Pages

Tuesday, January 5, 2016

Pertahanan Minyak



minyak dan pertahanan

Remaja tanggung berseragam militer itu berdiri takzim menjalani sebuah ritual. Ritual untuk melepasnya terbang dengan pesawat Zero menyongsong kapal musuh. Bocah itu akhirnya mati. Bukan karena pesawatnya melabrak kapal induk Amerika Serikat, dia tidak sempat menerbangkan pesawat karena dibunuh orang Barat non-kombatan yang mengail di keruhnya situasi Cina menjelang Jepang menyerah. Adegan menjelang film Empire of the Sun tamat ini menggambarkan dengan sangat pas semangat dan ketangguhan orang Jepang bahkan ketika peluang menang tidak ada. Semangat dan nyali luar biasa yang dimiliki para pilot kamikaze dalam berkorban untuk anak turun Dewi Matahari merupakan perwujudan sempurna semangat Jepang, yang bisa sangat tradisional sekaligus sangat modern. Serbuan nekat dengan pesawat-pesawat modern yang menciutkan nyali lawan itu diberi nama mitologis Kamikaze, angin dewa yang pernah memporak-porandakan kapal-kapal bala tentara Kubilai Khan ketika hendak menyerbu Jepang.
Di luar mentalitas sulit dimengerti yang dibungkus mitologi itu adalah perhitungan rasional sangat cermat. Dibutuhkan delapan pesawat pembom dan enam belas pesawat pemburu untuk menenggelamkan sebuah kapal induk atau kapal perang Amerika Serikat, dengan metode kamikaze hanya diperlukan satu atau tiga pesawat. Efektivitas dan efisiensi skuadron kamikaze bisa diandalkan bukan hanya karena pesawat yang menghantam dek pasti menimbulkan kerusakan, tetapi juga jatah bahan bakar dikurangi setengah sebab pilot kamikaze tidak diperintahkan pulang ke pangkalan. Pengurangan jatah bahan bakar ini sangat signifikan bagi angkatan perang Jepang yang dililit krisis bahan bakar. Krisis inilah yang mencetuskan ide pembentukan skuadron bunuh diri Kamikaze.
Untuk memperoleh minyak, yang dikuasai negara-negara imperialis Barat, mula-mula Jepang menyerbu Balikpapan pada Januari 1942, pada Maret 1942 seluruh fasilitas minyak di Hindia Belanda dikuasai. Jepang masuk ke kancah perang dengan cadangan minyak untuk dua tahun, selepas itu minyak Hindia Belanda itulah yang diandalkan Jepang. Ketergantungan ini nantinya menjadi kelemahan Jepang, karena jalur pelayaran Jepang sangat rentan dari serangan kapal selam. Anggapan keliru petinggi militer Jepang bahwa awak kapal selam Amerika Serikat lembek karena berasal dari masyarakat yang biasa hidup enak berakibat fatal bagi pasokan bahan bakar angkatan laut Jepang. Ternyata tangguh menghadapi kerasnya hidup di bawah permukaan air, personel kapal selam Amerika Serikat berhasil melemahkan dan akhirnya memutus jalur pelayaran vital antara Jepang dan Zona Selatan (termasuk negeri kita ini ketika masih bernama Hindia Belanda). Konfrontasi berkepanjangan yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Maru (merujuk pada istilah Jepang untuk kapal niaga) menguras cadangan bahan bakar mesin perang Jepang, sampai-sampai Jepang terpaksa menggunakan minyak mentah Kalimantan untuk menjalankan kapal. Marcus Samuel, yang pada tahun 1895 memperoleh konsesi di Kutai, tidak membual ketika mengatakan bahwa minyak mentah di daerah itu bermutu tinggi. Tetapi minyak mentah tersebut sangat mudah terbakar, dan ini membahayakan kapal yang menggunakannya. Krisis bahan bakar ini akhirnya memaksa Angkatan Laut Jepang mengerahkan segala kekuatan dalam Pertempuran Teluk Leyte, Filipina, pada tahun 1944.
Di kemudian hari Laksamana Soemu Toyoda, Kepala Staf Umum Angkatan Laut Jepang, mengatakan, “Sekiranya kita kalah dalam operasi Filipina, dan sekalipun armada kita tinggalkan di sana, jalur pelayaran ke selatan akan putus sehingga jika armada itu harus kembali ke perairan Jepang tidak bakal bisa karena pasokan minyak nihil. Jika tetap di perairan selatan, armada itu tidak bisa mendapatkan pasokan amunisi dan persenjataan. Tidak masuk akal mempertahankan armada itu dengan bayaran lepasnya Filipina. Inilah alasan perintah saya.”
Namun, paceklik bahan bakar juga menjegal armada Jepang menuju medan tempur laut Filipina. Angkatan Laut Jepang mengalami kesulitan mengkonsentrasikan kekuatan yang datang dari berbagai pangkalan di sebuah titik. Dua kapal perang Jepang tidak pernah sampai ke pertempuran itu karena kehabisan bahan bakar. Kapal-kapal lainnya tiba sangat terlambat karena berlayar perlahan untuk menghemat bahan bakar. Pada tanggal 25 Oktober 1944 Laksamana Takeo Kurita, Panglima Armada Kedua, sudah siap memasuki Teluk Leyte, dan tidak sulit baginya menghancurkan pasukan penyerbu Jenderal MacArthur yang cuma bersenjata ringan. Tetapi hanya enam puluh empat kilometer sebelum pantai yang hendak diserang Kurita memerintahkan agar berhenti dan berlayar menjauh. Setelah perang, salah seorang laksamana ditanya apa alasan tindakan Kurita itu. “Karena,” jawabnya, “kekurangan bahan bakar.”
