Pages

Thursday, February 11, 2016

Komik antar-generasi



Memenuhi permintaan anak-anak, sebelum pulang ke Yogyakarta saya singgah di Gramedia Matraman untuk mencarikan komik pesanan mereka. Yang sulung minta Naruto, adiknya minta Ninja Go. Kata teman saya sebetulnya ada yang jual komik bekas di Blok M. Menarik juga sebetulnya karena saya bisa membelikan banyak jika harganya lebih murah, tetapi yang paling dekat dengan Stasiun Senen ya toko buku mahal itulah.
Membahagiakan betul bahwa permintaan mereka ketika ayahnya pergi adalah dibawakan oleh-oleh buku. Mungkin usaha saya menumbuhkan minat baca anak-anak saya belum sukses benar, karena mereka lebih banyak menonton film daripada membaca. Tentu saya tak mungkin memaksakan kepada mereka agar mengikuti ayahnya yang dahulu lebih banyak membaca Album Cerita Ternama, Bobo, Eppo, Kuncung dan sesekali Tempo milik ayah saya jika kehabisan bacaan daripada menonton televisi. Sebab ketika seumuran mereka orang tua saya belum punya televisi sehingga jika ingin menonton, Kum-Kum misalnya, saya harus menumpang di rumah tetangga. Tentu saja jam menonton saya sangat sebentar karenanya. Lagi pula yang ditonton anak-anak saya adalah film yang diputar di DVD player. Saya dan istri bersepakat untuk tak punya antena. Beberapa kali anak-anak protes terhadap pilihan kami ini. Malang bagi mereka, kami bukan penganut, apalagi penganjur, demokrasi, tetapi penganut anjuran Turn Off Your Television. Lagi pula ada banyak pilihan dalam hidup mereka selain televisi seperti mandi di kali, mencari ikan, bersepeda usai sekolah full day, menonton film dari DVD player atau membaca buku anak-anak.
Anak dan televisi
Adus kali

Sebetulnya saya tidak begitu suka komik Jepang model Naruto yang gambarnya begitu “dunia entah” dan ceritanya susah dimengerti. Tetapi ini mungkin soal zaman. Aneh dan tidak bagus menurut saya tetapi bisa saja sangat menarik bagi anak-anak zaman sekarang. Bahkan saya tahu orang sepantaran saya yang menggemari Naruto hingga akun twiternya di-follow anak-anak muda yang suka Naruto. Kalau sudah begini, ini urusan selera. Karena menghormati selera anak saya, walaupun ada komentar negatif tentang Naruto, saya belikan saja sambil berharap nanti mereka akan menyukai komik-komik Eropa (tepatnya Prancis) seperti ayahnya.
Komik dan anak-anak kita
Komik Naruto

Komik Jepang yang pernah saya gemari adalah Chinmi Kungfu Boy Legend. Walaupun sarat unsur hiburannya, sebetulnya komik Chinmi kaya akan nasihat dan renungan filosofis yang memotivasi pembacanya (utamanya anak-anak) tanpa terkesan menggurui. Yang sangat mengesankan adalah cerita tentang dua ekor jangkrik yang ditaruh di kotak dengan tutup dan satunya di kotak tanpa tutup. Ketika dibuka tutupnya, jangkrik di kotak bertutup hanya bisa melompat setinggi tutup kotaknya. Sekalipun sudah dibuka. Sedangkan jangkrik di kotak tanpa tutup mampu melompat jauh lebih tinggi. Gambar-gambar itu sudah menjelaskan banyak tentang potensi yang berkembang lepas tanpa batas yang biasanya diciptakan oleh diri sendiri tanpa sadar. Saya belikan saja Chinmi sekalipun anak-anak saya tidak minta. Mereka bahkan baru tahu ada komik semacam itu setelah saya sampai di rumah.
Komik dan anak-anak kita
Chinmi

