Pemilik akun @restyies mengatakan, “#AhKamu ... tsk kopi
maut Jessica Kemala Wongso kok gk disingkat JKW aja ...
Benar, dahulu media massa kita tertib menyingkat nama
tersangka pelaku maupun korban kejahatan dengan inisial, selain kelaziman
menutup mata pada gambar tersangka maupun korban kejahatan. Tetapi bukan
pergeseran penulisan nama tersangka menjadi inisial itu benar yang menjadi perhatian
saya. Sejak pemerintahan Presiden Yudhoyono saya sering bertanya-tanya, “Apa kekuatan
inisial hingga Susilo Bambang Yudhoyono lebih populer dengan sebutan SBY?”
Pertanyaan ini membuat saya mengingat-ingat siapa dulu
sapaan Presiden Yudhoyono sewaktu menjabat sebagai Komandan Korem Pamungkas Yogyakarta.
Yang bisa saya ingat adalah ucapan salah seorang teman berikut, “Jangan
main-main sama Bambang, Komandan Korem itu, dia membaca buku-buku Huntington.” Tahun
berganti dan muncullah nama SBY. Penyebutan nama presiden dengan inisial ini
sejauh yang bisa saya ingat baru ada pada zaman SBY. Tentu dalam konteks Indonesia,
karena di Amerika Serikat ada JFK.
Lucu juga, dahulu banyak ejekan terhadap Orde Baru yang dituding
gemar membikin singkatan seperti AMD (ABRI Masuk Desa), UDKP, LKMD, Harkitnas,
Hardiknas hingga Sesdalopbang. Kendati demikian nama Sesdalopbang (Sekretaris
Pengendali Operasional Pembangunan) tetap disebut Solihin GP, bukan SGP. Orde Baru tumbang, tapi akronim dan singkatan semakin
marak saja. Terkait inisial nama presiden dan wakil presiden, misalnya SBY –
JK, tampaknya itu merupakan strategi pemilu agar nama capres dan cawapres lebih
mudah diingat pubik. Paling tidak sejak 2004 pemenang pemilihan umum presiden adalah
para calon yang menggunakan inisial nama. Termasuk penguasa sekarang. Padahal
kalau dilihat nama penguasa sekarang, mestinya inisialnya JW. Tetapi mungkin inisial
tiga huruf lebih sakti dari yang dua huruf. Kuncinya mungkin terletak pada tiga
suku kata, hingga dalam surat resmi terkait kapsul waktu atau apa itu nama dalam
tanda tangan bukan nama resmi melainkan nama panggilan yang terdiri atas tiga
suku kata. Maka dari itu kurang sukseslah Surya Paloh ketika coba dipopulerkan dengan
SP. Cuma dua suku kata dalam pelafalannya.
Itu tadi cuma gathuk
entuk. Tapi soal mudah diingat itu terbukti ampuh seperti sering dikatakan
Noam Chomsky ketika membahas slogan “Support
Our Troop”. Cukup gaungkan “Dukung Pasukan Kita”, tapi jangan diuraikan
mendukung untuk apa. Jika dijabarkan bisa runyam urusan. Mungkin karena massa
itu lamban dan malas, ingatan mereka lemah, mereka hanya bereaksi pada ribuan
kali pengulangan ide paling sederhana. Begitu kata Joseph Goebbels.
No comments:
Post a Comment