“Umat Islam ini memang payah, mengabaikan ajaran
agamanya. Justru orang-orang Opus Dei yang menerapkan ajaran-ajaran Islam.
Mereka lebih Islami dari kita,” kata teman saya mengawali pembicaraan dengan
gerutuan. Rupanya dia baru pulang dari Peru dan berkenalan dengan para anggota
Opus Dei di sana. Dia melanjutkan dengan menceritakan bahwa orang-orang Opus
Dei begitu menghayati ajaran bahwa setiap pekerjaan diperuntukkan bagi Tuhan
sehingga mereka melakukannya dengan segenap kesungguhan. Tampaknya dia begitu bersemangat
karena melihat saya terlihat takzim menyimak. Padahal tidak. Saya sedang
berpikir, kalau saya jawab bahwa itu formulasi JosemarĂa Escrivá de Balaguer
sang pendiri Opus Dei (Karya Tuhan) dan tidak ada perlunya dikait-kaitkan
dengan Islam, tentu kami akan berdebat soal apakah kebaikan hanya ada dalam
Islam, apakah bukan semua agama mengajarkan kebaikan yang sama? Saya sangat
malas memasuki perbincangan begini, sebab saya memandang kebenaran religius
seperti saya menyikapi sebuah artikel tentang keindahan reptil. Jelasnya
begini, pernah ada artikel yang menguraikan bahwa reptil sejatinya amat indah
apabila kita mengerti keindahannya. Saya membatin, “Boleh saja dia beranggapan
begitu. Mungkin memang indah betul reptil itu, tetapi mohon maaf bagi saya
iguana cuma tampak dungu. Ular? Bagi saya tidak ada binatang yang lebih
menakutkan dan menjijikkan dari itu.” Semogalah si penulis artikel juga akan
mafhum sekiranya nanti saya menulis artikel tentang kelinci, hewan yang paling
saya cintai di muka bumi ini tapi gagal saya pelihara karena istri saya punya
pandangan lain soal kelinci.
“Eh, kamu tahu tidak, kebanyakan imigran Jepang anggota
Opus Dei di Lima membuka usaha binatu. Walaupun cuma berbisnis binatu, mereka
menjalaninya bagaikan kita beribadah.” “Begitu ya?” tanggap saya setengah
melamun. Kali ini lamunan saya melantur ke buku laris Dan Brown, The Da Vinci
Code. Dalam buku itu Opus Dei tidak ada bagus-bagusnya. Bahkan Silas yang
ditampilkan Dan Brown kemudian banyak dirujuk oleh para pembenci fundamentalis
sebagai ikon fundamentalis berwatak setan. Paradoks Silas yang saleh secara
pribadi tetapi jahat secara sosial banyak digarisbawahi tebal-tebal untuk
mencemooh golongan fundamentalis. Adegan Silas di hadapan salib mengencangkan cilice (rantai kecil berduri yang
diikatkan di paha) dan melecutkan ke punggungnya “disiplin” (cambuk kecil
berserabut) seraya merapal doa Bapa Kami setelah melakukan pembunuhan
seakan-akan hendak menunjukkan itulah sejatinya Opus Dei. Padahal tidak begitu,
ada puluhan ribu anggota Opus Dei (dari 1,1 milyar umat Katolik, anggota Opus
Dei tidak sampai sembilan puluh ribu orang) yang menjalani hidup sama normalnya
dengan kita. Dan Brown juga berlebihan menggambarkan ritual berdoa dengan cilice dan disiplin itu, tidak seseram
itu sebetulnya. Tetapi andaikan jauh lebih brutal dari gambaran Dan Brown, saya
yakin masih kalah pamor dibanding ritual umat Syi’ah (di Iran dan Irak) pada
hari As Syura. Dalam bentuk lain, ritual Opus Dei tidak ada apa-apanya
dibanding proses inisiasi sebuah tarekat sufi yang mengharuskan murid tidak
makan apa-apa selama 40 hari. Tampaknya, sering kali kita fasih menjelaskan apa
yang bukan ketimbang apa yang sesungguhnya. Lagi pula, ritual keagamaan seajaib
apa pun, tidak saya pusingkan sejauh tidak ditujukan untuk menggampari orang
lain. Tiba-tiba saya tahu jawabnya mengapa Opus Dei menarik bagi saya. Ini
kelompok mungil dalam Gereja Katolik yang sungguh-sungguh dalam beragama dan
militan. Berhenti pada sisi fundamentalis saja, tampaknya saya menyukai fundamentalis
dari sayap mana pun.
Saya jadi bersemangat meladeni obrolan teman saya, “Kamu
tahu tidak, ada sebuah geraja yang lantai di atapnya digarap dengan amat indah
oleh orang-orang Opus Dei?” “Bagaimana ceritanya?” tanya teman saya. “Oh, ini
juga menunjukkan kesungguhan mereka melayani Tuhan lewat kerja-kerja sekuler.
Ada yang terheran-heran, buat apa atap yang entah siapa yang kurang kerjaan
naik dipenuhi ornamen memukau. Kata orang Opus Dei, mungkin tidak ada orang
yang melihat, namun ini untuk Tuhan. Ada seorang pemilik binatu, mungkin kamu
sempat berpapasan dengannya di Lima, yang konon ditanya pelanggan mengapa dia
repot-repot membersihkan noda di lipatan kerah yang tak bakalan terlihat,
jawabannya ya itu tadi, ‘Ini untuk Tuhan’.”
“Mestinya kita bisa melebihi mereka,” kata teman saya
yang tampaknya geram betul dengan kondisi rekan-rekan seagamanya.
“Mestinya. Tapi tampaknya tidak bisa,” kata saya. “Aku
tahu ada hadits, entah derajatnya sahih atau tidak atau malah palsu aku tidak
tahu, yang intinya mengatakan bahwa Allah menyukai hamba-Nya yang mengerjakan
sesuatu dengan sebaik-baiknya. Tapi mau bagaimana lagi, yang jelas-jelas sahih
saja aku selalu gagal mengamalkannya hingga detik ini.”
“Hadits apaan?” tanya dia.
“Itu lho, tanda-tanda orang munafik ada tiga. Jika
berbicara berdusta, jika berjanji ingkar, jika dipercaya berkhianat. Lha aku
kalau ditanya kapan selesai terjemahannya nggak pernah bener njawabnya. Besok.
Besoknya lagi menjawab besok. Tiga tanda itu komplit kumiliki. Sedih juga sih.
Tapi aku sering menghibur diri dengan mengatakan ‘mendung pertanda hujan, tapi
kan belum tentu hujan, itu cuma tanda’.”
Teman saya terpingkal-pingkal. Saya juga. Saya rasa kami
sedang menertawakan diri sendiri.
No comments:
Post a Comment