Pages

Wednesday, February 10, 2016

1989




Dalam banyak hal tahun 1989 tampak seperti tahun-tahun normal lainnya: sebuah kapal selam Soviet tenggelam di Norwegia; Lapangan Tiannanmen di Cina; kecelakaan Exxon Valdez; Salman Rushdie dijatuhi hukuman mati; Jane Fonda, Mike Tyson, dan Bruce Springsteen bercerai; Gereja Episkopal mengangkat seorang uskup perempuan; Polandia mengizinkan serikat buruh; Voyager bertolak ke Neptunus; sebuah gempa bumi di San Francisco meratakan jalan raya; dan Rusia, Amerika Serikat, Prancis serta Inggris melakukan uji coba nuklir. Tahun yang tak beda dari tahun-tahun lainnya. Tetapi meningkatnya penggunaan istilah krisis bisa ditentukan dengan cukup tepat: pada perempat akhir 1989. Dan patut dicurigai karena terlalu berdekatan dengan runtuhnya Tembok Berlin, tanggal 9 November tahun itu.
Sepertinya ini cuma gathuk entuk. Sebetulnya tidak. Runtuhnya Tembok Berlin menandai ambruknya imperium Soviet, juga berakhirnya Perang Dingin yang berlangsung selama setengah abad di Barat.
Selama lima puluh tahun negara-negara Barat berusaha membuat warga mereka selalu berada dalam keadaan ketakutan. Ketakutan terhadap pihak lain. Ketakutan akan pecahnya perang nuklir. Ancaman Komunis. Dan ancaman kapitalisme bagi mereka yang hidup di negara-negara Komunis. Lalu tiba-tiba, pada akhir 1989, semuanya bubar. Lenyap. Tamat. Runtuhnya Tembok Berlin menciptakan kekosongan ketakutan. Alam membenci kekosongan. Sesuatu harus mengisi kekosongan itu.
Sehingga, pasti akan ada penyebab ketakutan. Penyebab yang bisa berganti-ganti seiring waktu, tetapi ketakutan selalu menyertai kita. Abadi selamanya. Sebelum ketakutan terhadap terorisme meraja, orang ketakutan terhadap lingkungan hidup yang dicemari racun. Sebelum itu yang menakuti adalah ancaman Komunisme, atau lawan Komunisme di negara-negara Komunis. Penyebab spesifiknya bisa apa saja, tetapi ketakutan itu langgeng adanya. Ketakutan merasuki masyarakat dalam segala aspeknya. Tiada hentinya.
Negara harus bisa mengontrol perilaku warga, harus memastikan agar warga tertib dan patuh senantiasa. Agar mereka taat mengemudi di sisi yang benar – di kanan di beberapa negara, dan di kiri di sebagian negara yang lain. Agar mereka membayar pajak. Tentu saja cara terbaik mempertahankan kontrol sosial adalah dengan menciptakan ketakutan. Dan itu, sekali lagi, bisa apa saja.

Sumber: Michael Crichton, State of Fear, Avon Books, New York, 2005.





No comments:

Post a Comment