Semit ini kata yang aneh, berdiri sendiri ia berarti
anggota kelompok bangsa kuno di Asia barat daya yang meliputi orang Akkadia,
Funisia, Ibrani, dan Arab. Kata benda dengan etimologi dari kata Prancis sémite, dari kata Semitik Shem, dari kata Latin Akhir, dari kata
Yunani Sēm, dari kata Ibrani Shēm ini muncul pada tahun 1848. Tetapi
ketika ditambahkan prefiks anti- dan menjadi anti-Semit artinya adalah
permusuhan kepada atau diskriminasi terhadap Yahudi sebagai kelompok keagamaan,
etnis atau ras (1882).
Secara umum dipahami bahwa Semit adalah orang-orang yang
menggunakan bahasa Semit di Timur Tengah, termasuk orang Arab dan Yahudi,
bangsa kuno Assiria, Babilonia, Kartago, Etiopia, dan Funisia. Menurut
Perjanjian Lama mereka adalah keturunan Sem, putra Nabi Nuh (alaihissalam). Anak-anak Sem oleh
orang-orang Abad Pertengahan dianggap sebagai leluhur kelas pendeta, kelas
tertinggi. Putra Nuh yang lain, Yafet adalah moyang bangsa Eropa yang
digariskan menjadi bangsa para tuan. Putra Nuh yang satu lagi, Ham menurunkan
bangsa Afrika yang berperan sebagai, apalagi kalau bukan, budak.
Menurut para arkeolog pada zaman perunggu awal, kira-kira
3000 SM, sudah ada peradaban kota di Kanaan yang dihuni bangsa-bangsa berbahasa
Semit barat. Dari tahun 2200 hingga 1900 SM kawasan itu didatangi berbagai suku
pengembara. Pada tahun 1400 SM, setelah memukul mundur bangsa Hyksos, Mesir
mendominasi kawasan itu. Para firaun Dinasti Kedelapan Belas menjadikan
Palestina sebagai daerah perbatasan Mesir.
Kata Pastor Roland de Vaux, “Di luar Perjanjian Lama,
kita tidak bisa menemukan rujukan eksplisit pada moyang bangsa Ibrani, kurun
waktu ketika bangsa Yahudi tinggal di Mesir, atau penaklukan Kanaan.”
Peta Fertile Crescent |
Selama dua milenium sebelum Isa (alaihissalam) kawasan Fertile
Crescent yang membentang dari sungai Nil hingga sungai Efrat sering
didatangi suku-suku dari berbagai bangsa yang selanjutnya berasimilasi di sana.
Ketika bangsa-bangsa nomad yang sedang berproses menuju kehidupan menetap
melintas dari Mesopotamia atau Transyordania dan singgah di Kanaan, pada awal
milenium kedua SM, mereka mendapati bangsa yang sudah lama mendiami daerah itu,
bangsa Kanaan. Pada akhir milenium kedua bangsa Kanaan ini sudah menggunakan
besi dan sudah mengenal tulisan.
Tidak seperti skema dalam Perjanjian Lama, orang Ibrani
bukanlah suatu kelompok etnis tersendiri, sebelum orang nomad memasuki Kanaan.
Mereka adalah himpunan yang terdiri atas berbagai kelompok etnis, dan merupakan
salah satu unsur dalam migrasi orang nomad pada umumnya, orang Amori. Sebagian
orang nomad itu menetap di Kanaan, sedangkan yang lainnya melanjutkan
perjalanan ke Mesir. Kelompok yang menetap itu, di antara mereka terdapat
kelompok yang kelak disebut Ibrani, mengadopsi bahasa, tulisan dan agama
orang-orang Kanaan. Setelah orang-orang Hyksos menyerbu Mesir, orang-orang
nomad yang menetap itu berangkat mencari padang rumput baru di Mesir.
Sewaktu tentara Hyksos didesak mundur dari Mesir,
orang-orang yang tadinya ikut ke Mesir dan boleh jadi mendapat perlindungan dan
menikmati privilese, dianggap sebagai antek Hyksos dan ditindas penguasa Mesir.
Orang-orang yang oleh penguasa Mesir dianggap gangguan ini bukan merupakan
kelompok etnis, melainkan kelompok yang memusuhi firaun dan dikenal sebagai
Apiru atau Hapiru. Menurut R. de Vaux dari sinilah lahir kata hebrew atau Ibrani dalam bahasa kita.
