Remaja tanggung berseragam militer itu berdiri takzim
menjalani sebuah ritual. Ritual untuk melepasnya terbang dengan pesawat Zero
menyongsong kapal musuh. Bocah itu akhirnya mati. Bukan karena pesawatnya
melabrak kapal induk Amerika Serikat, dia tidak sempat menerbangkan pesawat
karena dibunuh orang Barat non-kombatan yang mengail di keruhnya situasi Cina
menjelang Jepang menyerah. Adegan menjelang film Empire of the Sun tamat ini
menggambarkan dengan sangat pas semangat dan ketangguhan orang Jepang bahkan
ketika peluang menang tidak ada. Semangat dan nyali luar biasa yang dimiliki
para pilot kamikaze dalam berkorban untuk anak turun Dewi Matahari merupakan
perwujudan sempurna semangat Jepang, yang bisa sangat tradisional sekaligus
sangat modern. Serbuan nekat dengan pesawat-pesawat modern yang menciutkan
nyali lawan itu diberi nama mitologis Kamikaze, angin dewa yang pernah
memporak-porandakan kapal-kapal bala tentara Kubilai Khan ketika hendak
menyerbu Jepang.
Di luar mentalitas sulit dimengerti yang dibungkus
mitologi itu adalah perhitungan rasional sangat cermat. Dibutuhkan delapan
pesawat pembom dan enam belas pesawat pemburu untuk menenggelamkan sebuah kapal
induk atau kapal perang Amerika Serikat, dengan metode kamikaze hanya
diperlukan satu atau tiga pesawat. Efektivitas dan efisiensi skuadron kamikaze
bisa diandalkan bukan hanya karena pesawat yang menghantam dek pasti
menimbulkan kerusakan, tetapi juga jatah bahan bakar dikurangi setengah sebab
pilot kamikaze tidak diperintahkan pulang ke pangkalan. Pengurangan jatah bahan
bakar ini sangat signifikan bagi angkatan perang Jepang yang dililit krisis
bahan bakar. Krisis inilah yang mencetuskan ide pembentukan skuadron bunuh diri
Kamikaze.
Untuk memperoleh minyak, yang dikuasai negara-negara
imperialis Barat, mula-mula Jepang menyerbu Balikpapan pada Januari 1942, pada
Maret 1942 seluruh fasilitas minyak di Hindia Belanda dikuasai. Jepang masuk ke
kancah perang dengan cadangan minyak untuk dua tahun, selepas itu minyak Hindia
Belanda itulah yang diandalkan Jepang. Ketergantungan ini nantinya menjadi
kelemahan Jepang, karena jalur pelayaran Jepang sangat rentan dari serangan
kapal selam. Anggapan keliru petinggi militer Jepang bahwa awak kapal selam
Amerika Serikat lembek karena berasal dari masyarakat yang biasa hidup enak
berakibat fatal bagi pasokan bahan bakar angkatan laut Jepang. Ternyata tangguh
menghadapi kerasnya hidup di bawah permukaan air, personel kapal selam Amerika
Serikat berhasil melemahkan dan akhirnya memutus jalur pelayaran vital antara
Jepang dan Zona Selatan (termasuk negeri kita ini ketika masih bernama Hindia
Belanda). Konfrontasi berkepanjangan yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran
Maru (merujuk pada istilah Jepang untuk kapal niaga) menguras cadangan bahan
bakar mesin perang Jepang, sampai-sampai Jepang terpaksa menggunakan minyak
mentah Kalimantan untuk menjalankan kapal. Marcus Samuel, yang pada tahun 1895
memperoleh konsesi di Kutai, tidak membual ketika mengatakan bahwa minyak
mentah di daerah itu bermutu tinggi. Tetapi minyak mentah tersebut sangat mudah
terbakar, dan ini membahayakan kapal yang menggunakannya. Krisis bahan bakar
ini akhirnya memaksa Angkatan Laut Jepang mengerahkan segala kekuatan dalam
Pertempuran Teluk Leyte, Filipina, pada tahun 1944.
