Sistem keuangan dan perbankan Islam merupakan bagian dari
konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, di mana tujuannya, sebagaimana
dianjurkan oleh para ulama, adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam
ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, maka keuangan dan
perbankan Islam bagi kebanyakan Muslim adalah bukan sekadar sistem transaksi
komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial itu dipandang oleh banyak
kalangan Muslim sebagai kewajiban agama. Kemampuan lembaga Islam menarik
investor dengan sukses bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga
itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut
secara sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan oleh Islam
(Tan Sri Datuk Ahmed Mohamed Ibrahim, Islamic
Banking: An Overview, editor Daphne Buckmaster (London: Institute of
Islamic Banking and Insurance, 1996), hlm. 15, dikutip dalam Zainul Arifin,
2002: 13).
Sebagaimana pembentukan bank konvensional pertama yang
beroperasi di Venesia yaitu Banco della Pizza di Rialto (1587) dianggap sebagai
titik awal berkembangnya perbankan modern, walaupun pada prakteknya sudah
dilaksanakan sejak 900 tahun sebelumnya, maka pendirian sebuah local saving bank yang beroperasi tanpa
bunga di Desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil, Mesir, pada tahun 1960-an oleh Dr.
Abdul Hamid An Naggar, telah menjadi tonggak berdirinya lembaga perbankan Islam
modern pertama, bahkan lembaga keuangan Islam modern yang pertama di dunia.
Meski beberapa tahun kemudian ditutup karena masalah manajemen, bank lokal ini
telah mengilhami diadakannya Konferensi Ekonomi Islam pertama di Mekkah pada
1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun
kemudian lahirlah Islamic Development
Bank (IDB) yang kemudian diikuti pembentukan lembaga-lembaga keuangan Islam
di berbagai negara. (Zainul Arifin, 2002: 6).
Pesatnya pertumbuhan bank-bank Islam telah mengilhami
bank-bank konvensional untuk meniru dan menawarkan produk-produk bank Islam.
Alasan mereka ikut menawarkan produk bank Islam semata-mata bersifat komersial,
yaitu melihat besarnya pasar umat Islam yang pertumbuhannya diperkirakan 15%
per tahun. Hal ini tercermin dari tindakan beberapa bank konvensional yang
membuka “Islamic windows” di dalam
bank masing-masing dengan menawarkan produk-produk bank Islam, antara lain di Malaysia, “the Islamic transactions”
di cabang-cabang Bank Mesir, dan “the
Islamic services” di cabang-cabang Bank Perdagangan Nasional Arab Saudi
(Zainul Arifin, 2002: 6).
Citibank mendirikan Citi Islamic Investment Bank pada
1996 di Bahrain, yang merupakan wholly-owned
subsidiary dari Citicorp. Chase Manhattan Bank telah mengembangkan produk
Chase Manhattan Leasing Liquidity Program (CML) untuk memenuhi kebutuhan
investasi overnite dan short term lain yang halal.
Produk-produk investement banking
yang Islami mulai ditawarkan oleh para fund
manager konvensional seperti The Wellington Management Company (Amerika
Serikat), Oasis International Equity Funds dari Flamings Bank (Inggris), State
Street Investment Management (AS), dan Kleinworth Benson Bank (Inggris) (Zainul
Arifin, 2002: 6).
Perusahaan-perusahaan besar yang berminat menggunakan
jasa bank Islam juga semakin banyak. Xerox, General Motors, IBM, General
Electric, dan Chrysler adalah sebagian dari perusahaan-perusahaan blue chip di Amerika yang semakin banyak
menggunakan ijarah (Islamic lease finance); The United Bank
of Kuwait pada 1994 lalu melaporkan pertumbuhan 75% (tujuh puluh lima persen)
untuk produk ijarah di Amerika
Serikat. (Zainul Arifin, 2002: 7).
