“Break in ... Kontek .... Arjuna Mencari Cinta di sini,
apakah Kleting Kuning monitor?”
Terdengar bising melengking sejenak, disusul suara
kemresek elektronik sebentar, suara merdu perempuan menyahut, “Roger, siapa
yang panggil-panggil saya punya nama. Di sini Kleting Kuning, gitu, ganti.”
Si Arjuna Mencari Cinta, atau nama karangan serupa, yang
sebenarnya bernama Wagiran itu tampak sumringah
mendapat sambutan dari perempuan dengan call
sign Kleting Kuning. Lalu bercakap-cakaplah mereka berdua melalui kotak
hitam sementara rekan-rekan se-RT mereka menunggu giliran ceramah, sekadar
hai-hai, atau menggombal. Betul, cuma satu RT. Sebab bukan HT yang mereka pakai
melainkan interkom yang dihubungkan dengan kawat bendrat dari rumah ke rumah.
Satu pesawat (begitu mereka menyebut perangkat interkom ala radio 2 meteran
itu) bisa dirubung banyak orang yang menunggu giliran untuk “cuap-cuap”.
Saya hanya menonton waktu itu. Buat apa untuk mengobrol
dengan Cak Ji saja harus mengantre begitu kalau setiap hari saya membeli rokok
di warungnya? Meski waktu itu belum pernah mendengar ungkapan “paradoks
modernitas: teknologi menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh” saya
merasa lucu saja melihat tingkah polah orang-orang yang berbicara dengan
tetangga mereka layaknya mengobrol dengan orang dari kota lain. Pakai acara
kenalan dulu. Hahaha. Kreativitas kita sering kali menakjubkan. Perangkat yang
lazimnya dipakai untuk berkomunikasi antar-ruang di perkantoran itu disulap
bentuknya menjadi seperti HT dan dipakai bersosialisasi via bentangan kawat
kuningan.
kegunaan interkom pada asalnya |
Di luar keganjilan orang-orang se-RT yang saling
menanyakan kabar dan mengobrol akrab lewat peralatan elektronik sebetulnya
perilaku mereka persis dengan para pengguna radio komunikasi 2 meteran atau 80
meteran. Bisa jadi mereka merasa terhibur karena bisa bergaya layaknya para
pengguna radio komunikasi yang umumnya orang berduit, lengkap dengan kode-kode
10 2, dikopi, correct, Bravo Papa, Indian Bravo, Sierra Mike Papa, dan
sebangsanya. Bisa juga karena mereka mendapati kenyamanan dalam anonimitas buatan, lengkap dengan
cinta-cintaan di balik nama samaran.
Perilaku pengguna radio komunikasi sama saja dalam hal
anonimitas. Walaupun sudah tahu nama sebenarnya, tetap saja mereka saling sapa
dengan call sign seperti Wilma,
Arjuna, Boing dan nama-nama lain yang tak lazim disandang orang Ngawi. Bahkan
dalam keseharian mereka saling memanggil dengan nama udara. Saya yang hanya
sekali-sekali menggunakan HT di rumah pun menyapa Tri Retno Wijayati dengan
Arin, padahal dari SD saya memanggil dia Wiwit :D Kisah cinta dengan nama
samaran pun bermekaran. Cerita tentang perselingkuhan dengan teman nge-break juga ada. Dulu saya belum punya
pikiran soal anonimitas, waktu itu saya berpikir bahwa orang kecanduan ngebrik
karena tertarik dengan suara lawan bicara. Mirip-miriplah dengan guyonan tentang
penyiar radio yang kecantikan suaranya berbanding terbalik dengan orangnya.
Mungkin suara berperan sebagai daya tarik, tetapi
tampaknya bukan itu benar alasan maraknya afeksi melalui teknologi komunikasi
mengingat MiRC yang cuma mengandalkan ketikan huruf di layar. ICQ juga begitu.
Bahkan tawaran fasilitas audio dan webcam Yahoo Messenger pun sering tak
dimanfaatkan orang. Mungkin anonimitas itulah daya tariknya, di mana orang bisa
melepas sisi lain dirinya tanpa takut diketahui jati dirinya.
Kenyamanan bersembunyi di balik kekaburan identitas itu
semakin mudah diperoleh dengan adanya Twitter. Twitter menawarkan kekaburan
identitas total. Siapa saja bisa menjadi apa saja. Dengan modal dua atau tiga
hp untuk googling, orang bisa menjadi super pintar dan bisa mengomentari isu
apa saja. Setan saja bisa menyaru sebagai pendakwah. Orang yang di dunia nyata
bukan siapa-siapa bisa menangguk kasih sayang yang cuma bisa dibayangkan dalam
kehidupan sehari-harinya yang begitu-begitu saja. Media sosial adalah tempat
persembunyian terbaik dan melampiaskan hasrat yang hanya bisa dipendam di dunia
nyata. Meski bukan begitu tujuan penciptaannya. Tetapi bukankah ada anekdot
bahwa kita orang Indonesia paling jago mengadopsi sisi-sisi tak bermutu dari
kemajuan teknologi?
Teknologi bolehlah melesat secepat kilat, perilaku kita
(tentu saja saya termasuk dalam kata kita di sini) tak juga beringsut membaik.
Aneka perangkap |
sumber gambar:
No comments:
Post a Comment