“Berada sejauh
tiga puluh dua kilometer, saya tiarap dengan wajah mendongak ke arah bom.
Sebetulnya itu tidak boleh. Saya
mengoleskan losion tabir surya dan mengenakan kacamata sangat gelap. Sebuah
titik menyala di kejauhan. Area yang diterangi bertambah luas, lebih banyak ke
samping daripada ke atas, lalu mulai membubung, dan dalam semenit sudah
menjangkau atmosfer – dengan semacam imajinasi Anda boleh mengatakan itu
terlihat seperti tanda tanya – dan dentuman menyusul setengah menit setelah
ledakan. Sekitar dua puluh orang dari kami ada di sana di hamparan pasir. Saat
itu puluk 06:00. Sesampai di rumah, saya kembali ke tempat tidur, tetapi tidak
bisa tidur. Saya tidak boleh memberi tahu istri saya, dan tidak saya beri tahu.
Dia mengatakan kepada saya apa yang didengarnya dari berita – bahwa sebuah
gudang amunisi meledak dan tak ada yang terluka. Dia tahu, saya rasa, dan saya
tahu, tetapi kami tidak pernah saling memberi tahu,” kenang Edward Teller tentang
percobaan bom Trinity pada 16 Juli 1945.
Tidak seperti sebagian ilmuwan pengembang bom atom yang menyesali
aktivitas mereka, misalnya Oppenheimer, Edward Teller tegas menyatakan kebanggaannya,
“Kalau bukan karena saya, bom-H (bom hidrogen/atom) pasti akan dibuat duluan di
Rusia. Di Amerika Serikat, boleh jadi kita berbicara dalam bahasa Rusia
sekarang. Bahwa saya menghabiskan hidup untuk mengembangkan persenjataan, sama
sekali tak ada penyesalan dalam diri saya. Saya sukses. Saya percaya bahwa
dengan membuat bom-H saya turut andil dalam memenangkan Perang Dingin tanpa
pertumpahan darah. Saya bukan orang yang kelewat rendah hati memang.
Segala sesuatu yang tidak boleh dilakukan menjadi boleh di
masa perang. Apa saja yang terkait dengan perang adalah buruk menurut sementara
orang. Akan tetapi ada peribahasa Latin yang artinya “Kalau kamu mau damai,
bersiaplah untuk perang”.
Kendati demikian, fisikawan Yahudi kelahiran Hongaria itu
tentulah bukan ilmuwan berhati beku meski karyanya menewaskan beribu-ribu
manusia. Mengenai pengeboman Hiroshima yang berujung pada kehancuran dahsyat bangsa
yang, menurut para ahli antropologi Amerika Serikat, tidak bisa menyerah karena
tidak punya kosakata menyerah, Teller berpandangan, “Mestinya kita menjatuhkan bom bukan di Hiroshima tetapi di Teluk Tokyo.
Puluhan juta orang Jepang akan melihat ledakan dan tak seorang pun terluka.
Dengan dilihatnya ledakan dahsyat itu oleh rakyat Jepang, kita bisa menyudahi perang
tanpa pembunuhan. Atau bisa saja kita menjatuhkan bom atom di atas Tokyo pada
ketinggian enam atau sembilan kilometer, pada jam delapan malam, agar mereka
melihatnya dan merasakan kejutannya. Hirohito pasti melihat bom itu dan menjadikan
peristiwa itu alasan untuk menyerah.”
Kata Edward Teller bom-bom atom
generasi pertama memiliki daya sekitar tiga puluh ribu ton TNT. Bom-bom yang
sekarang kita simpan kekuatannya sepuluh kali lebih besar, tetapi bisa saja
dengan mudah menjadi seribu kali lebih besar. Makin besar bom bukan makin baik.
Senjata yang kita punya sekarang sanggup menyingkirkan atmosfer ke luar
angkasa. Semakin besar ledakan, semakin cepat manusia menyingkirkan atmosfer.
Melihat mengerikannya efek bom yang
turut dia ciptakan, Albert Einstein mengatakan, “Kalau tahu begini jadinya, lebih
baik dahulu saya jadi tukang jam saja.” Oppenheimer keras mengecam bom atom dan
memandang dia dan rekan-rekan ilmuwannya menciptakan dewa kehancuran. Begitu gencar
kecamannya, sampai-sampi Oppenheimer dituding komunis. Setelah dengar pendapat
di Senat tentang dugaan keterlibannya dengan komunis, Oppenheimer kehilangan
izin keamanan tingkat tinggi.
Dari sudut pandang militer tentang
perang nuklir, pidato Lord Louis Mounbatten pada 11 Mei 1979 di Strasbourg
berikut ini patut direnungkan:
“Sebagai
tentara yang membaktikan hidup selama setengah abad dalam dinas militer, saya
katakan dengan sesungguh-sungguhnya bahwa perlombaan senjata nuklir tidak ada
perlunya dalam kemiliteran. Tak ada perang yang bisa dilancaran dengan senjata
nuklir. Keberadaan persenjataan ini hanya menambah bahaya yang mengancam kita karena
ilusi yang dimunculkannya. Terdengar suara-suara lantang di seluruh dunia yang masih
meneguhkan kebenaran ungkapan Romawi kuno—jika kamu menginginkan perdamaian,
bersiaplah untuk perang. Inilah omong kosong besar nuklir.
Bacaan:
Richard Rhodes, The Making of the Atomic Bomb, Simon
& Schuster Paperbacks, New York, NY, 1986.
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment