“Ah,
malas mananggapi akun anonim,” begitu ujaran yang sering dijumpai di Twitter
ketika satu akun enggan berinteraksi lebih jauh dengan akun lainnya yang tidak
jelas siapa orangnya. Bagaimana mau jelas kalau user name-nya (at)gatalgatal,
misalnya. Fenomena akun anonim ini pernah menyedot perhatian begitu banyak
orang hingga pengguna Twitter setengah hati seperti saya jadi tahu bagaimana
sepak terjang @benny_israel, @gurita_global, dan @aishawardhana, untuk sekadar
menyebut beberapa dari sekian banyak fake
accounts. Dua akun yang disebut
pertama dikenal sebagai akun anonim yang getol mengritik Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono dan mengundang bermunculannya akun-akun real maupun anonim yang menyerang balik dua selebtwit itu. Sedangkan @aishawardhana cukup menggemparkan karena
ketahuan bahwa akun itu akun bodong yang menyaru sebagai seorang dokter yang
sempat tertembak dan diculik di Somalia. Akun yang mencitrakan diri sebagai
seorang mualaf amat bijak ini kabarnya ada sangkut pautnya juga dengan @benny_israel
dan adminnya (orang yang mengoperasikan akun tersebut) kini kabarnya
menggunakan akun lain.
Agaknya ada tak terbilang banyak keuntungan atau
kesenangan macam apa yang didapat dari bermain Twitter dengan menyembunyikan
jati diri itu. Ada yang bilang aishawardhana adalah agen intelijen yang sedang
menjalani semacam ujian kenaikan tingkat ketika aksinya menyaru sebagai dokter
aktivis kemanusiaan di Somalia kedodoran. Ada juga yang mengatakan bahwa
aishawardhana adalah simpatisan suatu partai yang kerap mengkritisi kebijakan
pemerintahan Presiden Yudhoyono tetapi dibikin tak berdaya oleh cinta hingga
bersedia mencari tahu siapa sesungguhnya @benny_israel. Entah kabar mana yang
benar. Twitter memang panggung sandiwara sedunia di mana hampir siapa pun boleh
bermain peran sesuka hati menjadi apa saja. Nenek-nenek pun bisa
memantas-mantas diri sebagai gadis modis kutu buku bernama Maryama sang ahli
bahasa dengan pengetahuan dan bacaan seluas tujuh samudra atau menjadi Venska
si gadis belia pendamba cinta yang tak pernah ada.
Twitter is a fake world, begitu teriak akun @sahupradipta suatu kali.
Suatu ketika ada yang menyatakan bahwa penggunaan kata
anonim untuk akun-akun beridentitas tak jelas tersebut tidaklah tepat. Mereka
punya nama walaupun bukan nama sebenarnya. Jika demikian, istilah yang tepat
untuk penggunaan nama selain nama diri untuk keperluan penyamaran adalah
pseudonim. Pernyataan yang sungguh benar secara leksikal, sebab arti anonim
adalah tanpa nama, tidak beridentitas, awanama, atau tidak ada
penandatangannya. Sedangkan pseudonim adalah nama yang digunakan seseorang,
seperti penulis, pengarang untuk menyembunyikan identitas sebenarnya; nama
samaran. Twitter mempunyai kebijakan user
name can’t be blank, sehingga secara bahasa akun anonim itu tidak ada. Contoh
anonim misalnya, “Gundul-Gundup Pacul diciptakan oleh N.N” (n.n = no name),
sedangkan psudonim “Langit Semakin Mendung karya Ki Panji Kusmin.”
Si penganjur pseudonim bukannya anonim itu teguh
menggunakan istilah psudonim untuk menyebut apa yang oleh lazimnya pengguna
Twitter disebut sebagai anonim, sama teguh dengan pilihannya menggunakan
istilah pulau terdepan untuk menyebut apa yang oleh orang kebanyakan disebut
pulau terluar. Baginya sebutan pulau terluar menyiratkan makna dikesampingkan
atau didiskriminasi dalam pembangunan Indonesia. Dengan disebut pulau terdepan
diharapkan perhatian pemerintah lebih banyak tercurah mengingat itulah pagar
terdepan negara kita. Saya tidak sepaham dan karena itu tetap bertahan dengan
istilah pulau terluar. Luar atau dalam hanya soal geografi sederhana
sebetulnya. Soal mana lebih penting saya kira tak ada perlunya meributkan lebih
penting mana ban luar atau ban dalam. Lagi pula, misalnya jika dikatakan bahwa
Pacitan adalah kabupaten terdepan karena berada di tepian Lautan Hindia,
dipastikan penduduk Ngawi akan kesal dibilang mendiami kabupaten terbelakang
hanya karena berada di tengah Pulau Jawa di antara Laut Jawa dan Lautan Hindia.