Bahkan dari segi pengembangan teori bank Islam,
Universitas Harvard telah mendirian program khusus The Harvard Islamic Finance
Information Program di bawah Harvard University Center for Middle Eastern
Studies, yang disponsori oleh The Islamic Company of the Gulf (Bahrain)
Investment Bankers (cabang Dar al-Maal Al Islami Trust) (Zainul Arifin, 2002: 7).
Di Indonesia, semangat pengembangan pemikiran ekonomi
Islam sedang giat-giatnya digalakkan oleh berbagai kalangan, baik melalui
lembaga pendidikan tinggi formal maupun non-formal. Pemberlakukan sistem
perbankan syariah oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991, kemudian
Bank Syari’ah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syari’ah (BNI Syaria’ah)
yang didukung oleh Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, yang telah diubah
dengan Undang-Undang Perbankan Syari’ah No. 23 Tahun 2008, merupakan momentum
dan bukti adanya upaya-upaya pengembangan konsep ekonomi Islam (syari’ah) dalam
wilayah praktis. (Sirman Dahwal: 22.)
Upaya intensif pendirian bank Islam (disebut oleh
peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai “Bank Syariah”) di Indonesia
dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan
Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur deregulasi industri perbankan di
Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas
bunga, tetapi tidak ada satu pun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali
adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan
dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen) (Zainul Arifin, 2002: 7).
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang
Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19–22 Agustus 1990, yang
kemudian diikuti dengan diundangkannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan di mana
perbankan bagi-hasil mulai diakomodasi, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia.
Pembentukan BMI ini diikuti oleh pendirian bank-bank perkreditan rakyat syariah
(BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum
sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah
lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Bait
al Maal wal Tamwil (BMT) – atau Bait
al Qiradh menurut masyarakat Aceh (Zainul Arifin, 2002: 7,8).
“Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali UU
No.7/1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72/1992, praktis tidak ada peraturan
perundang-undangan lainnya yang mendukung beroperasinya perbankan Syariah.
Ketiadaan perangkat ini memaksa perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya
dengan hukum positif (peraturan umum perbankan) yang berlaku di Indonesia, yang
nota bene berbasis
bunga/konvensional. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi
tersamar dan bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank
konvensional.” (Zainul Arifin, 2002: 9).
Kini jumlah bank umum Syariah di Indonesia telah
bertambah dengan telah beroperasinya kantor cabang Syariah Bank IFI, Bank
Syariah Mandiri, kantor-kantor cabang Syariah Bank BNI, kantor cabang Bank
Jabar dan kantor cabang Bank Bukopin, di samping Bank Muamalat Indonesia dan 78
BPR Syariah yang telah ada. Jumlah ini akan bertambah lagi dengan pembukaan
kantor-kantor cabang Syariah beberapa bank lainnya. Untuk memfasilitasi perbankan
Syariah ini dalam mengelola dananya Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa
ketentuan mengenai Pasar Uang Antar-Bank Syariah, Instrumen Pasar Uang Syariah
yang berupa Sertifikat Investasi Mudharabah Antar-bank (IMA) dan Sertifikat
Wadi’ah (SWBI), ketentuan mengenai Giro Wajib Mininum bagi Bank Syariah dan
Kliring antar Bank Syariah. Saat ini Bank Indonesia juga sedang mempersiapkan
Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi Perbankan Syariah (Zainul
Arifin, 2002: 10).
Dalam hal ini menarik untuk direnungkan pernyataan, yang
banyak dikutip, dari Profesor Emiritus Tan Sri Datuk Ahmed bin Mohd. Ibrahim
berikut:
“Banking and
financial activities have emerged to meet genuine human needs. Therefore,
unless these activities belong to the category expressly forbidden by Islam,
there is nothing in the nature of these activities which is contrary to the
Syariah. Examples of forbidden activities include gambling and manufacturing in
forbidden goods such as liquor.”
Daftar Rujukan
Jack
Weatherford, The History of Money,
Crown Publishers Inc., New York, 1997).
Sirman
Dahwal, Etika Bisnis Menurut Hukum Islam
(Suatu Kajian Normatif), tanpa tahun.
Zainul
Arifin, Drs., MBA, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2002.
No comments:
Post a Comment