Pages

Tuesday, February 23, 2016

Mother Tongue



Mother tongue: n. 1. one’s native language, 2. a language from which another language derives (Merriam-Webster’s 11th Collegiate Dictionary); one’ native language (Oxford Advanced Learnes’s Dictionary of Current English); the language that a person has grown up speaking from early childhood (ini yang muncul ketika mengklik mother tongue di kolom pencarian Google); the first language that you learn when you are a baby, rather than a language learned at school or as an adult (Cambridge Dictionaries); bahasa ibu (Kamus Inggris – Indonesia, John M. Echols & Hassan Shadily yang legendaris itu).
Ada yang bilang mother tongue lebih pas diterjemahkan menjadi “lidah ibu”, saya merasa agak gimana gitu dengan upaya penggusuran pengertian “bahasa ibu” yang sudah mapan tersebut. Kalau mau asal terkesan eksotik, karena pengertian mother tongue sebagai a language from which another language derives diterjemahkan menjadi bahasa induk, kenapa tidak sekalian saja “bahasa ibu” kita ubah menjadi “lidah induk”? Entah ya, terdengar ada kegenitan yang tidak perlu di situ. Maka sungguh gembira saya ketika Heru Prasetya, teman saya yang menggeluti kata-kata sebagai penyunting, mengatakan bahwa “lidah ibu” malah terkesan seperti selera makanan. Pandangan yang sungguh tepat saya rasa. Pandangan yang langsung mengingatkan pada lidah orang Ngawi, seperti saya, yang kesulitan menerima makanan serba manis ala Yogyakarta, sungguhpun sudah lama tinggal di Yogyakarta. Bukan soal makanan Yogya enak atau tidak, ini soal kebiasaan lidah sewaktu kanak-kanak di lingkungan mana terbiasa makan pada fase awal hidup. Dan, katanya, selera tidak bisa diperdebatkan.
Di Jalan Damai saya sering melihat papan nama rumah makan “Lidah Jawa”. Tapi ya Jawa yang mana dulu? Hahaha. Bahkan untuk orang Jawa Mataraman tetapi masuk wilayah Jawa Timur seperti saya ini kalau membeli gudeg selalu bilang, “Mboten ngangge niku” sambil menunjuk olahan nangka muda. Katanya, disebut gudeg ya karena nangka muda yang saya tak mau memakannya itu. Dulu saya pernah diajak makan di Gudeg Yu Djum yang harganya mahal untuk saya yang masih mahasiswa waktu itu. Cuma saya makan ayamnya. Dan sampai hari ini, gudeg paling enak, mungkin karena berkompromi dengan lidah para pendatang, adalah yang dijual di perempatan Kentungan, di seberang Cemara Tujuh (dahulu itu nama supermarket, tidak tahu jadi apa sekarang dan apa namanya, tiap kali lewat situ saya lewat ya lewat saja). Gudeg paling lezat di dunia menurut saya ini hanya dijual pagi hari, sekitar setengah enam sampai habis sekitar jam setengah delapan.
Persoalan lidah juga yang membuat saya bertahun-tahun tidak makan lotek selama di Yogya (dalam hal ini Sleman disebut Yogya juga, UGM itu sebagian terbesarnya masuk wilayah Sleman, mana ada yang menyebut Universitas Gadjah Mada Sleman? :D) hingga saya menemukan (ada yang bilang penggunaan menemukan di sini keliru, merujuk pada discover yang kata bendanya discovery berarti penemuan, mestinya menjumpai. Kayak kita ini jajahan Inggris saja dulunya) Warung Lotek & Gado-Gado Bu Hanik di Jalan Kapten Haryadi, beberapa puluh meter sebelah barat Merapi View (sekarang berubah menjadi Pesona Merapi). Itu pun, awal-awal membeli dulu, saya bilang, "Mbak, ampun manis-manis nggih (Mbak, jangan terlalu manis ya).
Mother tongue is bahasa ibu
Lotek & Gado-Gado Bu Hanik, Jl. Kapten Haryadi, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta

Di luar lucu-lucuan ini, sebetulnya definisi mother tongue menimbulkan pertanyaan lain. Persoalan ini cukup serius sekiranya anjuran otoritas penerjemahan Uni Eropa kepada para penerjemah agar hanya menerjemahkan ke bahasa ibu mereka harus dipatuhi. Merujuk pada pengertian “one’s native language” dan “the language that a person has grown up speaking from early childhood” serta “the first language that you learn when you are a baby, rather than a language learned at school or as an adult” maka seharusnya saya hanya boleh menerjemahkan dari bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan lain-lain ke dalam bahasa Jawa, sebab saya mempelajari dan bisa berbahasa Indonesia di sekolah. Masalahnya, selain pasar yang hampir tidak ada, saya lebih mengerti bahasa Indonesia ketimbang bahasa Jawa. Untunglah ada ujaran, “Rules are made to be broken”. Apalagi cuma anjuran
bahasa ibu
wkwkwkwkwk


No comments:

Post a Comment