Dengan hati-hati dimasukkannya laptop Mac yang diperoleh
dengan uang saku yang disisihkannya itu, tentu saja ditambah dengan meminta
uang kepada mama, ke tempatnya di dalam ransel. Sebetulnya dengan setengah
tabungannya saja dia bisa mendapatkan laptop bagus, tetapi sama seperti hape adalah
iPhone baginya laptop adalah Mac.
Gadis berperawakan langsing dengan paras menawan lepas enam
belas tahun itu membuka iBook begitu mobil mulai merayap pelan meninggalkan
halaman rumahnya untuk merayap lagi di macetnya jalanan. Membetulkan letak kacamata
yang tak berperan banyak dalam menegaskan sorot mata cerdasnya, dia membuka
satu ebook dari ratusan ribu yang
tersimpan miliknya. Ebook ke-70 sedang
dibacanya sambil jemarinya memain-mainkan anak rambut saat sopir bertanya mau
ke mana. Melepas mata dari layar diiringi seulas senyum dia menyebut nama
sebuah toko buku, sopir mengiakan dengan santunnya.
Langit mendung memayungi langkahnya menapaki anak tangga
masuk toko buku, beberapa lelaki menatapnya terpana. Bukan karena gelegak hasrat
liar seumumnya lelaki, tetapi karena rindu mendalam pada sosok yang lama
mendiami benak mereka. Bukan saja cantik berpembawaan elegan selaras posturnya,
mereka takjub dengan atmosfer yang ditebar gadis yang begitu berbeda dari anak-anak
SMA sebayanya.
Gadis bak titisan Dewi Anjani yang familier dengan
Bagawat Gita hingga Kafka seperti itulah yang mestinya akan dipandangi penuh
kagum para lelaki yang duduk menikmati kopi di ruang smoking area sebuah gerai makanan ringan waralaba Amerika sekiranya
empat belas tahun silam bocah perempuan dua tahun di suatu panti asuhan
dipungut oleh orang tua angkat penyayang yang lebih penuh kasih daripada ibu
kandung yang tega membuangnya. Mungkin namanya Naya.
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment