Perjalanan terakhir dari Lebak Bulus (2013) |
Kadang-kadang, pulang adalah perjalanan yang paling
berat.~ Kirsty Scott
Beberapa pekan lalu saya ke Galeria (Yogyakarta) di Jalan
Solo. Setelah tidak menemukan apa yang saya cari, saya keluar dan menyeberangi Jalan
Prof. Dr. Ir. Herman Yohanes untuk mengambil sepeda motor. Mematuhi ketentuan Perda
yang terpampang: “Sepeda motor Rp1.000, Mobil Rp2.000”, saya membayar uang
parkir Rp1.000. Dengan nada dingin dan muka belum mandi, tukang parkirnya
berkata, “rong ewu” (dua ribu). Ya
saya bayar saja. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasarkan
hukum bukan berdasarkan kekuasaan (preman) itu kan kata konstitusi. Saya sudah
malas ribut soal pelanggaran hukum terkait uang kecil. Jawaban “Cuma seribu,
nggak bikin miskin” sudah sangat memuakkan bagi saya. (Memang cuma seribu, kali
berapa coba?). “Perlawanan” terakhir saya dalam upaya ikut mengikis korupsi
dari bawah berlangsung di terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Tempat yang saya
benci tetapi harus saya datangi kalau ingin pulang ke Jawa bagian tengah (Yogyakarta,
Kartasura, Parakan). Terminal itulah yang membuat perjalanan menjadi sangat berat
sejak pintu masuknya.
Di atas loket karcis masuk terminal tertera bahwa menurut
Peraturan Daerah retribusi masuk terminal adalah Rp200 (dua ratus rupiah), setiap
kali membayar dengan uang seribu rupiah, kepada petugas di depan gardu
pembayaran yang membiarkan posnya kosong, tak pernah ada kembalian. Suatu saat
saya bertanya kepada petugas berseragam Dishub mana kembalian saya. Dia memberi
kembalian 500 rupiah. Ketika saya desak lagi mana 300 rupiahnya, dia tidak
peduli dan asyik mengobrol dengan para calo. Itulah, sejak dulu saya tidak pernah
berminat dengan segala macam gerakan pemberantasan korupsi. Untuk urusan ini
saya menganut paham “kalau rumput susah dihilangkan, belajarlah menerima
keberadaannya.”
Lepas dari uji kesabaran di gardu retribusi, ujian lebih
berat menunggu. Para calo yang mencarikan penumpang untuk perusahaan-perusahaan
otobus. Saya tidak tahu apa manfaat orang-orang ini selain membikin repot calon
penumpang, mengingat jarak antara gardu retribusi dan loket berbagai agen bus
cuma beberapa langkah. Setiap kali dikerubuti para calo saya selalu bilang, “Ke
Solo, naik Raya,” atau “Ke Temanggung, naik Safari Dharma Raya”. Tentu saja sebagian
dari mereka akan mengikuti saya sampai ke loket yang saya maksud, baru menyerah
ketika saya membayar tiket. Tetapi taktik menjawab seperti itu saya peroleh
setelah melalui pengalaman-pengalaman getir berikut.
Ketika saya harus pulang mendadak saya terpaksa mencari
bus seadanya. Bus Raya sudah berangkat semua. Seorang calo menghampiri dan
bertanya mau ke mana. Saya bilang Solo. Dia menggiring saya ke loket suatu agen
bus. Saya bilang kepadanya saya mau naik Safari (tanpa Dharma Raya, bus yang
melayani trayek Jakarta – Solo ini berpangkalan di Salatiga, sedangkan Safari
Dharma Raya kantor pusatnya di Temanggung, seberang Taman Kartini, Kowangan). Si
calo bilang bus dia lebih bagus. Begitu keluar dari bilik loket, dia memberi
saya tiket bus seharga Rp95.000. Bus Mandala. Saya marah. Itu bus yang gratis
pun saya tidak sudi naik. Bus Jawa Timur kelas bumel ini menyedihkan
reputasinya dalam hal ngetem berkepanjangan. Si calo berkata tak kalah
galaknya, “Bapak bilang mau ke Solo, kan? Ini tiket ke Solo.” Belum sempat saya
bilang tapi jangan bus kampret begini, dia sudah kabur ditelan kerumunan orang.
Dengan marah saya datangi loket penjualan tiket itu (tentu saja nama biliknya
bukan “Mandala”, mustahil. Aneh saja bus semacam itu bisa mendapatkan izin
trayek sedemikian jauh. Bilik loket itu memajang nama-nama PO terkenal seperti
Pahala Kencana, Rosalia Indah, Lorena dan sebangsanya). Saya bilang, “Ini nggak
bener, dibayar pun saya nggak mau naik bus kayak gini. Nih makan duit ini.” Sistem
transportasi kita memang cenderung menyusahkan orang yang bepergian. Setidak-tidaknya
dulu, tak tahu sekarang.
Lain waktu saya diam saja ketika para calo menanyakan mau
ke mana. Ngamuk mereka. Teriak-teriak, “Apa sih susahnya njawab ditanya begitu?”
Entahlah, saya heran ke mana perginya bangsa yang konon ramah dan tidak suka menyusahkan
orang lain yang saya baca dalam buku “Pancasila Cermin Hidupku” terbitan Sumber
Kawruh, Klaten, semasa SD dahulu.
Tambah pengalaman, ketika ke Lebak Bulus lagi dan ditanya
calo mau ke mana saya jawab, “Ke situ” sambil menunjuk loket agen bus yang saya
maksud. Mereka panjang akal rupanya. Menggerutu keras-keras, “Iya tahu, maksud
gw mau ke kota mana?”
Hebat memang terminal di negeri kita ini. Orang bepergian
itu sudah susah, masih ditambah sulit dengan kelakuan para calo dan sebagainya
itu (pengamen, penjual yang memaksa penumpang membeli dengan menaruh barang di
pangkuan penumpang, kalau disingkirkan marah, kalau mengembalikan dagangan
mereka tanpa ekspresi kena marah juga). Kabarnya Lebak Bulus belum apa-apa
dibanding Pulo Gadung. Teman saya pernah memakai taktik menunjukkan tiket
(bekas) agar tidak dikuntit calo. Dengan kewenangan melebihi polisi, para calo
meminta teman saya menunjukkan tiket itu. Habislah teman saya itu diledek dan
dimaki-maki para calo, lalu digelandang ke atas bus sesuai kemauan mereka dan
teman saya itu harus membeli tiket bus tersebut.
Kembali ke Lebak Bulus, taktik menyebut nama bus juga tak
sepenuhnya manjur. Suatu kali saya, istri, dan anak saya yang waktu itu masih
bayi dihadang pada calo. Saya bilang sudah beli tiket bus Raya. Dua orang calo
mengikuti kami hingga saya melapor ke agen. Tahu bahwa kami naik Eksekutif 28
(waktu itu itu harga tiketnya Rp125.000) mereka berteriak-teriak, “Yah, cuma
patas, kirain VIP ....”.
Belum lagi kelakuan para portir yang memaksakan jasa
mengangkut barang. Belum lagi kelakuan orang tak berseragam yang entah dari
mana punya kewenangan menarik pungutan untuk taksi yang masuk ke halaman
terminal. Dan situasi terminalnya sendiri, jangan bicara sama sekali soal
kelayakan.
Mengapa terminal-terminanl bus di negeri ini dipenuhi
orang-orang berhati jahat? Mengapa terminal kita lebih banyak berisi bukan
orang-orang yang bepergian? Mengapa orang-orang yang bepergian (penggerak
perekonomian berkat mobilitas mereka) harus disiksa dengan pengamen yang
ngamuk-ngamuk jika tidak diberi? Mengapa kios-kios di terminal (Lebak Bulus,
misalnya) tega mencekik pembeli dengan harga barang yang berkali-kali lipat harga
di luar? Pertanyaan-pertanyaan ini tak pernah terjawab hingga Terminal Lebak
Bulus ditutup.
Dengan kadar kebengisan lebih rendah, terminal-terminal
lain yang pernah saya kunjungi kira-kira ya seperti itulah tidak nyamannya. Dan
saya tidak terlalu peduli, karena sudah telanjur malas naik bus. Untunglah saya
tinggal di Yogyakarta sekarang, jarang harus ke Jakarta. Pesawat dan kereta api
jauh lebih beradab daripada bus yang mengharuskan orang berurusan dengan ketidaknyamanan
terminal. Pengalaman pahit dengan terminal, yang tidak istimewa karena ratusan
ribu orang lain pasti pernah mengalami, sebetulnya sudah nyaris tersisih dari
benak sekiranya bukan karena jengkel dengan tukang parkir di awal tulisan ini
dan kesedihan teramat mendalam karena kalimat ini: “Hitchhiking in Indonesia is usually very easy for foreigners (Bule)
while it gets harder for locals, …. (Kutipan ini diambil dari http://hitchwiki.org/en/Indonesia)
Catatan:
Di Terminal Giwangan, Yogyakarta, retribusi beres saja, sesuai yang
tercantum di pemberitahuan. Terminal Tirtonadi (Surakarta) hampir sebaik Giwangan,
sesekali saja ada petugas yang berlagak lupa memberikan kembalian. Tidak ada
pungutan apa pun di sub-terminal Jombor (entah sekarang), namun perilaku sopir
taksi dan tukang ojeknya tidak menyenangkan dalam mencari penumpang. Ini
fenomena lumrah sebetulnya, tetapi harga yang mereka tawarkan tidak masuk akal.
Bagi yang belum pernah ke Yogya, mending naik Trans Jogja saja. Menjangkau
hampir semua lokasi dalam kota di Yogyakarta dan sebagian Sleman, bahkan sampai
ke Prambanan. Jika tujuan Anda tidak terjangkau bus murah dan menyenangkan ini (Rp3500,
saya naik bus ini terakhir tanggal 25 Oktober 2015), keluar saja dari areal
terminal, abaikan tawaran taksi gelap dan ojek, pilihlah taksi Jas atau Vetri (dibilang
iklan ya biar, cuma dua ini yang pernah saya tumpangi :D), keduanya pakai argo.
Kalau tak ada yang lewat, coba telepon saja ke (0274) 373737. Cuma nomor
telepon Taksi Jas ini yang saya hafal karena setiap hari lihat.
Hal yang sama berlaku juga untuk Stasiun Tugu, Lempuyangan, dan Terminal
Giwangan (di terminal ini pilihan bus kota lebih banyak). Bagi yang sudah lama
meninggalkan Yogyakarta, tidak usah menunggu Jalur 7. Dan banyak jalur lain
yang ditiadakan.
Jika Anda datang ke Yogyakarta melalui Maguwo (Bandara Adi Sutjipto), naik
saja Trans Jogja, turun di Amplaz, pilih taksi argo yang banyak lalu lalang di
Jalan Solo. Saran ini tidak berlaku bagi Anda yang tidak keberatan membayar
Rp80.000 untuk ongkos yang sebetulnya cuma dua puluh lima ribuan dengan taksi
argo.
No comments:
Post a Comment