Karyawan yang
keluar dari suatu organisasi atas permintaan organisasi yang bersangkutan
(berhenti di luar kemauan karyawan sendiri) maupun mereka yang keluar atas
kemauan sendiri (berhenti sukarela) bisa mengganggu jalannya operasi, dinamika
tim, dan kinerja unit. Kedua macam turnover
(berhentinya seorang karyawan dari tempatnya bekerja) menimbulkan beban biaya
bagi organisasi. Dalam beberapa kasus biaya ini bisa bersifat jangka pendek
tetapi memberikan manfaat jangka panjang; dalam beberapa kasus lain biaya
tersebut bisa bersifat signifikan dan berdampak sangat lama. Biaya turnover meliputi biaya ekonomi langsung
pembayaran karyawan dan pelatihan pegawai baru maupun biaya tidak langsung downtime (tidak beroperasi) yang
diperlukan bagi karyawan baru untuk kecakapan karyawan dalam pekerjaannya serta
menjadi terbiasa dan sepenuhnya menyatu dengan organisasi. Di samping itu,
mereka yang bertanggung jawab atas pelatihan karyawan baru dibebaskan dari
tanggung jawab pekerjaan reguler mereka. Jika sebuah organisasi melakukan
investasi signifikan dalam pelatihan dan pengembangan karyawan barunya,
investasi itu lenyap ketika karyawan yang bersangkutan keluar. Turnover berlebihan juga bisa
mempengaruhi moral karyawan dan reputasi organisasi sebagai tempat bekerja yang
baik, hal ini membuat pemeliharaan karyawan dan rekrutmen menjadi semakin sulit
dan mahal (Jeffrey A. Mello, 2006: 569).
Biaya ekonomi turnover bisa sangat membenani. Kendati
demikian, turnover juga bisa
menguntungkan. Turnover memungkinkan
organisasi mempekerjakan karyawan-karyawan baru dengan pelatihan terbaru yang
tidak terbelenggu pada cara kerja yang sudah mapan. Ide-ide baru dari orang
luar bisa sangat penting bagi organisasi yang mengelami kemandekan dan
membutuhkan inovasi. Turnover juga
bisa mengurangi masa kerja rata-rata karyawan dan hal itu menyebabkan turunnya
biaya penggajian karyawan. Yang paling penting, ketika karyawan yang berkinerja
buruk atau bertabiat mengganggu meninggalkan organisasi, moral rekan-rekan
kerjanya bisa meningkat (h. 569).
Bisa diasumsikan
bahwa berhentinya karyawan secara sukarela pada umumnya lebih banyak
menimbulkan biaya daripada menfaat dan pemberhentian karyawan secara paksa
menguntungkan bagi organisasi dari segi biaya. Kedua asumsi ini sering kali
salah. Pertama, turnover sukarela
bisa memungkinkan organisasi mendapatkan karyawan dengan kinerja lebih baik
daripada karyawan yang keluar, bisa jadi dengan gaji lebih rendah. Kedua, turnover tidak sukarela sering
menimbulkan biaya lebih tinggi daripada memberikan pelatihan dan konseling
seorang karyawan yang menunjukkan kinerja kurang (h. 569, 570).
Turnover sukarela maupun
tidak sukarela bisa dikelola secara strategis agar organisasi dapat
memaksimalkan manfaat turnover dan
meminimalkan biaya yang ditimbulkan proses ini. Turnover dalam organisasi, jika tidak bisa dihindari, bisa dikelola
secara strategis sehingga organisasi dapat meminimalkan kerugian karena turnover dan meningkatkan manfaatnya. Turnover bisa fungsional (bermanfaat)
bisa juga disfungsional (problematis) bagi sebuah organisasi tergantung pada
dua faktor: tingkat kinerja karyawan perorangan dan kesulitan yang akan
dihadapi organisasi jika memberhentikan karyawan tersebut. Makin disfungsional
suatu pemberhentian, makin besar perhatian yang harus diberikan pihak manajemen
untuk mempertahankan karyawan. Strategi membuat karyawan betah bisa menghendaki
peluang pengembangan karier tambahan, kompensasi insentif sebagai imbalan bagi
kinerja yang tinggi, atau tunjangan inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan
karyawan. Terlepas dari level kinerja, organisasi harus menyiapkan cadangan
bagi karyawan yang sulit diganti. Idealnya, strategi pengelolaan turnover menyertakan kompensasi dan
pengakuan inovatif serta program pemberian penghargaan saat perencanaan sumber
daya manusia digarap demi memastikan agar hanya ada sesedikit mungkin karyawan
yang menduduki posisi yang sulit digantikan (h. 570 – 571).
Semua karyawan
yang keluarnya dari organisasi akan menimbulkan dampak merusak bisa
diklasifikasi ulang menjadi mudah diganti jika cadangan yang tepat dilatih
dengan baik. Bersamaan dengan itu, insentif kinerja dan konseling harus
diberikan bagi karyawan dengan kinerja rendah untuk mendorong dan menyemangati
mereka agar mencapai kinerja rata-rata. Hal yang sama harus dilakukan juga
untuk karyawan dengan tingkat kinerja di atasnya. Jika langkah ini tidak
membuat karyawan dengan kinerja rendah menjadi lebih baik, pemutusan hubungan
kerja bisa dilakukan (h. 571).
Jika turnover tidak sukarela atau pemutusan
hubungan kerja terpaksa dilakukan, majikan harus memiliki strategi dan standar
yang memungkinkan mereka menghadapi tuduhan PHK secara sewenang-wenang.
Bagaimanapun juga, yang harus menjadi perhatian bukan keharusan mengurangi turnover melainkan mengurangi turnover problematis dengan
mengembangkan program dan kebijakan sumber daya manusia yang memadai (h. 571).
Sumber: Jeffery A.Mello, Strategic Human Resource
Management, Thomson, South-Wester, 2006.
Sumber gambar: http://faqhow.com/how-to/how-to-reduce-employee-turnover
No comments:
Post a Comment