Dari kejauhan,
menjelang rel kereta api Solo – Wonogiri selepas alun-alun kota Sukoharjo,
tampak tanda verboden dan pengalihan lalu-lintas karena seruas jalan umum ke
arah Bendosari itu dipakai untuk hajatan perkawinan. Saya menggerutu
sejadi-jadinya seraya mengutuki agar pasangan yang hendak menikah itu nantinya
lekas cerai atau kalau langgeng dihantui ketidakbahagiaan karena perayaan
perkawinan mereka menyusahkan banyak orang yang sedang dalam perjalanan. Istri
saya mengingatkan bahwa tidak boleh mendoakan yang jelek-jelek. Saya tahu. Saya
hanya jengkel betul dengan kesewenang-wenangan orang menutup jalan umum untuk keperluan
yang tidak penting bagi sebagian terbesar pengguna jalan. Terlebih bagi saya
dan istri yang bepergian lumayan jauh dari Yogyakarta ke Ngawi bersepeda motor.
Seingat saya jalur pengalihannya muter-muter dan cukup jauh. Sangat merepotkan
bagi orang luar dengan perjalanan yang masih panjang.
Semasa kecil saya dahulu orang-orang kaya di Ngawi tampaknya bangga jika bisa menggelar resepsi pernikahan di Gedung Eka Kapti. Sekarang, mengikuti kecenderung yang berlaku hampir di mana saja, rupanya mereka bangga mampu menutup jalan besar dan membikin repot banyak orang yang bepergian. Seenaknya betul mereka menutup jalan. Misalnya yang saya alami pada tahun 2009 di Nglongkeh, Widodaren. Semasa bersekolah dahulu saya biasa bersepeda dari Tempurejo, Banyubiru ke Walikukun pulang pergi tidak lewat jalan utama. Sehingga ketika jalan ditutup saya tahu jalan selebar pematang menyusuri jalur irigasi yang bisa dilewati tanpa harus memutari desa. Hanya saja istri dan dua anak kami yang masih kecil-kecil harus berjalan kaki lumayan jauh.
Semasa kecil saya dahulu orang-orang kaya di Ngawi tampaknya bangga jika bisa menggelar resepsi pernikahan di Gedung Eka Kapti. Sekarang, mengikuti kecenderung yang berlaku hampir di mana saja, rupanya mereka bangga mampu menutup jalan besar dan membikin repot banyak orang yang bepergian. Seenaknya betul mereka menutup jalan. Misalnya yang saya alami pada tahun 2009 di Nglongkeh, Widodaren. Semasa bersekolah dahulu saya biasa bersepeda dari Tempurejo, Banyubiru ke Walikukun pulang pergi tidak lewat jalan utama. Sehingga ketika jalan ditutup saya tahu jalan selebar pematang menyusuri jalur irigasi yang bisa dilewati tanpa harus memutari desa. Hanya saja istri dan dua anak kami yang masih kecil-kecil harus berjalan kaki lumayan jauh.
Mengapa tidak naik
angkutan umum saja? Setelah reformasi angkutan umum dari hari ke hari makin
menjengkelkan hingga sebisa mungkin saya menghindarinya. Jika dahulu saya rutin
pulang pergi dua pekan sekali Solo – Ngawi dengan gembira dan Yogyakarta –
Ngawi juga dengan sama gembiranya tetapi frekuensinya jauh berkurang, kini
sejak membayangkan masuk Terminal Giwangan saya merasa perjalanan ke Ngawi
menengok orang tua saya sebagai beban tiada tara.
