Memenuhi permintaan anak-anak, sebelum pulang ke Yogyakarta saya singgah di Gramedia
Matraman untuk mencarikan komik pesanan mereka. Yang sulung minta Naruto,
adiknya minta Ninja Go. Kata teman saya sebetulnya ada yang jual komik bekas di
Blok M. Menarik juga sebetulnya karena saya bisa membelikan banyak jika
harganya lebih murah, tetapi yang paling dekat dengan Stasiun Senen ya toko
buku mahal itulah.
Membahagiakan betul bahwa permintaan mereka ketika
ayahnya pergi adalah dibawakan oleh-oleh buku. Mungkin usaha saya menumbuhkan
minat baca anak-anak saya belum sukses benar, karena mereka lebih banyak
menonton film daripada membaca. Tentu saya tak mungkin memaksakan kepada mereka
agar mengikuti ayahnya yang dahulu lebih banyak membaca Album Cerita Ternama,
Bobo, Eppo, Kuncung dan sesekali Tempo milik ayah saya jika kehabisan bacaan
daripada menonton televisi. Sebab ketika seumuran mereka orang tua saya belum
punya televisi sehingga jika ingin menonton, Kum-Kum misalnya, saya harus
menumpang di rumah tetangga. Tentu saja jam menonton saya sangat sebentar
karenanya. Lagi pula yang ditonton anak-anak saya adalah film yang diputar di
DVD player. Saya dan istri bersepakat untuk tak punya antena. Beberapa kali
anak-anak protes terhadap pilihan kami ini. Malang bagi mereka, kami bukan penganut, apalagi
penganjur, demokrasi, tetapi penganut anjuran Turn Off Your Television. Lagi pula ada banyak pilihan dalam hidup mereka
selain televisi seperti mandi di kali, mencari ikan, bersepeda usai sekolah full day, menonton film dari DVD player
atau membaca buku anak-anak.
Adus kali |
Sebetulnya saya tidak begitu suka komik Jepang model
Naruto yang gambarnya begitu “dunia entah” dan ceritanya susah dimengerti. Tetapi
ini mungkin soal zaman. Aneh dan tidak bagus menurut saya tetapi bisa saja sangat
menarik bagi anak-anak zaman sekarang. Bahkan saya tahu orang sepantaran saya yang
menggemari Naruto hingga akun twiternya di-follow anak-anak muda yang suka
Naruto. Kalau sudah begini, ini urusan selera. Karena menghormati selera anak
saya, walaupun ada komentar negatif tentang Naruto, saya belikan saja sambil
berharap nanti mereka akan menyukai komik-komik Eropa (tepatnya Prancis) seperti
ayahnya.
Komik Naruto |
Komik Jepang yang pernah saya gemari adalah Chinmi Kungfu Boy Legend. Walaupun sarat unsur hiburannya, sebetulnya komik Chinmi kaya
akan nasihat dan renungan filosofis yang memotivasi pembacanya (utamanya
anak-anak) tanpa terkesan menggurui. Yang sangat mengesankan adalah cerita tentang
dua ekor jangkrik yang ditaruh di kotak dengan tutup dan satunya di kotak tanpa
tutup. Ketika dibuka tutupnya, jangkrik di kotak bertutup hanya bisa melompat
setinggi tutup kotaknya. Sekalipun sudah dibuka. Sedangkan jangkrik di kotak
tanpa tutup mampu melompat jauh lebih tinggi. Gambar-gambar itu sudah menjelaskan
banyak tentang potensi yang berkembang lepas tanpa batas yang biasanya diciptakan
oleh diri sendiri tanpa sadar. Saya belikan saja Chinmi sekalipun anak-anak
saya tidak minta. Mereka bahkan baru tahu ada komik semacam itu setelah saya
sampai di rumah.
