setiap partisipasi
berarti dalam pembuatan keputusan. McChesney (1998) mendeskripsikan secara
ringkas apa demokrasi liberal itu: “perdebatan remeh tentang masalah-masalah
sepele oleh pihak-pihak yang pada dasarnya menempuh kebijakan-kebijakan
pro-bisnis yang sama apa pun perbedaan formal dan debat kampanye mereka.
Demokrasi diperbolehkan sejauh kontrol atas bisnis tidak terjangkau oleh
musyawarah masyarakat atau perubahan, tegasnya sejauh itu bukan demokrasi” (h.
9). Warga negara yang mengalami depolitisasi dan apatis, seperti di Amerika
Serikat hari ini, adalah hasil buah utama neoliberalisme; warga negara yang bisa
dikata didorong oleh “reformasi” pendidikan baru.
Penafian: sama dengan disclaimer dalam paragraf terakhir Pertarungan Ideologi (III).
Diterjemahkan dari http://www.teachersolidarity.com/sites/teachersolidarity/files/research/00-intro-ross-gibson.pdf hlm. 1 – 3
No comments:
Post a Comment