Pages

Monday, January 4, 2016

Turnover



referensi manajemen sdm turnover

Karyawan yang keluar dari suatu organisasi atas permintaan organisasi yang bersangkutan (berhenti di luar kemauan karyawan sendiri) maupun mereka yang keluar atas kemauan sendiri (berhenti sukarela) bisa mengganggu jalannya operasi, dinamika tim, dan kinerja unit. Kedua macam turnover (berhentinya seorang karyawan dari tempatnya bekerja) menimbulkan beban biaya bagi organisasi. Dalam beberapa kasus biaya ini bisa bersifat jangka pendek tetapi memberikan manfaat jangka panjang; dalam beberapa kasus lain biaya tersebut bisa bersifat signifikan dan berdampak sangat lama. Biaya turnover meliputi biaya ekonomi langsung pembayaran karyawan dan pelatihan pegawai baru maupun biaya tidak langsung downtime (tidak beroperasi) yang diperlukan bagi karyawan baru untuk kecakapan karyawan dalam pekerjaannya serta menjadi terbiasa dan sepenuhnya menyatu dengan organisasi. Di samping itu, mereka yang bertanggung jawab atas pelatihan karyawan baru dibebaskan dari tanggung jawab pekerjaan reguler mereka. Jika sebuah organisasi melakukan investasi signifikan dalam pelatihan dan pengembangan karyawan barunya, investasi itu lenyap ketika karyawan yang bersangkutan keluar. Turnover berlebihan juga bisa mempengaruhi moral karyawan dan reputasi organisasi sebagai tempat bekerja yang baik, hal ini membuat pemeliharaan karyawan dan rekrutmen menjadi semakin sulit dan mahal (Jeffrey A. Mello, 2006: 569).
Biaya ekonomi turnover bisa sangat membenani. Kendati demikian, turnover juga bisa menguntungkan. Turnover memungkinkan organisasi mempekerjakan karyawan-karyawan baru dengan pelatihan terbaru yang tidak terbelenggu pada cara kerja yang sudah mapan. Ide-ide baru dari orang luar bisa sangat penting bagi organisasi yang mengelami kemandekan dan membutuhkan inovasi. Turnover juga bisa mengurangi masa kerja rata-rata karyawan dan hal itu menyebabkan turunnya biaya penggajian karyawan. Yang paling penting, ketika karyawan yang berkinerja buruk atau bertabiat mengganggu meninggalkan organisasi, moral rekan-rekan kerjanya bisa meningkat (h. 569).
Bisa diasumsikan bahwa berhentinya karyawan secara sukarela pada umumnya lebih banyak menimbulkan biaya daripada menfaat dan pemberhentian karyawan secara paksa menguntungkan bagi organisasi dari segi biaya. Kedua asumsi ini sering kali salah. Pertama, turnover sukarela bisa memungkinkan organisasi mendapatkan karyawan dengan kinerja lebih baik daripada karyawan yang keluar, bisa jadi dengan gaji lebih rendah. Kedua, turnover tidak sukarela sering menimbulkan biaya lebih tinggi daripada memberikan pelatihan dan konseling seorang karyawan yang menunjukkan kinerja kurang (h. 569, 570).
Turnover sukarela maupun tidak sukarela bisa dikelola secara strategis agar organisasi dapat memaksimalkan manfaat turnover dan meminimalkan biaya yang ditimbulkan proses ini. Turnover dalam organisasi, jika tidak bisa dihindari, bisa dikelola secara strategis sehingga organisasi dapat meminimalkan kerugian karena turnover dan meningkatkan manfaatnya. Turnover bisa fungsional (bermanfaat) bisa juga disfungsional (problematis) bagi sebuah organisasi tergantung pada dua faktor: tingkat kinerja karyawan perorangan dan kesulitan yang akan dihadapi organisasi jika memberhentikan karyawan tersebut. Makin disfungsional suatu pemberhentian, makin besar perhatian yang harus diberikan pihak manajemen untuk mempertahankan karyawan. Strategi membuat karyawan betah bisa menghendaki peluang pengembangan karier tambahan, kompensasi insentif sebagai imbalan bagi kinerja yang tinggi, atau tunjangan inovatif yang disesuaikan dengan kebutuhan karyawan. Terlepas dari level kinerja, organisasi harus menyiapkan cadangan bagi karyawan yang sulit diganti. Idealnya, strategi pengelolaan turnover menyertakan kompensasi dan pengakuan inovatif serta program pemberian penghargaan saat perencanaan sumber daya manusia digarap demi memastikan agar hanya ada sesedikit mungkin karyawan yang menduduki posisi yang sulit digantikan (h. 570 – 571).
Semua karyawan yang keluarnya dari organisasi akan menimbulkan dampak merusak bisa diklasifikasi ulang menjadi mudah diganti jika cadangan yang tepat dilatih dengan baik. Bersamaan dengan itu, insentif kinerja dan konseling harus diberikan bagi karyawan dengan kinerja rendah untuk mendorong dan menyemangati mereka agar mencapai kinerja rata-rata. Hal yang sama harus dilakukan juga untuk karyawan dengan tingkat kinerja di atasnya. Jika langkah ini tidak membuat karyawan dengan kinerja rendah menjadi lebih baik, pemutusan hubungan kerja bisa dilakukan (h. 571).
Jika turnover tidak sukarela atau pemutusan hubungan kerja terpaksa dilakukan, majikan harus memiliki strategi dan standar yang memungkinkan mereka menghadapi tuduhan PHK secara sewenang-wenang. Bagaimanapun juga, yang harus menjadi perhatian bukan keharusan mengurangi turnover melainkan mengurangi turnover problematis dengan mengembangkan program dan kebijakan sumber daya manusia yang memadai (h. 571).
Sumber: Jeffery A.Mello, Strategic Human Resource Management, Thomson, South-Wester, 2006.

No comments:

Post a Comment