Pages

Sunday, January 24, 2016

Perlindungan Hukum Air Tanah



Perlindungan Hukum Air tanah

Kata perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah tempat berlindung atau perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberi perlindungan kepada pihak yang lemah (W. J. S. Poerwadarminta, 1986: 600).
Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaidah yang mempunyai isi dan bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan kepada kaidah-kaidah (Sudikno Mertokusumo, 1991: 38).
Dengan demikian perlindungan hukum adalah suatu perbuatan atau hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan suatu sanksi.
Negara Indonesia, yang diselenggarakan oleh pemerintahannya, berkewajiban “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ini merupakan kaedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia, termasuk melindungi sumber daya.
Indonesia, sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila, harus memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan Pancasila. Artinya, perlindungan yang berarti pengakuan dan perlindungan hukum atas harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama (Philipus M. Hadjon, 1987: 84).
Lebih dari itu, Indonesia mengukuhkan diri sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3, “Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum.” Dengan sendirinya perlindungan hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum. Negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya. Perlindungan hukum merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga negaranya sebagai manusia. Konsepsi Negara hukum secara konstitusional dapat dirujuk pada rumusan tujuan Negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta merwujudkan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial, sebagaimana dimuat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945.
Pasal 33 sebagai dasar hak penguasaan Negara yang mengatur tentang dasar-dasar sistem perekonomian dan kegiatan perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Lebih tegas bisa dikatakan bahwa  Negara diberi “hak penguasaan” atas kekayaan alam milik bangsa Indonesia agar digunakan sepenuhnya bagi besar kemakmuran seluruh rakyat. Dalam hal ini, beliau menyatakan bahwa kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaidah dasar ini selanjutnya dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga ketentuan tersebu memberikan “hak penguasaan” kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan memberikan “kewajiban kepada negara” untuk menggunakannya bagi sebesarbesar kemakmuran rakyat (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 66).
Pertimbangan mengenai penguasaan sepenuhnya kekayaan alam oleh Negara demi kemakmuran rakyat ini jugalah yang mendasari dicabutnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Setidaknya, ada lima poin pembatasan yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan pengelolaan air.
Pertama, setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua, negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia, yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Ketiganya, MK pengelolaan air pun harus mengingat kelestarian lingkungan. Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan dan pengendalian oleh negara secara mutlak. Kelima, hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD.
Dengan dibatalkannya keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak lagi berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan tersebut.
Pengertian air menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun  1974 adalah “semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut.” Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 2 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang dimaksud dengan air adalah “Semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat. 
Salah satu butir dalam Arah Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 tentang Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah “Menjaga dan melestarikan sumber daya air. Pengelolaan diarahkan menjamin keberlanjutan daya dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan air tanah.” Sedangkan pengertian air tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah Pasal 1 ayat 4 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber daya Air Pasal 1 ayat 1 adalah “air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Sesungguhnya air tanah adalah sumber daya alam yang terbarukan bila keseimbangan pasokan dan pemanfaatannya terjaga dengan baik. Manusia memang sangat membutuhkan air tanah. Tapi, pengelolaannya juga perlu mendapat perhatian dari pihak yang berkompeten agar dampak negatif pengambilan dan perubahan air tanah segera dapat diketahui. Air tanah harus dikelola berdasarkan azas kelestarian, kesimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan & keserasian, keadilan, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas. Karena itu, air tanah juga harus dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan. Semuanya demi menjamin tersedianya air tanah, yakni dengan memperhatikan pemanfaatan yang berkelanjutan (Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah).

Rujukan:
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, Cet. XIV, 1999, hlm. 66.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1987, hlm.84.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty, 1991.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1986.

No comments:

Post a Comment