Pages

Wednesday, September 27, 2017

Derita Muslim Rohingya, Duka Kaum Muslimin Seluruhnya



kejahatan munafik Allysa Wahid Yaqut Cholil Qoumas

Saya paling tidak tahan jika ada orang membuat status di Facebook yang intinya mencela atau memprotes isi khotbah Jum’at (yang betul Jumat menurut KBBI, tapi ya biarin saja) yang mereka ikuti. Sebetulnya, sering, amat sering malah, saya mengeluhkan isi khotbah Jum’at, tetapi ya saya simpan sendiri saja, tanpa perlu mengumbarnya kepada publik. Di samping mendengarkan khotbah itu wajib dan kalau mau protes isinya sebaiknya khatib diajak bicara berdua saja, saya tidak mau memberi umpan empuk pada para pembenci Islam. Saya ingat kata-kata Annemarie Schimmel, yang kurang lebih begini bunyinya: “Tidak ada fitnah yang begitu gencar dan jahat seperti yang menimpa Islam.” Bahwa umat Islam sekarang sedang mengalami kesulitan di mana-mana dan di segala lini, itu fakta. Sehingga saya tidak mau menabur garam pada luka yang diderita umat Islam sedunia. Lagi pula saya adalah bagian dari umat itu. Insya Allah.
Tak banyak khatib yang khotbahnya saya renungkan. Salah satu dari yang tak banyak itu adalah khatib di masjid PP Taruna Al-Qur’an pada Jum’at 8 September 2017. Intinya, penyesatan informasi tentang Muslim Rohingya ini sudah keterlaluan. Dikatakan bahwa kaum Muslimin Rohingya adalah pendatang, perusuh, bahkan belakangan dituding teroris. Padahal, kata khatib tadi, Islam masuk ke Arakan pada abad pertama Hijriyah bersama para saudagar Arab. Khatib tadi menyebut nama sahabat tapi saya lupa (sebab saya bertekad membuat tulisan ini berdasarkan ingatan saja, saya sengaja tidak membuka Google). Lama-kelamaan kaum Muslimin di Arakan mendirikan negara Islam di sana. Pada tahun 1700-an negara Islam Arakan diserang kaum Buddhis dan kalah. Sejak itulah malapetaka tak henti mendera kaum Muslimin Rohingya. Khatib menyebutkan secara kronologis pembantaian sistematis yang tujuannya adalah melenyapkan kaum Muslimin Rohingya di Arakan. Pendek kata, genosida. Bukan pengetahuan baru sebetulnya, tetapi informatif dan menggugah ingatan saya pada penderitaan Rohingya yang saya baca sewaktu kecil.  Dan ajakan khatib untuk meluruskan informasi tentang Rohingya sangat signifikan di era perang gagasan ini. Perang di mana umat Islam babak beluk dihajar oleh, tidak saja lawan abadi mereka yang kini menjadi Barat tetapi juga, kaum yang secara lahiriah disebut Muslim dan Muslimah.
Tersebutlah Alissa Wahid yang mengatakan dalam salah satu twitnya bahwa Rohingya ditindas karena operasi militer Myanmar menumpas ARSA (Arakan Rohing Salvation Army). Saya bingung, bisa-bisanya sarjana psikologi UGM bicara sengarang itu. Sejak SD saya sering membaca berita tentang penderitaan Rohingya melalui majalah Pandjimas. ARSA? Ya baru dengar sekarang ini. Sementara itu Ketua GP Ansor dalam twitnya juga tidak jauh-jauh dari pernyataan sinis terhadap mereka yang peduli pada penderitaan Rohingya. Ini juga saya bingung, masa orang seperti dia tidak tahu ungkapan “kal bun ya nin wahidin”, derita seorang Muslim adalah juga derita Muslim lainnya, tolong-menolong sesama Muslim, semua Muslim bersaudara? Dan entah berapa puluh akun twitter, yang rata-rata pemuja rezim sekarang, menyuarakan pendapat yang kurang lebih setali tiga money. Kalau yang membuat pernyataan seperti itu adalah akun-akun Myanmar, wajar saja. Memang begitu cara kerja propaganda. Salah benar nomor seribu. Yang penting teriak sekencang dan sesering mungkin. Tapi orang-orang Indonesia itu agamanya Islam juga. Bisa-bisanya menjungkirbalikkan logika dan fakta? Tetapi ya begitulah perang pemikiran (ghazwul fikri) dalam prakteknya sejak dahulu. Pion-pion yang menyerang kita adalah sebagian orang-orang kita juga. Alasannya bisa macam-macam. Dalamnya laut bisa diduga, dalam hati siapa yang tahu.  
Sejauh yang saya ketahui, Muslim Rohingya sudah ada di Arakan sejak abad ke-8 Masehi, mereka penduduk asli negeri itu yang masuk Islam, mereka punya kerajaan sendiri dan berhubungan erat dengan kerajaan-kerajaan di Bengal. Setelah kemerdekaan Burma (sebelum berganti nama menjadi Myanmar) U Nu mengeluarkan pernyataan resmi yang mengakui keberadaan mereka sebagai warga negara Burma. Sepeninggal U Nu, yang memang negarawan besar itu, bagi orang Rohingnya yang ada hanyalah penderitaan dan penderitaan saja. Mereka adalah minoritas paling tertindas di dunia. Demikian menurut lembaga-lembaga resmi dunia. Lebih menyedihkan, di negeri kita banyak orang (yang mengaku beragama Islam dan tokoh Islam pun) sengaja menyesatkan fakta-fakta tentang kaum Muslimin Rohingya. Biasanya dengan kalimat yang berawal begini: “Tentu saja kita prihatin dengan persoalan Rohingya, tetapi ....” Selalu ada tetapi! Dan sesudah “tetapi” itulah sikap mereka sesungguhnya terhadap penderitaan Rohingya (bahkan mungkin seluruh kaum Muslimin) terungkap.
Sekadar bersimpati saja mereka tidak bisa. Kadang-kadang saya merasa sekaranglah saatnya kita melindungi diri dan keluarga sendiri. Perintahnya begitu ketika fitnah sudah merajalela dan ada kekhawatiran kita ikut gila. Selain doa, hanya itu yang masuk akal dan mudah dilaksanakan. Selain mendoakan kaum Muslimin Rohingya, doakan juga diri kita agar tidak menjadi orang munafik, yang kegirangan ketika cobaan berat menimpa kaum Muslimin.
Kasus genosida Rohingya dan sikap-sikap terhadapnya ini mengingatkan saya pada suatu hadits yang meriwayatkan betapa di mata orang munafik para Sahabat Rasulullah salallahu 'alaihi was salam tidak pernah melakukan hal yang benar. Ketika ada Sahabat tidak bersedekah karena memang tidak ada yang bisa disedekahkan (untuk memenuhi keperluan hidup saja sulit), orang-orang munafik mencela bahwa Sahabat itu keterlaluan kikir. Ketika ada Sahabat yang bersedekah sedikit karena mampunya segitu, orang-orang munafik menuduh dia tidak sungguh-sungguh bersedekah. Nah, ketika ada Sahabat yang bersedekah banyak (karena dia memang kaya) para munafikun berceloteh, “Wah, riya’ tuh.” Adapun yang dilakukan kaum munafikun? Ya mencela itu.  
allysa wahid yaqut cholil qoumas