Di kemudian hari Laksamana Soemu Toyoda, Kepala Staf Umum
Angkatan Laut Jepang, mengatakan, “Sekiranya kita kalah dalam operasi Filipina,
dan sekalipun armada kita tinggalkan di sana, jalur pelayaran ke selatan akan
putus sehingga jika armada itu harus kembali ke perairan Jepang tidak bakal
bisa karena pasokan minyak nihil. Jika tetap di perairan selatan, armada itu
tidak bisa mendapatkan pasokan amunisi dan persenjataan. Tidak masuk akal
mempertahankan armada itu dengan bayaran lepasnya Filipina. Inilah alasan
perintah saya.”
Namun, paceklik bahan bakar juga menjegal armada Jepang
menuju medan tempur laut Filipina. Angkatan Laut Jepang mengalami kesulitan
mengkonsentrasikan kekuatan yang datang dari berbagai pangkalan di sebuah
titik. Dua kapal perang Jepang tidak pernah sampai ke pertempuran itu karena
kehabisan bahan bakar. Kapal-kapal lainnya tiba sangat terlambat karena
berlayar perlahan untuk menghemat bahan bakar. Pada tanggal 25 Oktober 1944
Laksamana Takeo Kurita, Panglima Armada Kedua, sudah siap memasuki Teluk Leyte,
dan tidak sulit baginya menghancurkan pasukan penyerbu Jenderal MacArthur yang
cuma bersenjata ringan. Tetapi hanya enam puluh empat kilometer sebelum pantai
yang hendak diserang Kurita memerintahkan agar berhenti dan berlayar menjauh.
Setelah perang, salah seorang laksamana ditanya apa alasan tindakan Kurita itu.
“Karena,” jawabnya, “kekurangan bahan bakar.”
Pertempuran tiga hari di Teluk Leyte itu menghasilkan
kekalahan telak bagi Jepang. Tiga kapal perang, empat kapal induk, sepuluh
kapal penjelajah dan tiga belas kapal perusak tenggelam. Setelah itu angkatan
perang Jepang terdesak di semua lini. Pada awal tahun 1945 pasukan Amerika
Serikat merebut kembali Manila dan Iwojima. Di Burma serangan pamungkas Inggris
menggulung kekuatan Jepang. Pasukan Jepang meninggalkan Balikpapan dan
pelabuhan minyak besar lain di Hindia Belanda. Sebagian besar kilang di Jepang
sendiri kehabisan minyak. Pada Maret 1945 konvoi terakhir tanker minyak Jepang
meninggalkan Singapura. Tidak pernah sampai di Jepang, konvoi itu beristirahat
di dasar laut.
Tidak juga mau menyerah, krisis bahan bakar memaksa
Jepang bertindak kreatif, walaupun sia-sia. Agar pesawat tempur tetap dapat
mengudara, Angkatan Laut melancarkan kampanye fantastis akar cemara. Mengikuti
slogan “dua ratus akar cemara mampu menerbangkan pesawat selama satu jam”
seluruh rakyat Jepang berbondong-bondong menggali akar cemara. Hasilnya? Hingga
perang berakhir tidak ada bukti bahwa minyak akar cemara pernah diujicobakan
untuk pesawat. Sedangkan yang buktinya jelas adalah penggundulan hutan lereng
gunung. Di negeri kita pun gerakan mencari bahan bakar alternatif ini melekat
dalam ingatan orang-orang tua kita, mereka dipaksa tentara Jepang menanam jarak
kepyar untuk dijadikan minyak pelumas kendaraan tempur Jepang.
Disisihkan sisi heroisme dan mitosnya, kisah Kamikaze
adalah bagian dari lingkaran setan minyak untuk pertahanan dan pertahanan untuk
minyak. Sempoyongan di akhir perang karena minyak, Jepang terjun ke dalam
Perang Dunia juga karena minyak.