Lalu saya berusaha mencari komik-komik yang saya baca dahulu seperti Kapten Kid. Kapten Kid Si Penguasa Laut adalah seorang bajak laut yang selalu berburu harta karun. Namun, kisah petualangannya penuh dengan selingan persoalan yang sangat manusiawi. Dia mudah jatuh cinta karena sejak kecil tidak pernah merasakan kasih ibu. Kendati jagoan, Kid ketakutan juga ketika terjebak di rumah J. Stuart sang Penjaga Lautan, sheriff Bay City yang sudah pensiun dan membuka toko bunga. Padahal anak gadis sang sheriff adalah sahabat Kid. Tentu saja, Kid adalah pembela keadilan walaupun dia bajak laut. Tokoh bajak laut rekaan Hiroshi Uno (orang Jepang pastinya) ternyata wilayah edarnya sampai di Karibia, kawasan yang juga merupakan wilayah kekuasaan Barbarosa si Janggut Merah Penguasa Tujuh Lautan (Barbarosa, Baba, dan si Kaki Tiga menjadi bahan lelucon yang menjadi bulan-bulanan Asterix dan Obelix dalam petualangan mereka. Sekadar catatan, terjemahan Asterix oleh Ny. Raharti Bambang boleh dibilang oke, hanya saja terjemahan guyonan nama-nama seperti Maestria Yopielatula, Kopajix, Butoijix pastilah membingungkan bagi anak-anak sekarang). Latar cerita Kapten Kid tidak jelas di zaman kapan tetapi dari perlengkapan pakaian karakter-karakternya dan kapal layar si kapten pastilah tidak lebih dari abad ke-16. Tetapi gambaran lainnya lebih cocok dengan zaman kita. Ramuan campur aduk yang sebetulnya rumit – dambaan akan keadilan yang diwakili oleh bajak laut perkasa yang melawan kesewanangan penegak hukum diselipi kisah tentang kelembutan dan keriangan manusiawi – ini ternyata cukup digemari. Setidak-tidaknya saat saya kuliah dulu. Sekarang komik itu sudah tidak saya jumpai.
Komik zaman dahulu yang masih saya lihat di rak  toko buku itu adalah Doraemon, komik Jepang dengan latar belakang kisah orang kebanyakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Doraemon dan Nobita sama sekali bukan superhero Jepang. Doraemon adalah kucing ajaib dari abad 22 sedangkan Nobita adalah bocah Jepang kebanyakan. Petualangan mereka tak pernah lepas dari sahabat-sahabat di dekat rumah mereka. Seperti umumnya bocah polos yang punya keinginan dan kenakalan anak-anak Nobita sering menyalahgunakan keampuhan benda-benda ajaib dari kantong Doraemon untuk gagah-gagahan di depan teman-temannya karena Nobita penakut. Sering pula Nobita menggunakan cara-cara “licik” untuk menarik perhatian Sizuka. Intinya, sekalipun penuh khayalan namun tingkah polah karakter-karakter dalam Doraemon tetaplah kelakuan anak-anak. Banyak petuah bagus terselip dalam kebandelan dan kejenakaan mereka. Tetapi saya tidak membelikan anak-anak saya Doraemon karena mereka tampaknya sudah bosan menonton DVD Doraemon.
Ternyata, saya baru tahu setelah dibantu mencari oleh petugas toko, Ninja Go itu bukan buku melainkan permainan lego. Tentu tidak saya beli, apalagi harganya bisa untuk membeli tiga komik. Saya ganti saja dengan Detective Conan. Selain karena dahulu saya rajin menonton serial Conan di Indosiar, komik ini juga kegemaran teman saya Ayu Prima Aksari yang menyarankan saya agar membelikan anak-anak saya edisi sekian dan sekian. Kecintaan Ayu pada Conan mengagumkan bagi saya, hingga kini dia masih mengoleksi komik dan berbagai marchendise Conan, juga aktif dalam pertemuan para Conaners. Berbeda versi, saya pernah juga mengagumi komik Eropa seperti Lucky Luke, Agen 212, dan tentunya Asterix. Tetapi komik-komik Eropa tampaknya sudah langka di toko buku, walaupun mudah dibeli secara online. Tawaran online itu tak menarik karena komik dijual dalam format PDF yang disimpan dalam DVD. Komik adalah kertas bagi saya. Sementara ini, biarlah saya bawakan komik-komik Jepang sebagai buah tangan untuk anak-anak saya.

Catatan:
Uraian tentang Chinmi, Kapten Kid, dan Doraemon di atas saya salin (dengan sedikit tambahan dan melewatkan bagian-bagian tertentu yang menurut saya kelewat sinis namun centil agar tampak sok humanis liberal intelektuil) dari tulisan saya 20 tahun silam di Kalam Edisi 7, 1996, bisa diakses di http://salihara.org/sites/default/files/kalam07.pdf

No comments:

Post a Comment