Chinmi |
Lalu saya berusaha mencari komik-komik yang saya baca
dahulu seperti Kapten Kid. Kapten Kid Si Penguasa Laut adalah seorang bajak
laut yang selalu berburu harta karun. Namun, kisah petualangannya penuh dengan selingan
persoalan yang sangat manusiawi. Dia mudah jatuh cinta karena sejak kecil tidak
pernah merasakan kasih ibu. Kendati jagoan, Kid ketakutan juga ketika terjebak
di rumah J. Stuart sang Penjaga Lautan, sheriff Bay City yang sudah pensiun dan
membuka toko bunga. Padahal anak gadis sang sheriff adalah sahabat Kid. Tentu
saja, Kid adalah pembela keadilan walaupun dia bajak laut. Tokoh bajak laut
rekaan Hiroshi Uno (orang Jepang pastinya) ternyata wilayah edarnya sampai di
Karibia, kawasan yang juga merupakan wilayah kekuasaan Barbarosa si Janggut
Merah Penguasa Tujuh Lautan (Barbarosa, Baba, dan si Kaki Tiga menjadi bahan
lelucon yang menjadi bulan-bulanan Asterix dan Obelix dalam petualangan mereka. Sekadar catatan, terjemahan Asterix oleh Ny. Raharti Bambang boleh dibilang oke, hanya saja terjemahan guyonan nama-nama seperti Maestria Yopielatula, Kopajix, Butoijix pastilah membingungkan bagi anak-anak sekarang).
Latar cerita Kapten Kid tidak jelas di zaman kapan tetapi dari perlengkapan
pakaian karakter-karakternya dan kapal layar si kapten pastilah tidak lebih dari
abad ke-16. Tetapi gambaran lainnya lebih cocok dengan zaman kita. Ramuan
campur aduk yang sebetulnya rumit – dambaan akan keadilan yang diwakili oleh
bajak laut perkasa yang melawan kesewanangan penegak hukum diselipi kisah tentang
kelembutan dan keriangan manusiawi – ini ternyata cukup digemari. Setidak-tidaknya
saat saya kuliah dulu. Sekarang komik itu sudah tidak saya jumpai.
Komik zaman dahulu yang masih saya lihat di rak toko buku itu adalah Doraemon, komik Jepang dengan
latar belakang kisah orang kebanyakan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Doraemon dan Nobita sama sekali bukan superhero Jepang. Doraemon adalah kucing
ajaib dari abad 22 sedangkan Nobita adalah bocah Jepang kebanyakan. Petualangan
mereka tak pernah lepas dari sahabat-sahabat di dekat rumah mereka. Seperti umumnya
bocah polos yang punya keinginan dan kenakalan anak-anak Nobita sering menyalahgunakan
keampuhan benda-benda ajaib dari kantong Doraemon untuk gagah-gagahan di depan
teman-temannya karena Nobita penakut. Sering pula Nobita menggunakan cara-cara “licik”
untuk menarik perhatian Sizuka. Intinya, sekalipun penuh khayalan namun tingkah
polah karakter-karakter dalam Doraemon tetaplah kelakuan anak-anak. Banyak petuah
bagus terselip dalam kebandelan dan kejenakaan mereka. Tetapi saya tidak membelikan
anak-anak saya Doraemon karena mereka tampaknya sudah bosan menonton DVD
Doraemon.
Ternyata, saya baru tahu setelah dibantu mencari oleh
petugas toko, Ninja Go itu bukan buku melainkan permainan lego. Tentu tidak saya
beli, apalagi harganya bisa untuk membeli tiga komik. Saya ganti saja dengan Detective
Conan. Selain karena dahulu saya rajin menonton serial Conan di Indosiar, komik
ini juga kegemaran teman saya Ayu Prima Aksari yang menyarankan saya agar
membelikan anak-anak saya edisi sekian dan sekian. Kecintaan Ayu pada Conan
mengagumkan bagi saya, hingga kini dia masih mengoleksi komik dan berbagai marchendise Conan, juga aktif dalam pertemuan
para Conaners. Berbeda versi, saya pernah juga mengagumi komik Eropa seperti Lucky
Luke, Agen 212, dan tentunya Asterix. Tetapi komik-komik Eropa tampaknya sudah langka
di toko buku, walaupun mudah dibeli secara online. Tawaran online itu tak
menarik karena komik dijual dalam format PDF yang disimpan dalam DVD. Komik adalah kertas bagi
saya. Sementara ini, biarlah saya bawakan komik-komik Jepang sebagai buah
tangan untuk anak-anak saya.
Catatan:
Uraian tentang Chinmi, Kapten Kid, dan Doraemon di atas saya salin (dengan sedikit
tambahan dan melewatkan bagian-bagian tertentu yang menurut saya kelewat sinis
namun centil agar tampak sok humanis liberal intelektuil) dari tulisan saya 20 tahun
silam di Kalam Edisi 7, 1996, bisa diakses di http://salihara.org/sites/default/files/kalam07.pdf
No comments:
Post a Comment