Mother tongue: n. 1. one’s native language, 2. a language
from which another language derives (Merriam-Webster’s 11th Collegiate
Dictionary); one’ native language (Oxford Advanced Learnes’s Dictionary of
Current English); the language that a person has grown up speaking from early
childhood (ini yang muncul ketika mengklik mother tongue di kolom pencarian
Google); the first language that you learn when you are a baby, rather than a
language learned at school or as an adult (Cambridge Dictionaries); bahasa ibu (Kamus Inggris – Indonesia,
John M. Echols & Hassan Shadily yang legendaris itu).
Ada yang bilang mother tongue lebih pas diterjemahkan
menjadi “lidah ibu”, saya merasa agak gimana gitu dengan upaya penggusuran
pengertian “bahasa ibu” yang sudah mapan tersebut. Kalau mau asal terkesan
eksotik, karena pengertian mother tongue
sebagai a language from which another
language derives diterjemahkan menjadi bahasa induk, kenapa tidak sekalian
saja “bahasa ibu” kita ubah menjadi “lidah induk”? Entah ya, terdengar ada
kegenitan yang tidak perlu di situ. Maka sungguh gembira saya ketika Heru
Prasetya, teman saya yang menggeluti kata-kata sebagai penyunting, mengatakan
bahwa “lidah ibu” malah terkesan seperti selera makanan. Pandangan yang sungguh
tepat saya rasa. Pandangan yang langsung mengingatkan pada lidah orang Ngawi,
seperti saya, yang kesulitan menerima makanan serba manis ala Yogyakarta,
sungguhpun sudah lama tinggal di Yogyakarta. Bukan soal makanan Yogya enak atau
tidak, ini soal kebiasaan lidah sewaktu kanak-kanak di lingkungan mana terbiasa
makan pada fase awal hidup. Dan, katanya, selera tidak bisa diperdebatkan.
Di Jalan Damai saya sering melihat papan nama rumah makan
“Lidah Jawa”. Tapi ya Jawa yang mana dulu? Hahaha. Bahkan untuk orang Jawa
Mataraman tetapi masuk wilayah Jawa Timur seperti saya ini kalau membeli gudeg selalu
bilang, “Mboten ngangge niku” sambil
menunjuk olahan nangka muda. Katanya, disebut gudeg ya karena nangka muda yang saya
tak mau memakannya itu. Dulu saya pernah diajak makan di Gudeg Yu Djum yang harganya
mahal untuk saya yang masih mahasiswa waktu itu. Cuma saya makan ayamnya. Dan
sampai hari ini, gudeg paling enak, mungkin karena berkompromi dengan lidah
para pendatang, adalah yang dijual di perempatan Kentungan, di seberang Cemara
Tujuh (dahulu itu nama supermarket, tidak tahu jadi apa sekarang dan apa
namanya, tiap kali lewat situ saya lewat ya lewat saja). Gudeg paling lezat di
dunia menurut saya ini hanya dijual pagi hari, sekitar setengah enam sampai
habis sekitar jam setengah delapan.
Persoalan lidah juga yang membuat saya bertahun-tahun tidak
makan lotek selama di Yogya (dalam hal ini Sleman disebut Yogya juga, UGM itu sebagian
terbesarnya masuk wilayah Sleman, mana ada yang menyebut Universitas Gadjah
Mada Sleman? :D) hingga saya menemukan (ada yang bilang penggunaan menemukan di
sini keliru, merujuk pada discover yang
kata bendanya discovery berarti
penemuan, mestinya menjumpai. Kayak kita ini jajahan Inggris saja dulunya) Warung
Lotek & Gado-Gado Bu Hanik di Jalan Kapten Haryadi, beberapa puluh meter
sebelah barat Merapi View (sekarang berubah menjadi Pesona Merapi). Itu pun, awal-awal membeli dulu, saya bilang, "Mbak, ampun manis-manis nggih (Mbak, jangan terlalu manis ya).
Lotek & Gado-Gado Bu Hanik, Jl. Kapten Haryadi, Ngaglik, Sleman, DI Yogyakarta |
Di luar lucu-lucuan ini, sebetulnya definisi mother tongue menimbulkan pertanyaan lain.
Persoalan ini cukup serius sekiranya anjuran otoritas penerjemahan Uni Eropa kepada
para penerjemah agar hanya menerjemahkan ke bahasa ibu mereka harus dipatuhi. Merujuk pada
pengertian “one’s native language”
dan “the language that a person has grown
up speaking from early childhood” serta “the first language that you learn when you are a baby, rather than a
language learned at school or as an adult” maka seharusnya saya hanya boleh
menerjemahkan dari bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan lain-lain ke dalam bahasa
Jawa, sebab saya mempelajari dan bisa berbahasa Indonesia di sekolah. Masalahnya, selain
pasar yang hampir tidak ada, saya lebih mengerti bahasa Indonesia ketimbang bahasa
Jawa. Untunglah ada ujaran, “Rules are made to be broken”. Apalagi cuma anjuran
wkwkwkwkwk |
No comments:
Post a Comment