Pages

Thursday, January 21, 2016

Ci Vis Pacem Para Bellum



Nuklir bom H edward teller oppenheimer

“Berada sejauh tiga puluh dua kilometer, saya tiarap dengan wajah mendongak ke arah bom. Sebetulnya itu tidak boleh. Saya mengoleskan losion tabir surya dan mengenakan kacamata sangat gelap. Sebuah titik menyala di kejauhan. Area yang diterangi bertambah luas, lebih banyak ke samping daripada ke atas, lalu mulai membubung, dan dalam semenit sudah menjangkau atmosfer – dengan semacam imajinasi Anda boleh mengatakan itu terlihat seperti tanda tanya – dan dentuman menyusul setengah menit setelah ledakan. Sekitar dua puluh orang dari kami ada di sana di hamparan pasir. Saat itu puluk 06:00. Sesampai di rumah, saya kembali ke tempat tidur, tetapi tidak bisa tidur. Saya tidak boleh memberi tahu istri saya, dan tidak saya beri tahu. Dia mengatakan kepada saya apa yang didengarnya dari berita – bahwa sebuah gudang amunisi meledak dan tak ada yang terluka. Dia tahu, saya rasa, dan saya tahu, tetapi kami tidak pernah saling memberi tahu,” kenang Edward Teller tentang percobaan bom Trinity pada 16 Juli 1945.
Tidak seperti sebagian ilmuwan pengembang bom atom yang menyesali aktivitas mereka, misalnya Oppenheimer, Edward Teller tegas menyatakan kebanggaannya, “Kalau bukan karena saya, bom-H (bom hidrogen/atom) pasti akan dibuat duluan di Rusia. Di Amerika Serikat, boleh jadi kita berbicara dalam bahasa Rusia sekarang. Bahwa saya menghabiskan hidup untuk mengembangkan persenjataan, sama sekali tak ada penyesalan dalam diri saya. Saya sukses. Saya percaya bahwa dengan membuat bom-H saya turut andil dalam memenangkan Perang Dingin tanpa pertumpahan darah. Saya bukan orang yang kelewat rendah hati memang.
Segala sesuatu yang tidak boleh dilakukan menjadi boleh di masa perang. Apa saja yang terkait dengan perang adalah buruk menurut sementara orang. Akan tetapi ada peribahasa Latin yang artinya “Kalau kamu mau damai, bersiaplah untuk perang”.
Kendati demikian, fisikawan Yahudi kelahiran Hongaria itu tentulah bukan ilmuwan berhati beku meski karyanya menewaskan beribu-ribu manusia. Mengenai pengeboman Hiroshima yang berujung pada kehancuran dahsyat bangsa yang, menurut para ahli antropologi Amerika Serikat, tidak bisa menyerah karena tidak punya kosakata menyerah, Teller berpandangan, “Mestinya kita menjatuhkan bom bukan di Hiroshima tetapi di Teluk Tokyo. Puluhan juta orang Jepang akan melihat ledakan dan tak seorang pun terluka. Dengan dilihatnya ledakan dahsyat itu oleh rakyat Jepang, kita bisa menyudahi perang tanpa pembunuhan. Atau bisa saja kita menjatuhkan bom atom di atas Tokyo pada ketinggian enam atau sembilan kilometer, pada jam delapan malam, agar mereka melihatnya dan merasakan kejutannya. Hirohito pasti melihat bom itu dan menjadikan peristiwa itu alasan untuk menyerah.” 
bapak bom-H edward teller oppenheimer einstein

Kata Edward Teller bom-bom atom generasi pertama memiliki daya sekitar tiga puluh ribu ton TNT. Bom-bom yang sekarang kita simpan kekuatannya sepuluh kali lebih besar, tetapi bisa saja dengan mudah menjadi seribu kali lebih besar. Makin besar bom bukan makin baik. Senjata yang kita punya sekarang sanggup menyingkirkan atmosfer ke luar angkasa. Semakin besar ledakan, semakin cepat manusia menyingkirkan atmosfer.
Melihat mengerikannya efek bom yang turut dia ciptakan, Albert Einstein mengatakan, “Kalau tahu begini jadinya, lebih baik dahulu saya jadi tukang jam saja.” Oppenheimer keras mengecam bom atom dan memandang dia dan rekan-rekan ilmuwannya menciptakan dewa kehancuran. Begitu gencar kecamannya, sampai-sampi Oppenheimer dituding komunis. Setelah dengar pendapat di Senat tentang dugaan keterlibannya dengan komunis, Oppenheimer kehilangan izin keamanan tingkat tinggi.
Dari sudut pandang militer tentang perang nuklir, pidato Lord Louis Mounbatten pada 11 Mei 1979 di Strasbourg berikut ini patut direnungkan:
“Sebagai tentara yang membaktikan hidup selama setengah abad dalam dinas militer, saya katakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa perlombaan senjata nuklir tidak ada perlunya dalam kemiliteran. Tak ada perang yang bisa dilancaran dengan senjata nuklir. Keberadaan persenjataan ini hanya menambah bahaya yang mengancam kita karena ilusi yang dimunculkannya. Terdengar suara-suara lantang di seluruh dunia yang masih meneguhkan kebenaran ungkapan Romawi kuno—jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang. Inilah omong kosong besar nuklir.

Bacaan:
Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb, Simon & Schuster Paperbacks, New York, NY, 1986.
Sumber gambar:
         






No comments:

Post a Comment