Pertempuran tiga hari di Teluk Leyte itu menghasilkan kekalahan telak bagi Jepang. Tiga kapal perang, empat kapal induk, sepuluh kapal penjelajah dan tiga belas kapal perusak tenggelam. Setelah itu angkatan perang Jepang terdesak di semua lini. Pada awal tahun 1945 pasukan Amerika Serikat merebut kembali Manila dan Iwojima. Di Burma serangan pamungkas Inggris menggulung kekuatan Jepang. Pasukan Jepang meninggalkan Balikpapan dan pelabuhan minyak besar lain di Hindia Belanda. Sebagian besar kilang di Jepang sendiri kehabisan minyak. Pada Maret 1945 konvoi terakhir tanker minyak Jepang meninggalkan Singapura. Tidak pernah sampai di Jepang, konvoi itu beristirahat di dasar laut.
Tidak juga mau menyerah, krisis bahan bakar memaksa Jepang bertindak kreatif, walaupun sia-sia. Agar pesawat tempur tetap dapat mengudara, Angkatan Laut melancarkan kampanye fantastis akar cemara. Mengikuti slogan “dua ratus akar cemara mampu menerbangkan pesawat selama satu jam” seluruh rakyat Jepang berbondong-bondong menggali akar cemara. Hasilnya? Hingga perang berakhir tidak ada bukti bahwa minyak akar cemara pernah diujicobakan untuk pesawat. Sedangkan yang buktinya jelas adalah penggundulan hutan lereng gunung. Di negeri kita pun gerakan mencari bahan bakar alternatif ini melekat dalam ingatan orang-orang tua kita, mereka dipaksa tentara Jepang menanam jarak kepyar untuk dijadikan minyak pelumas kendaraan tempur Jepang.
Disisihkan sisi heroisme dan mitosnya, kisah Kamikaze adalah bagian dari lingkaran setan minyak untuk pertahanan dan pertahanan untuk minyak. Sempoyongan di akhir perang karena minyak, Jepang terjun ke dalam Perang Dunia juga karena minyak.
Lingkaran setan ini menunjukkan betapa minyak sudah menjadi soal hidup mati bangsa-bangsa. Siapa yang paling menguasai minyak, berarti mempunyai pertahanan (dan kemampun agresi) paling kuat. Kelakuan negara-negara imperialis sama saja dalam hal ini, atau setidak-tidaknya begitu kalau punya kesempatan. Misalnya Jerman. Pada zaman Bismarck, Jerman sudah merencanakan pembangunan jalur kereta api Berlin-Baghdad. Pada masa Perang Dunia I, menurut Fritz Fischer dalam buku Griff nach der Weltmacht, “Orang Jerman di Ukraina memburu tujuan ekonomi dan politik. Mereka ingin menjaga kepemilikan permanen jalan paling aman ke Mesopotamia dan Arabia, juga ke ladang minyak Baku dan Persia, yang mereka peroleh dengan menginvasi Ukraina ... Seorang pembuat kebijakan melangkah lebih jauh dengan mempostulatkan bahwa, ‘selama Inggris menghalangi ekspansi Jerman ke Barat, perhatian utama Jerman harus diarahkan via Ukraina dan Krimea ke India’.”
Sejauh unholy trinity keserakahan, pengkhianatan dan penyuapan masih ada, dan selama minyak masih menjadi bahan bakar utama peradaban, lingkaran setan minyak dan pertahanan tidak akan terpenggal. Yang paling menguasai minyak saat ini tentu Amerika Serikat, dan sudah jelas negara inilah yang militernya terkuat di dunia.
Semua imperialis tentu mengusung cita-cita mulia, sekurang-kurangnya menurut mereka sendiri. Jika kolonialisme Eropa dahulu menggembar-gemborkan wejangan Kipling White Man’s Burden, yang diartikulasikan lebih tegas oleh Jerman sebagai supremasi bangsa Arya (kulit putih), dan Jepang yang ikut dalam pesta menjarah belakangan pun merasa dirinya sebagai bangsa Asia paling istimewa yang akan membebaskan bangsa-bangsa Asia lain dan menggabungkan semuanya ke dalam Imperium Asia Raya, kini yang paling mulia adalah bangsa paling demokratis di dunia. Mengenai hal ini Chomsky mengatakan, “Walaupun Amerika Serikat disebut sebagai negara demokrasi, sebagian besar rakyatnya tidak dapat berpartisipasi secara berarti dalam proses pembuatan keputusan di dalam negeri mereka sendiri.” Akan tetapi siapalah Chomsky dan lagi pula, kata Joseph Goebbels, “massa itu lamban dan malas, ingatan mereka lemah, mereka hanya bereaksi pada ribuan kali pengulangan ide paling sederhana.”
Abad kedua puluh adalah abad minyak, abad kita sekarang sering disebut abad informasi, tetapi saya menyepakati pandangan bahwa dalam waktu yang lama ke depan minyak masih menjadi bahan rebutan. Dengan demikian lingkaran setan minyak dan pertahanan masih panjang umur berikut segala pola persaingan dan malapetakanya bagi bangsa-bangsa lemah. Ungkapan Aldous Huxley berikut ini menarik untuk direnungkan, “Daya tarik sejarah dan pelajaran enigmatiknya terletak pada fakta bahwa, dari zaman ke zaman, tidak ada yang berubah tetapi toh semuanya sangat berbeda.”

Tulisan ini pernah dimuat di situs Global Forum Institute Jakarta


No comments:

Post a Comment