Kata perlindungan menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia adalah tempat berlindung atau perbuatan (hal) melindungi,
misalnya memberi perlindungan kepada pihak yang lemah (W. J. S.
Poerwadarminta, 1986: 600).
Menurut Sudikno Mertokusumo, yang
dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaidah yang mempunyai isi
dan bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan
normatif karena menentukan apa yang seyogianya dilakukan, apa yang tidak boleh
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan
kepatuhan kepada kaidah-kaidah (Sudikno Mertokusumo, 1991: 38).
Dengan demikian perlindungan hukum
adalah suatu perbuatan atau hal melindungi subjek-subjek hukum dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan
suatu sanksi.
Negara Indonesia,
yang diselenggarakan oleh pemerintahannya, berkewajiban “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pernyataan
dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ini merupakan
kaedah konstitusional dari kewajiban negara dan tugas pemerintah untuk
melindungi segenap sumber-sumber insani dalam lingkungan hidup Indonesia, guna
kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia dan segenap umat manusia, termasuk
melindungi sumber daya.
Indonesia, sebagai negara hukum
berdasarkan Pancasila, harus memberikan perlindungan hukum terhadap warga
masyarakatnya sesuai dengan Pancasila. Artinya, perlindungan yang berarti
pengakuan dan perlindungan hukum atas harkat dan martabat manusia atas dasar
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta
keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak
asasi manusia dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat
kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama (Philipus M.
Hadjon, 1987: 84).
Lebih dari itu, Indonesia mengukuhkan
diri sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 1 ayat 3, “Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum.” Dengan sendirinya perlindungan
hukum menjadi unsur esensial serta menjadi konsekuensi dalam negara hukum.
Negara wajib menjamin hak-hak hukum warga negaranya. Perlindungan hukum
merupakan pengakuan terhadap harkat dan martabat warga negaranya sebagai
manusia. Konsepsi Negara hukum secara konstitusional dapat dirujuk
pada rumusan tujuan Negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta merwujudkan keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan
Negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan
sosial, sebagaimana dimuat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia
Tahun1945.
Pasal 33 sebagai
dasar hak penguasaan Negara yang mengatur tentang dasar-dasar sistem
perekonomian dan kegiatan perekonomian yang dikehendaki dalam Negara Republik
Indonesia. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dinyatakan bahwa, bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Lebih tegas bisa dikatakan bahwa Negara diberi “hak penguasaan” atas kekayaan
alam milik bangsa Indonesia agar digunakan sepenuhnya bagi besar kemakmuran
seluruh rakyat. Dalam hal ini, beliau menyatakan bahwa kaedah dasar yang
melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat
dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaidah dasar ini selanjutnya
dijabarkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sehingga ketentuan tersebu memberikan
“hak penguasaan” kepada negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia dan
memberikan “kewajiban kepada negara” untuk menggunakannya bagi sebesar‐besar kemakmuran
rakyat (Koesnadi Hardjasoemantri, 1999: 66).
Pertimbangan
mengenai penguasaan sepenuhnya kekayaan alam oleh Negara demi kemakmuran rakyat
ini jugalah yang mendasari dicabutnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan Putusan
Nomor 85/PUU-XI/2013. Dalam pertimbangannya, MK menyatakan sebagai unsur yang
menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3)
haruslah dikuasai negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan
ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan.
Setidaknya, ada lima poin pembatasan yang ditegaskan MK dalam hal pembatasan
pengelolaan air.
Pertama, setiap
pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat. Selain
dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kedua,
negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia,
yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) UUD harus menjadi tanggung jawab
pemerintah. Ketiganya, MK pengelolaan air pun harus mengingat kelestarian
lingkungan. Keempat, sebagai cabang produksi yang penting dan menguasai hajat
hidup orang banyak air menurut Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 harus dalam pengawasan
dan pengendalian oleh negara secara mutlak. Kelima, hak pengelolaan air mutlak
milik negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah
BUMN atau BUMD.
Dengan
dibatalkannya keberadaan UU SDA, MK menghidupkan kembali UU Nomor 11 Tahun 1974
tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan
undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak lagi
berdasar pada UU SDA, tetapi UU Pengairan tersebut.
Pengertian air
menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1974 adalah “semua air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari
sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun di bawah permukaan tanah,
tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat di laut.” Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 Pasal 1 ayat 2 tentang Pengelolaan
Sumber Daya Air yang dimaksud dengan air adalah “Semua air yang terdapat pada,
di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air
permukaan, air tanah, air hujan, dan
air laut yang berada di darat.
Salah satu butir
dalam Arah Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025 tentang
Lingkungan Hidup menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 adalah “Menjaga dan
melestarikan sumber daya air. Pengelolaan diarahkan menjamin keberlanjutan daya
dukungnya dengan menjaga kelestarian fungsi daerah tangkapan air dan keberadaan
air tanah.” Sedangkan pengertian air tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2008 tentang Air Tanah Pasal 1 ayat 4 dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Sumber daya Air Pasal 1 ayat 1 adalah “air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
Sesungguhnya
air tanah adalah sumber daya alam yang terbarukan bila keseimbangan pasokan dan
pemanfaatannya terjaga dengan baik. Manusia memang sangat membutuhkan air
tanah. Tapi, pengelolaannya juga perlu mendapat perhatian dari pihak yang
berkompeten agar dampak negatif pengambilan dan perubahan air tanah segera
dapat diketahui. Air tanah harus dikelola berdasarkan azas kelestarian,
kesimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan & keserasian, keadilan,
kemandirian, transparansi dan akuntabilitas. Karena itu, air tanah juga harus
dikelola secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan. Semuanya demi
menjamin tersedianya air tanah, yakni dengan memperhatikan pemanfaatan yang
berkelanjutan (Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air
Tanah).
Rujukan:
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, Cet. XIV, 1999, hlm. 66.
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya,
PT. Bina Ilmu, 1987, hlm.84.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty,
1991.
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1986.
No comments:
Post a Comment