Pages

Tuesday, February 16, 2016

Anonimitas Media Sosial



“Break in ... Kontek .... Arjuna Mencari Cinta di sini, apakah Kleting Kuning monitor?”
Terdengar bising melengking sejenak, disusul suara kemresek elektronik sebentar, suara merdu perempuan menyahut, “Roger, siapa yang panggil-panggil saya punya nama. Di sini Kleting Kuning, gitu, ganti.”
Si Arjuna Mencari Cinta, atau nama karangan serupa, yang sebenarnya bernama Wagiran itu tampak sumringah mendapat sambutan dari perempuan dengan call sign Kleting Kuning. Lalu bercakap-cakaplah mereka berdua melalui kotak hitam sementara rekan-rekan se-RT mereka menunggu giliran ceramah, sekadar hai-hai, atau menggombal. Betul, cuma satu RT. Sebab bukan HT yang mereka pakai melainkan interkom yang dihubungkan dengan kawat bendrat dari rumah ke rumah. Satu pesawat (begitu mereka menyebut perangkat interkom ala radio 2 meteran itu) bisa dirubung banyak orang yang menunggu giliran untuk “cuap-cuap”.
Saya hanya menonton waktu itu. Buat apa untuk mengobrol dengan Cak Ji saja harus mengantre begitu kalau setiap hari saya membeli rokok di warungnya? Meski waktu itu belum pernah mendengar ungkapan “paradoks modernitas: teknologi menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh” saya merasa lucu saja melihat tingkah polah orang-orang yang berbicara dengan tetangga mereka layaknya mengobrol dengan orang dari kota lain. Pakai acara kenalan dulu. Hahaha. Kreativitas kita sering kali menakjubkan. Perangkat yang lazimnya dipakai untuk berkomunikasi antar-ruang di perkantoran itu disulap bentuknya menjadi seperti HT dan dipakai bersosialisasi via bentangan kawat kuningan.

anonimitas media sosial
kegunaan interkom pada asalnya

Di luar keganjilan orang-orang se-RT yang saling menanyakan kabar dan mengobrol akrab lewat peralatan elektronik sebetulnya perilaku mereka persis dengan para pengguna radio komunikasi 2 meteran atau 80 meteran. Bisa jadi mereka merasa terhibur karena bisa bergaya layaknya para pengguna radio komunikasi yang umumnya orang berduit, lengkap dengan kode-kode 10 2, dikopi, correct, Bravo Papa, Indian Bravo, Sierra Mike Papa, dan sebangsanya. Bisa juga karena mereka mendapati kenyamanan dalam anonimitas buatan, lengkap dengan cinta-cintaan di balik nama samaran.
Perilaku pengguna radio komunikasi sama saja dalam hal anonimitas. Walaupun sudah tahu nama sebenarnya, tetap saja mereka saling sapa dengan call sign seperti Wilma, Arjuna, Boing dan nama-nama lain yang tak lazim disandang orang Ngawi. Bahkan dalam keseharian mereka saling memanggil dengan nama udara. Saya yang hanya sekali-sekali menggunakan HT di rumah pun menyapa Tri Retno Wijayati dengan Arin, padahal dari SD saya memanggil dia Wiwit :D Kisah cinta dengan nama samaran pun bermekaran. Cerita tentang perselingkuhan dengan teman nge-break juga ada. Dulu saya belum punya pikiran soal anonimitas, waktu itu saya berpikir bahwa orang kecanduan ngebrik karena tertarik dengan suara lawan bicara. Mirip-miriplah dengan guyonan tentang penyiar radio yang kecantikan suaranya berbanding terbalik dengan orangnya.
Mungkin suara berperan sebagai daya tarik, tetapi tampaknya bukan itu benar alasan maraknya afeksi melalui teknologi komunikasi mengingat MiRC yang cuma mengandalkan ketikan huruf di layar. ICQ juga begitu. Bahkan tawaran fasilitas audio dan webcam Yahoo Messenger pun sering tak dimanfaatkan orang. Mungkin anonimitas itulah daya tariknya, di mana orang bisa melepas sisi lain dirinya tanpa takut diketahui jati dirinya.
Kenyamanan bersembunyi di balik kekaburan identitas itu semakin mudah diperoleh dengan adanya Twitter. Twitter menawarkan kekaburan identitas total. Siapa saja bisa menjadi apa saja. Dengan modal dua atau tiga hp untuk googling, orang bisa menjadi super pintar dan bisa mengomentari isu apa saja. Setan saja bisa menyaru sebagai pendakwah. Orang yang di dunia nyata bukan siapa-siapa bisa menangguk kasih sayang yang cuma bisa dibayangkan dalam kehidupan sehari-harinya yang begitu-begitu saja. Media sosial adalah tempat persembunyian terbaik dan melampiaskan hasrat yang hanya bisa dipendam di dunia nyata. Meski bukan begitu tujuan penciptaannya. Tetapi bukankah ada anekdot bahwa kita orang Indonesia paling jago mengadopsi sisi-sisi tak bermutu dari kemajuan teknologi?
Teknologi bolehlah melesat secepat kilat, perilaku kita (tentu saja saya termasuk dalam kata kita di sini) tak juga beringsut membaik.

anonimitas media sosial
Aneka perangkap


sumber gambar:


No comments:

Post a Comment