Baru naik bus yang
antre para pengamen sudah memberi siksaan pertama dalam perjalanan. Saya tidak suka
pengamen sekalipun ketika kecil dahulu senang memberi uang kepada wong mbarang (sebutan untuk pengamen
dahulu). Yang disebut terakhir ini dalam pemahaman saya memang orang sengsara yang
tidak bisa bekerja. Adapun yang disebut pertama cuma orang malas saja, bukan orang
miskin (kebanyakan hp mereka lebih bagus dari hp saya) yang saya tahu untuk apa
uang yang diperoleh. Lebih dari itu, keberadaan pengamen membuat tidak nyaman karena
saya harus selalu siap berkonfrontasi sekiranya mereka memaksa. Perilaku memaksa
para pengamen itu sangat sering saya jumpai di Solo, mulai dari Terminal
Tirtonadi hingga Palur yang naik silih berganti. Setidak-tidaknya dahulu begitu,
tak tahu sekarang karena saya hampir tak pernah lagi naik bus. Saya rela
bertengkar dengan para pengamen karena sering kali uang di saku saya tak lebih banyak
dari uang yang mereka raup dari menghadirkan kebisingan di tengah deru mesin. Saya
ogah dihina orang-orang yang kalau diberi uang kecil dibuang begitu saja di
depan pemberinya. Saya ingat ada seorang ibu yang memberi seorang pengamen 200
rupiah, pengamennya marah-marah dan membanting mata uang sah Republik Indonesia
itu. Belum lagi pemaksaan mereka jika penumpang bersikap lunak. Saya pernah
melihat wajah pucat pasi penumpang yang dirogoh-rogoh saku bajunya oleh
pengamen yang minta rokok karena si penumpang bilang tak punya uang.
Bagi saya yang paling
tidak enak adalah perilaku pengamen di pertigaan Secang, Magelang. Tampilan mereka
tak ubahnya anak-anak gaul yang rapi dan wangi. Membuka acara “ngemis maksa” dengan
khotbah, “Kami yakin Anda sekalian berpendidikan tinggi dan bla .... bla ...
uang seribu tak akan membuat Anda bla ... bla ...” Dan setelah menarik uang
penumpang seraya menyindir yang tidak memberi mereka turun. Bus belum berjalan,
mereka tanpa risih mengeluarkan hp terbaru harga 1,5 jutaan dan duduk-duduk di
sepeda motor bagus bersama cewek-cewek.
Hobi menutup jalan
yang menyusahkan para musafir bersepeda motor dan para pengamen yang seenaknya
menambah beban penumpang angkutan umum itu sepenuhnya tak mendapat tempat semasa
Orde Baru. Perjalanan adalah sepotong adzab, tak semestinya diganggu oleh orang
kawinan dan pengamen yang mencari uang mudah dengan menyanyi berisik tak
keruan. Karena itulah saya menganggap Orde Baru lebih baik dalam hal tidak ada orang
seenak pantatnya menutup jalan dan pengamen tanpa perasaan menyusahkan orang.
Oh ya, para pengasong yang setengah memaksa penumpang membeli dagangan mereka tak
boleh dianggap sepi. Di Tirtonadi para pengasong ini sedemikian mengganggu
hingga saya pilih menaruh tas di kursi lalu turun dan baru naik hingga bus
hendak berjalan. Di era Orde Baru, satu dua pengasong yang mencoba masuk
terminal akan lari terbirit-birit ketika melihat seorang Satib yang mungkin melihat
keberadaan mereka pun tidak.
Tetapi bukankah
Orde Baru represif, penuh kolusi, korupsi dan nepotisme, sarat pelanggaran HAM
dan ratusan hal jelek lainnya? Kata para ustadz Indonesianis (yang rata-rata
bule itu) dalam kitab-kitab mereka memang begitu. Begitu juga menurut santri-santri
sawo matang mereka, termasuk saya dahulu. Tetapi para cerdik cendekia itu mana
pernah sengsara naik angkutan umum yang dijejali pengamen tanpa perasaan dan
bersepeda motor berputar-putar di jalan tak lazim karena jalan utama ditutup?
Lagi pula setelah beberapa teman yang menjadi petinggi rezim sekarang melakukan hal-hal yang lebih menjijikkan dari para
pejabat Orde Baru saya tak lagi tertarik membicarakan hal-hal yang cuma enak
diomongkan di kafe-kafe sambil memandangi dari balik kaca lalu lalang orang miskin
yang berjejalan di angkutan umum menahan jengkel dengan pengamen yang naik di
tiap perempatan.
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment