Dr. Y. Paonganan
ditangkap subuh-subuh oleh aparat kepolisian karena mengunggah gambar Nikita
Mirzani dan seseorang disertai sebuah hashtag
yang dianggap menghina di mata para pemuja rezim ini. Berita soal ini mudah
didapat di era serba google dan karena itu tidak perlu dibahas lebih lanjut.
Kasus tersebut disebutkan di sini sekadar sebagai contoh betapa hukum di negeri
kita sudah begitu ruwet dan malah memancing pertikaian yang bertele-tele
seiring era kebebasan bersuara yang semakin difasilitasi oleh media sosial.
Banyak yang
berpandangan, terutama para pengritik rezim, penangkapan itu semacam shock therapy bagi siapa saja yang
mengritik rezim dan kebijakannya. Dan ini strategi lumrah, coba bayangkan
bagaimana satu regu pasukan bisa menjaga ratusan tahanan. Terapi kejutan itu
kuncinya. Tembak satu, asal tembak saja, ratusan lainnya pasti ketakutan. Sesuai
prosedur hukum yang berlaku atau tidak nanti mudah diurus. Tidak semua orang
paham hukum dan terbiasa berurusan dengan rumitnya sistem hukum. Itu saja sudah
cukup untuk menjamin pelanggaran hukum oleh penguasa melenggang kangkung. Bahwa
suatu negara adalah negara berdasarkan hukum (rechtstaats) begitulah bunyi undang-undang. Lain bunyi
undang-undang dan praktek bukan keajaiban langka di Bumi ini.
Di lain pihak,
para pemuja rezim terus-menerus menghujat Ongen (sapaan Y. Paonganan) kendati
yang bersangkutan sudah ditahan dengan sangkaan yang masih menimbulkan
kebingungan banyak orang. Memang ajaib sekarang ini, dahulu di masa Orde Baru
jika ada orang yang ditangkap karena mengritik rezim tak ada yang bersorak
apalagi menertawai. Segala upaya mempertanyakan prinsip-prinsip legalitas
penangkapan dan penahanan Ongen memancing reaksi makin lantang, dan
asal-asalan, para pemuja rezim.
Orang-orang yang
berdiri di tengah, atau berpretensi demikian, dan dengan demikian, mestinya,
lebih bijak dari kubu pendukung dan penentang penahanan Ongen, mengatakan bahwa
absurd saja jika di satu pihak menghendaki pembebasan Ongen tetapi di sisi lain
meminta akun-akun penghujat agama, tentunya Islam dalam hal ini, ditangkap.
Maksudnya, kebebasan pendapat mutlak tidak boleh diapa-apakan oleh aparat
menurut kelompok ini. Pendapat kelompok tengah ini lebih membingungkan, karena
kasusnya berbeda. Penangkapan Ongen terkait sangkaan yang tidak jelas unsur
pidananya, sedangkan penistaan agama jelas ada aturannya. Lagi pula, permintaan
untuk menangkap akun-akun penista itu rasanya lebih merupakan kekecewaan
terhadap hukum yang tajam ke bawah tumpul ke atas: jika menghina, atau dianggap
begitu, penguasa maka hukum berjalan, jika menghina masyarakat luas, karena
Islam adalah agama mayoritas tentulah pengikutnya layak disebut masyarakat
luas, dibiarkan saja, kendati efek ke depannya bisa sangat mengerikan kalau
massa marah tak terkendali.
Bagaimanapun,
kasus Ongen mestinya membuka mata banyak orang betapa hukum sebagaimana
termaktub dalam kitab-kitab dan kajian hukum berbeda dari hukum sebagaimana ia
berjalan dalam kenyataannya.
Hukum sebagaimana
dikatakan peraturan perundang-undangan tergambar dalam adagium-adagium yang
diajarkan kepada mahasiswa Fakultas Hukum dalam semester satu seperti Fiat Justitia Et Pereat Mundus (Tegakkan
Hukum Walau Dunia Runtuh), sedangkan hukum bagaimana ia berjalan sehari-hari,
barangkali, tergambar dalam ungkapan-ungkapan yang beredar luas dalam masyarakat seperti Kasih Uang Habis Perkara (KUHP) atau “Daun kering pun
diperas keluar airnya”. Suram memang.
Kata Daniel S. Lev
untuk memahami mengapa dan bagaimana negara hukum yang diabadikan dalam
konstitusi bisa runtuh, mula-mula harus dipahami bahwa norma-norma hukum
berdiri pada sebuah basis politik. Tidak ada lembaga dan tanggung jawab negara
yang lebih jelas menunjukkan (dan lebih sering diluputkan atau disalahpahami)
poin ini daripada sistem peradilan—khususnya pengadilan, kejaksaan, kepolisian
dan profesi hukum partikelir. Dengan perkecualian kepolisian, walaupun
dilakukan dalam cara masing-masing, semuanya lebih bertumpu pada otoritas
ketimbang kekuasaan. Ketika lembaga-lembaga peradilan bekerja dengan baik, mereka
mungkin menikmati semacam aura enigmatik. Ketika lembaga-lembaga tersebut
gagal, seperti yang terjadi di Indonesia, otoritas lenyap (memberi peluang bagi
diberlakukannya kekuasaan telanjang), dan itu menimbulkan kemuakan, kemarahan,
cemooh, dan hal-hal lebih buruk.
sumber gambar:
No comments:
Post a Comment