Lingkaran setan ini menunjukkan betapa minyak sudah
menjadi soal hidup mati bangsa-bangsa. Siapa yang paling menguasai minyak,
berarti mempunyai pertahanan (dan kemampun agresi) paling kuat. Kelakuan
negara-negara imperialis sama saja dalam hal ini, atau setidak-tidaknya begitu
kalau punya kesempatan. Misalnya Jerman. Pada zaman Bismarck, Jerman sudah
merencanakan pembangunan jalur kereta api Berlin-Baghdad. Pada masa Perang
Dunia I, menurut Fritz Fischer dalam buku Griff nach der Weltmacht, “Orang
Jerman di Ukraina memburu tujuan ekonomi dan politik. Mereka ingin menjaga
kepemilikan permanen jalan paling aman ke Mesopotamia dan Arabia, juga ke
ladang minyak Baku dan Persia, yang mereka peroleh dengan menginvasi Ukraina
... Seorang pembuat kebijakan melangkah lebih jauh dengan mempostulatkan bahwa,
‘selama Inggris menghalangi ekspansi Jerman ke Barat, perhatian utama Jerman
harus diarahkan via Ukraina dan Krimea ke India’.”
Sejauh unholy
trinity keserakahan, pengkhianatan dan penyuapan masih ada, dan selama
minyak masih menjadi bahan bakar utama peradaban, lingkaran setan minyak dan
pertahanan tidak akan terpenggal. Yang paling menguasai minyak saat ini tentu
Amerika Serikat, dan sudah jelas negara inilah yang militernya terkuat di
dunia.
Semua imperialis tentu mengusung cita-cita mulia,
sekurang-kurangnya menurut mereka sendiri. Jika kolonialisme Eropa dahulu
menggembar-gemborkan wejangan Kipling White
Man’s Burden, yang diartikulasikan lebih tegas oleh Jerman sebagai
supremasi bangsa Arya (kulit putih), dan Jepang yang ikut dalam pesta menjarah
belakangan pun merasa dirinya sebagai bangsa Asia paling istimewa yang akan
membebaskan bangsa-bangsa Asia lain dan menggabungkan semuanya ke dalam
Imperium Asia Raya, kini yang paling mulia adalah bangsa paling demokratis di
dunia. Mengenai hal ini Chomsky mengatakan, “Walaupun Amerika Serikat disebut
sebagai negara demokrasi, sebagian besar rakyatnya tidak dapat berpartisipasi
secara berarti dalam proses pembuatan keputusan di dalam negeri mereka
sendiri.” Akan tetapi siapalah Chomsky dan lagi pula, kata Joseph Goebbels,
“massa itu lamban dan malas, ingatan mereka lemah, mereka hanya bereaksi pada
ribuan kali pengulangan ide paling sederhana.”
Abad kedua puluh adalah abad minyak, abad kita sekarang
sering disebut abad informasi, tetapi saya menyepakati pandangan bahwa dalam
waktu yang lama ke depan minyak masih menjadi bahan rebutan. Dengan demikian
lingkaran setan minyak dan pertahanan masih panjang umur berikut segala pola
persaingan dan malapetakanya bagi bangsa-bangsa lemah. Ungkapan Aldous Huxley
berikut ini menarik untuk direnungkan, “Daya tarik sejarah dan pelajaran
enigmatiknya terletak pada fakta bahwa, dari zaman ke zaman, tidak ada yang
berubah tetapi toh semuanya sangat berbeda.”
Tulisan ini pernah dimuat di situs Global Forum Institute Jakarta
Tulisan ini pernah dimuat di situs Global Forum Institute Jakarta
Sumber gambar: http://wwaipatpresentation.weebly.com/weapons.html
No comments:
Post a Comment