Annemarie Schimmel, penulis buku-buku Sufi terkenal itu,
di antara yang pernah saya baca adalah Rahasia Wajah Suci Ilahi, sering
dianggap memiliki ingatan fotografis. Konon dia bisa mengingat seperti kamera
merekam huruf-huruf di halaman buku yang dibacanya. Kata tulisan-tulisan ilmiah
yang saya baca tidak ada itu yang namanya ingatan fotografis. Saya tidak tahu
mana yang benar. Tetapi sering saya jumpai kisah tentang orang dengan ingatan
luar biasa dengan kemampuan daya rekam melebihi komputer. Misalnya seorang
perempuan tua yang bertugas mengurusi dokumentasi milik badan rahasia Inggris
yang mampu mengenali foto seorang agen musuh dari ratusan ribu foto yang
tersimpan. Perempuan itu memang hanya tokoh fiktif dalam novel Protokol
Keempat, tetapi gaya tutur Frederick Forsyth mengesankan kekaguman sang penulis
pada kemampuan mengingat laksana kamera foto.
Mungkin ingatan fotografis itu tak ada, dan tak perlu
ada. Meski kemampuan mengingat saya tak ada apa-apanya dibandingkan kehebatan
Bu Annemarie Schimmel, ingatan yang saya miliki sudah cukup merepotkan.
Bagaimana lagi kalau ingatan fotografis itu benar-benar ada dan saya
memilikinya? Jika demikian, dalam kasus saya tentu kemampuan itu lebih
merupakan kutukan ketimbang berkah, mengingat pengalaman saya dengan hafalan
dan pemahaman.
Saya bisa membaca dan menulis Al Qur’an bukan karena
belajar dari buku Iqra. Belum ada buku semacam itu saat saya masih kecil.
Kemampuan saya membaca dan menulis Arab datang berkat kebiasaan saya menghafal
surat-surat pendek Juz Amma (dahulu lazim disebut turutan, entah mengapa bisa begitu). Setiap anak mempunyai
kecenderungan sendiri-sendiri. Sebagai anak saya lebih suka menghafal nama-nama
ibu kota sedunia, meski itu tidak diajarkan di sekolah, daripada membaca buku
pelajaran. Kegembiraan menghafal ini saya lakukan setelah selesai belajar mata
pelajaran yang ada di jadwal untuk keesokan hari.
Ingatan kuat itu jugalah yang menolong saya membawa tim
sekolah kami menang cerdas cermat P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila). Malam sebelum lomba, saya hafalkan saja isi buku tanya jawab P 4,
tentu saja tanpa tahu apa uraiannya, apalagi maksudnya. Bahwa kemenangan itu
tak ada artinya karena saya menggagalkan sekolah kami maju ke karesidenan
karena saya tak mau jadi juru bicara sebab ogah duduk jejer dengan teman perempuan
yang tidak saya sukai, itu soal lain yang tak ada urusannya dengan hafalan.
Begitulah, saya kuat di hafalan. Kekuatan yang nantinya terpaksa saya biarkan
mati pelan-pelan karena ucapan dosen Pengantar Ilmu Ekonomi yang kurang lebih
begini bunyinya, “Jadi mahasiswa jangan hafalan, tetapi pertajam pemahaman.
Hafalan itu di sekolah, di perguruan tinggi kalian adalah men of analysis.” Saya mengamini saja pandangan yang tentunya
ilmiah intelekutuil lagi cerdik cendekia itu. Hasilnya: ingatan tajam saya
tumpul, analisis saya tak kunjung tajam. Pendeknya, pendidikan tinggi menghancurkan
kemampuan andalah saya dengan menganggapnya itu kolot, tak mutakhir.
Bagaimanapun juga, hafalan (yang tentunya mensyaratkan
ingatan tajam) yang memulangkan saya ke pengkuan Islam dari upaya sok-sokan
pencarian menjadi agnostik kalau bukan malah ateis. Memang bukan penyebab
utama, tetapi hafalan Surat Luqman ayat 12-19 yang tak lekang oleh apa pun itu
sangat besar pengaruhnya dalam perjalanan pulang saya. Untuk itu saya sampaikan
terima kasih tak terhingga kepada Ustadz Muzayyin. Sekarang saya sering
berpikir, “Baiklah, kalau hafalan itu buruk bagi mahasiswa buat apa pertanyaan
dalam ujian ‘Sebutkan definisi kapal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang?”
