Dalam banyak hal tahun 1989 tampak seperti tahun-tahun normal
lainnya: sebuah kapal selam Soviet tenggelam di Norwegia; Lapangan Tiannanmen
di Cina; kecelakaan Exxon Valdez; Salman Rushdie dijatuhi hukuman mati; Jane Fonda,
Mike Tyson, dan Bruce Springsteen bercerai; Gereja Episkopal mengangkat seorang
uskup perempuan; Polandia mengizinkan serikat buruh; Voyager bertolak ke Neptunus; sebuah gempa bumi di San Francisco
meratakan jalan raya; dan Rusia, Amerika Serikat, Prancis serta Inggris melakukan
uji coba nuklir. Tahun yang tak beda
dari tahun-tahun lainnya. Tetapi meningkatnya penggunaan istilah krisis bisa ditentukan dengan cukup
tepat: pada perempat akhir 1989. Dan patut dicurigai karena terlalu berdekatan dengan
runtuhnya Tembok Berlin, tanggal 9 November tahun itu.
Sepertinya ini cuma gathuk
entuk. Sebetulnya tidak. Runtuhnya Tembok Berlin menandai ambruknya
imperium Soviet, juga berakhirnya Perang Dingin yang berlangsung selama setengah
abad di Barat.
Selama lima puluh tahun negara-negara Barat berusaha membuat
warga mereka selalu berada dalam keadaan ketakutan. Ketakutan terhadap pihak
lain. Ketakutan akan pecahnya perang nuklir. Ancaman Komunis. Dan ancaman
kapitalisme bagi mereka yang hidup di negara-negara Komunis. Lalu tiba-tiba,
pada akhir 1989, semuanya bubar. Lenyap. Tamat.
Runtuhnya Tembok Berlin menciptakan kekosongan ketakutan. Alam membenci
kekosongan. Sesuatu harus mengisi kekosongan itu.
Sehingga, pasti akan ada penyebab ketakutan. Penyebab yang
bisa berganti-ganti seiring waktu, tetapi ketakutan selalu menyertai kita.
Abadi selamanya. Sebelum ketakutan terhadap terorisme meraja, orang ketakutan terhadap
lingkungan hidup yang dicemari racun. Sebelum itu yang menakuti adalah ancaman
Komunisme, atau lawan Komunisme di negara-negara Komunis. Penyebab spesifiknya
bisa apa saja, tetapi ketakutan itu langgeng adanya. Ketakutan merasuki masyarakat
dalam segala aspeknya. Tiada hentinya.
Negara harus bisa mengontrol perilaku warga, harus memastikan
agar warga tertib dan patuh senantiasa. Agar mereka taat mengemudi di sisi yang
benar – di kanan di beberapa negara, dan di kiri di sebagian negara yang lain.
Agar mereka membayar pajak. Tentu saja cara terbaik mempertahankan kontrol
sosial adalah dengan menciptakan ketakutan. Dan itu, sekali lagi, bisa apa
saja.
Sumber: Michael Crichton, State of Fear, Avon Books, New York, 2005.
No comments:
Post a Comment