Orang-orang ini lalu kabur dari Mesir. “Eksodus”
semacam ini tampaknya sering dilakukan para pendatang yang tidak puas sehingga
tidak dianggap aneh. Karena itulah tarikh Mesir tidak menyebut-nyebut soal
pengungsian orang-orang kecewa tersebut, bahkan para penjaga perbatasan pun
malas mencatat dan melaporkan peristiwa lumrah itu.
Di luar Perjanjian Lama, keberadaan orang-orang Israel
pada waktu itu sangat jarang disebut. Mengapa Israel dianggap tidak penting?
Kemungkinannya, suku Israel hanyalah satu dari rombongan migrasi Amori yang
tiba di Kanaan. Sedangkan Kanaan sudah lama dihuni oleh orang-orang Hitit (di
sekitar Hebron), Amon (di sekitar Amman),
Moab (di timur Laut Mati), dan Edom (di sebelah tenggara). Masuknya mereka ke
Kanaan boleh jadi dilakukan seperti yang digambarkan dalam Kitab Hakim-hakim,
tidak seperti dalam Kitab Yosua yang dilukiskan sebagai gerak pasukan komando
bantai sana bantai sini. Mereka masuk secara bertahap, dengan damai meski
kadang-kadang dengan kekerasan, tanpa huru hara besar-besaran melawan kota-kota
Kanaan yang kereta-kereta perangnya susah dilawan suku-suku tak terlatih.
Setelah orang-orang Israel menetap di Kanaan, kurang
lebih pada abad ke-13 SM, barulah keterangan tentang bangsa Israel bisa dicari
di luar Alkitab. Mereka membentuk konfederasi berbagai suku bangsa dari
bermacam-macam etnis. Pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan itu
datanglah satu bangsa lagi dari kawasan Laut Aegea, bangsa Filistin, yang
kemudian menetap di antara gunung Carmel dan gurun pasir. Diperkirakan mereka
berasal dari Pulau Kreta, persenjataan dan perlengkapan mereka sudah terbuat
dari besi. Nama bangsa inilah yang nantinya dipakai menyebut Palestina zaman
kita, dari bahasa Arab Falastin. Mereka menyerap bahasa Kanaan, menyembah
dewa-dewa Kanaan, dan dengan cepat menjadi orang Kanaan dalam segala hal
kecuali cara bertempur mereka. Mereka datang ke kawasan itu sebagai sekutu Bangsa-bangsa
Pelaut dalam menggempur Mesir. Ketika Mesir berhasil membendung gempuran
mereka, banyak Bangsa Pelaut yang ditawan. Sebagian dari mereka lalu bekerja
untuk Ramses III sebagai tentara bayaran. Sedangkan bangsa Filistin lari ke
pantai Kanaan dan menetap di kota-kota yang sebelumnya mereka hancurkan saat
menyerang Mesir. Kota-kota itu—Gaza, Askelon, dan Asdod—berada di bawah
kekuasaan Mesir, tidak jelas benar apakah orang Filistin merebut kota-kota itu
atau Ramses III membolehkan mereka tinggal di sana lewat perundingan atau
persetujuan diam-diam penguasa yang kelelahan.
Pasukan Filistin menguasai wilayah-wilayah suku Israel
pada masa Hakim Samuel. Mereka menaklukkan Yehuda di selatan, lembah Jezrel,
dan beberapa bagian pegunungan tengah. Suku-suku Israel berusaha menahan laju
pasukan Filistin. Terlibat dalam pertempuran singkat, kalah, dan membawa tabut
dari kuil utama di Silo ke medan tempur, berharap YHWH akan membantu. Di dekat
Afek, sekitar enam belas kilometer dari Jaffa, pasukan Filistin mencincang
laskar serikat suku itu.
Rujukan:
Chaim Potok, Wanderings:
Chaim Potok’s History of The Jews, Fawcet Crest, New York, 1980.
Kamus Besar Bahasa Indonesia elektronik KBBI v1.1
Merriam-Webster’s 11 Collegiate Dictionary elektronik
Roger Garaudy, Kasus Israel; Studi tentang Zionisme Politik
(diterjemahkan oleh Hasan Basari), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1992.
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment