Muhammad karya Martin Lings, kata Yusuf Arifin a.k.a
Dalipin, adalah buku terbaik tentang Rasulullah (salallahu ‘alaihi wassalam) yang pernah ditulis dalam bahasa
Inggris. Dikatakan begitu oleh orang yang saya tahu gemar membaca dari dulu
tentu membuat saya ingin membacanya. Apalagi perkataan Yusuf Arifin itu
disampaikan kepada saya oleh AS Laksana yang saya tahu kuat bacaannya. Maka
ketika ada yang menghadiahkan buku itu kepada saya sudah semestinya saya
bergembira. Tetapi tidak.
Entahlah, mungkin kepongahan “uang bisa membeli segalanya”
di balik pemberian buku itu, beserta dua buku how to how to, membuat saya
memutuskan untuk memberikan buku-buku tersebut kepada mereka yang lebih perlu.
Tentang buku Martin Lings itu, nantilah saya beli sendiri, kalau harga segitu
saya masih sangguplah. Adapun mengenai buku how to how to, sejak menertawakan
buku Dale Carnegie ‘Apakah Tuan Ingin Banyak Kawan’ saya tidak berminat membaca
buku-buku model begitu, yang kebanyakan beraroma motivator. Sebetulnya saya
tidak anti anti amat dengan buku how to, sejauh menyangkut masalah teknis
seperti bagaimana menulis dengan baik atau bagaimana cara membuat kapal selam
atau yang semacam itu maulah saya membacanya dengan senang hati.
Rupanya memang ada orang yang kalau tidak mendengki
merasa tidak bermakna hidupnya. Tindakan saya memberikan buku-buku itu
mengundang komentar bahwa saya menghina para penulis buku-buku tersebut. Sudah
begitu masih bilang kasihan penulis-penulis itu karena membuat buku kan tidak
mudah. Menghina? Siapalah saya ini berani-beraninya menghina Pak Abu Bakar Sirajuddin (nama
hijrah almarhum Martin Lings) yang hebat itu? Kadang-kadang memang ada orang
yang sebaiknya diklasifikasikan sebagai tumbuhan saja.
Mudah menulis buku itu. Karena menulis itu mudah. Bahkan
bagi orang seperti Pak Sulak (sapaan anak-anak saya kepada AS Laksana) saya
yakin menulis sama mudahnya dengan menyalakan sebatang rokok. Terlebih di era
Google yang murah hati ini, menurut saya siapa saja bisa menulis hampir apa
saja. Pada dasarnya pekerjaan pokok saya adalah menerjemahkan, dan penerjemah
mutlak harus mempunyai kemampuan menulis, jadi kalau diminta menulis ya itu
perkara mudah. Buku ini misalnya.
Berhala Holocau$t |
Asal datanya ada, mudah menulis buku, cukup menyajikan
data dalam bahasa yang enak, jelas dan mudah dimengerti. Yang penting, bisa
bercerita dengan baik dalam bentuk tulisan. Tentulah saya akan pontang-panting
kalau disuruh mempelajari geologi dan segala yang terkait dengan kebencanaan.
Tetapi karena bahan-bahan sudah disediakan lengkap dengan data pendukung,
buku berikut saya selesaikan tak lebih dari dua pekan.
Mitigasi: Menemukan Kembali Pengetahuan Kebencanaan Kita |
Dua buku di atas saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa
siapa saja bisa menulis hampir apa saja. Bahwa tak banyak yang bisa menulis
bagus, memangnya kenapa? Dari ratusan ribu orang yang bisa membawakan lagu Ave
Maria cuma Nana Mouskouri seorang yang mendulang sanjungan abadi di sana sini. Bahwa
tak banyak penulis yang menghasilkan buku best-seller,
ya karena menulis beda urusannya dengan pemasaran. Pemasaran buku melibatkan
hal-hal ruwet selain tulisan bagus (atau tak bagus). Sampul yang memikat, tata
letak yang menawan saja belum cukup. Ada yang namanya distribusi dan jaringan
toko buku yang sering punya kebijakan tak menguntungkan bagi penerbit. Ruwetlah
kalau dibahas. Yang mau saya katakan hanya: menulis itu mudah. Kalau bisa.
No comments:
Post a Comment