Atau ‘Dalam pasal berapa BW terdapat asas Pacta Sun Servanda?” atau lagi, ini
lebih sederhana, “Apa hukum itu?” Dalam ujian yang tak pernah open book apa kiat sukses ujian kalau
bukan hafalan? Bahkan, dalam ujian Pengantar Ilmu Ekonomi ada pertanyaan 'Siapa penulis buku Megatrend 2000?' Lah, di mana kegunaan analisis tajam yang didengung-dengungkan itu? Karena tidak tahu, saya jawab saja Inisisri. Tentu saja salah, wong itu nama personel Swami. Haha.
Bahwa ingatan saya memukau, menurut beberapa orang, tampak dari ingatan saya pada kajadian saat saya menyusul Pak Mo yang bergegas ke Stasiun Paron. Saat itu saya masih tiga tahun. Bahkan ucapan saudara sepupu saya, “Dik Nanang iki jênêngé uyêk-uyêk” sambil menunjukkan ulek-ulek selalu mengundang reaksi, “Kok kamu ingat itu?” dari paman dan bibi saya yang mendengar dialog kami pada paruh awal 1970-an itu. Sampai hari ini saya masih ingat tawa Bu Yul sewaktu saya naik ke atas meja (TK Bayangkari Parakan) dan menyanyi, “Sepasang remaja jatuh cinta, di bawah asuhan dewi asmara ...” Saya sering enggan bertandang ke teman lama karena harus bersusah payah menjelaskan siapa saya sedangkan di mana rumahnya pun saya masih ingat. Bahkan, nama-nama (yang saya kenal dahulu, karena ada sebagian yang memang saya tidak kenal) dalam foto di bawah ini saya masih ingat. Mungkin mereka bahkan tidak tahu kalau saya pernah ada :D
Bahwa ingatan saya memukau, menurut beberapa orang, tampak dari ingatan saya pada kajadian saat saya menyusul Pak Mo yang bergegas ke Stasiun Paron. Saat itu saya masih tiga tahun. Bahkan ucapan saudara sepupu saya, “Dik Nanang iki jênêngé uyêk-uyêk” sambil menunjukkan ulek-ulek selalu mengundang reaksi, “Kok kamu ingat itu?” dari paman dan bibi saya yang mendengar dialog kami pada paruh awal 1970-an itu. Sampai hari ini saya masih ingat tawa Bu Yul sewaktu saya naik ke atas meja (TK Bayangkari Parakan) dan menyanyi, “Sepasang remaja jatuh cinta, di bawah asuhan dewi asmara ...” Saya sering enggan bertandang ke teman lama karena harus bersusah payah menjelaskan siapa saya sedangkan di mana rumahnya pun saya masih ingat. Bahkan, nama-nama (yang saya kenal dahulu, karena ada sebagian yang memang saya tidak kenal) dalam foto di bawah ini saya masih ingat. Mungkin mereka bahkan tidak tahu kalau saya pernah ada :D
Dari kiri ke kanan: Bu Tin, Mustofa, saya tak tahu namanya, dan saya. |
Bahasa. Apa metode selain menghafal sharaf dalam bahasa Arab? Tahu mengapa Allah dalam ilmu nahwu bukan muannas bukan pula mudzakar
itu bagaimana kalau tidak karena hafalan? Bagaimana bisa mengerti konyugasi
kata kerja bahasa Prancis yang semaunya sendiri itu selain hafal dasar-dasarnya?
La Tunisia dan la Libye tetapi le Sudan dan le Maroc itu bagaimana cara
memahaminya? Tak usah jauh-jauh, saksofon dan gramafon karena Inggrisnya saxophone dan gramaphone tetapi telepon walaupun aslinya telephone itu bagaimana menuliskannya dengan benar kalau bukan
karena hafal? Hafal bukan hapal namun napas bukan nafas tentu mudah dibedakan
kalau hafal. Tumpulnya hafalan dan setelah itu pun analisis tak juga tajam
saya ratapi sejadi-jadinya. Menganalisis situasi hukum Indonesia yang sejauh
timur dan barat antara hukum sebagaimana termaktub dalam undang-undang dengan
hukum sebagaimana ia berjalan saja saya tak bisa-bisa hingga malas melakukannya.
Bukannya hafal Al Qur’an dan beberapa ratus ribu hadits, yang tersisa malah
ini: saya ingat hal-hal remeh bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Misalnya,
saya masih ingat siapa pemilik motor AB 5633 CN dan mobil B 1698 DP. Yang
punya, dulu mahasiswi Komunikasi Fisipol UGM, mungkin sudah tidak ingat pelat
nomor tersebut. Apa ini kalau bukan dikutuk ingatan?
No comments:
Post a Comment