Begitupun soal anjurannya tentang pseudonim bukannya
anonim (saya tidak suka dengan kata alih-alih). Walaupun secara leksikal
pseudonim adalah yang benar untuk menyebut penggunaan nama samaran, tetapi saya
bisa menerima keumuman di dunia Twitter menyebut orang-orang demikian sebagai
pemilik akun anonim. Mungkin penggunaan istilag anonim di Twitter lebih dekat
pada pengertian anonimitas dalam arti tidak dikenal siapa jati diri
sesungguhnya. Akun anonim lebih sering menunjuk pada upaya menutupi identitas
akun-akun yang aktif dalam perbincangan politik, sosial dan budaya. Sedangkan
untuk mereka yang bersembunyi di balik akun bodong untuk keperluan mengumbar
sisi liar dalam urusan cinta, seks, roleplay
dan lain sebagainya biasanya disebut akun alter. Biasanya mereka tidak
menyentuh perbincangan politik. Yang jelas akun anonim atau alter bisa jauh
lebih dikenal daripada akun real
operator yang bersangkutan.
Penyembunyian jati diri dengan pseudonim (dalam dunia
tulis menulis dahulu lazim disebut nama pena) ini sudah lumrah sejak dulu kala
(yang benar dahulu kala). Saya tahu nama sebenarnya Voltaire adalah Jean-Marie
Arouet sewaktu kuliah, lama sesudah membaca terjemahan Zadig karya Pak Arouet
itu. Hingga kini saya bahkan tidak tahu nama asli Mark Twain (meskipun mudah
mencari tahunya di era serba google ini). Konon, Mark Twain yang asli pernah
menulis begitu jeleknya hingga dihujani kritik oleh seseorang. Mark Twain si
penulis buruk begitu sedih dikecam sampai-sampai tidak mau menulis lagi dan tak
terdengar kabar beritanya. Si pengecam amat menyesali kritik pedasnya yang
mematikan semangat penulis bernama Mark Twain. Sebagai tanda penyesalan dia
sandanglah nama pena Mark Twain. Ya, Mark Twain yang terkenal itu.
Jadi, anonim adalah penggunaan salah kaprah yang mestinya
pseudonim. Lebih jauh, akun anonim bagi sebagian orang tidak anonim-anomin amat
sebetulnya. Bahkan saya kenal dengan beberapa operator akun anonim. Apa masih
bisa disebut anonim ya kalau begitu? Haha. Maka istilah akun alter lebih pas
sebetulnya. Alter merujuk alter ego atau diri yang lain. Di Twitter, akun alter
dipakai dalam upaya membebaskan sisi diri yang lain (bisa sisi yang terang bisa
sisi yang gelap, tetapi yang saya temui kebanyakan sisi diri yang tak
ketulungan kelamnya) agar leluasa bersuara di dunia maya, yang mustahil
dilakukan dengan akun real. Misalnya
begini, ada akun yang getol menganjurkan pemakaian hijab oleh Muslimah,
menyampaikan manfaat berhijab, memuji artis-artis yang belakangan berhijab dan
seterusnya. Dia tidak mungkin menggunakan akun real untuk motivasi baik itu karena akun real dia tidak .... ya gitu. Atau sebaliknya.
Keunggulan akun alter atau anonim adalah, jika pandai
mengemas gagasan dalam kata-kata memikat, atau memasang avatar yang bikin orang
klepek-klepek, bisa mendapat followers berkali-kali lipat lebih banyak daripada
akun real-nya. Menyedihkan? Ya. Lebih
menyedihkan lagi: satu orang mengoperasikan tiga atau empat akun alter dan
saling bersahut-sahutan. Sementara akun yang real hanya ngetwit
seperlunya menyesuaikan umur. Puncak tragedi adalah komedi.
Picture source: http://www.ignant.de/2014/10/15/alter-ego-by-olivier-ramonteu/
No comments:
Post a Comment