Hanya sosok yang bergegas dalam gelap yang tampak ketika
terdengar teriakan orang-orang memanggil nama saya. Itu saja yang saya ingat.
Maklumlah saya masih tiga tahun saat itu. Baru beberapa tahun kemudian ibu
bercerita bahwa sosok dalam gelap yang saya kejar adalah Pak Mo, pembantu
keluarga kakek saya, yang berangkat duluan ke Stasiun Paron memanggul
barang-barang yang hendak dibawa rombongan kami ke Madiun. Waktu itu kami
(orang tua saya, para paman, bibi, dan saudara-saudara sepupu saya) hendak ke
Madiun untuk menghadiri sebuah acara keluarga. Kepergian saya menyusul Pak Mo
dalam gelap membuat mereka kalang kabut. Dari Paron ke Madiun tidak jauh
sebetulnya, hanya melewati Stasiun Geneng dan Barat. Walaupun hanya merupakan
kota kecil, yang dalam novel Sang Priyayi Umar Kayam disamarkan sebagai
Paliyan, Paron cukup dikenal di kalangan penggemar sastra karena Chairil Anwar
sering turun di Stasiun Paron untuk mengapeli pacarnya yang gadis Ngawi. Di
stasiun ini pulalah pengalaman saya dengan kereta api bermula. Tentu saja saat
itu masih zamannya kereta api uap.
Sejauh yang bisa diingat, saya baru naik kereta api lagi
ketika sudah di sekolah menengah pertama. Meski begitu, hidup saya tak pernah
jauh-jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan kereta api. Saya tumbuh di
Parakan, Temanggung, karena ibu ditempatkan menjadi guru PGA (Pendidikan Guru
Agama) di sana. Di Parakan ada stasiun kereta api mati lengkap dengan rel dan
jembatan kereta apinya. Saya sering bermain-main di stasiun terbengkalai yang
berada di sebelah timur kampung tempat tinggal kami. Jika liburan, saya sering
melihat kereta api melintas tak jauh dari rumah nenek di Paron. Di Paron inilah
saya mengerti bahwa jika sinyal mendongak ke atas berarti akan ada kereta
masuk, jika sinyal masih pada posisi asal maka jika ada kereta datang ia harus
berhenti hingga sinyal diangkat ke atas oleh petugas di stasiun.
Sinyal mekanik kereta api |
Dari cerita
saudara-saudara sepupu saya tahu nama beberapa kereta, terutama Bima. Tetapi
saya tak pernah melihat sepur gedhe
itu, karena katanya lewat Paron sudah malam, sehingga yang sering saya lihat
hanyalah sepur cilik, termasuk dalam
kategori ini kereta api barang. Sering
terdengar anekdot kenapa disebut sepur
gedhe (kereta api besar) dan sepur
cilik (kereta api kecil) jika ukurannya sama dan lewat di rel yang lebarnya
sama. Sepur cilik merujuk pada kereta api kelas tiga yang waktu itu biasanya
terdiri atas rangkaian gerbong penumpang bercampur gerbong barang dan ditarik
lokomotif uap. Dengan kata lain kereta api murah. Sedangkan sepur gedhe merujuk pada kereta sekelas
Bima yang bagi saya punya pesona mistis sebagai kereta mewah yang dinaiki
orang-orang kaya. Begitu yang melekat dalam benak saya waktu itu. Meski
sekarang saya menganggap kereta api Bima sebagai biasa-biasa saja karena saya
sering naik kereta sekelas, saya belum “berhasil” naik kereta legendaris itu
sampai sekarang.
Lokomotif uap |
Sekolah menengah pertama saya tempuh di Solo (yang nama
resminya adalah Surakarta) sehingga saya tidak hanya dekat dengan hal-hal
terkait kereta api tetapi juga sering naik kereta api. Dengan cara mengerikan. Entah
bagaimana mulanya saya menjadi sering pergi ke Yogyakarta dan pulang lagi ke
Solo pada hari yang sama naik kereta api campuran (satu gerbong penumpang dan
banyak gerbong barang dalam satu rangkaian) dengan mencuri-curi melompat di tempat
juru rem di gerbong barang ketika kereta api mulai berjalan pelan-pelan. Pada
masa itu banyak orang, tidak cuma gelandangan, menumpang kereta api gratisan
dengan cara demikian. Saya banyak bertemu dengan pemuda-pemuda menggendong ransel
dan membawa gitar yang bertualang dengan menumpang kereta barang. Kereta barang
murni biasanya menempuh perjalanan jarak jauh. Sedangkan kereta barang campuran
biasanya hanya beroperasi antara dua stasiun besar seperti Madiun – Solo, Solo
– Yogyakarta, atau Solo – Semarang via Gambringan. Pernah sekali saya naik di
lokomotif dalam perjalanan Yogyakarta – Solo Purwosari, pengalaman yang
sedemikian berkesan hingga bertahun-tahun kemudian saya masih hafal urut-urutan
stasiun kereta api dari Stasiun Tugu hingga Purwosari. Saat itu mayoritas
lokomotif penarik sudah bermesin diesel. Hanya sekali saya melihat lokomotif
uap di Stasiun Balapan.
Gerbong barang era 1980-an |
Petualangan saya naik gerbong barang hampir selalu
dimulai dari dan berakhir di Stasiun Purwosari. Stasiun terjauh yang pernah
saya capai dengan cara menumpang kereta api barang adalah Kroya di jalur
selatan dan Stasiun Godong di jalur utara. Hingga hari ini saya masih teringat
betapa dulu saya ingin membeli pecel di Stasiun Kroya dan Stasiun Gambringan
tetapi tak punya uang. Waktu itu saya bertekad akan ke Kroya dan Gambringan
khusus untuk membeli pecel dengan
lauk peyek yang tampaknya sangat enak itu. Sayangnya kereta api bisnis yang
saya tumpangi biasanya sampai di Kroya
sudah malam. Sedangkan kereta eksekutif tak pernah berhenti di Kroya kendati
hari siang. Sedangkan ketika naik kereta api jalur utara saya sering terbangun
ketika sudah sampai Stasiun Solo Jebres. Cita-cita itu mesti saya kubur
dalam-dalam karena sekarang pedagang asongan tak lagi boleh berjualan di dalam
stasiun. “Kegilaan” naik kereta barang ini terakhir saya lakukan ketika duduk
di sekolah menengah atas di Solo juga. Sampai sekarang pun kalau naik kereta
api saya sering terheran-heran dengan kenekatan saya dahulu. Barangkali masa-masa
“menggelandang” itulah yang membuat saya menyimpan cita-cita naik kereta api
Trans Siberia. Mengingat biaya dan kemalasan saya mengurus visa tampaknya hanya
berkereta api keliling Jawa dan India yang masuk akal. Kalau tak tercapai juga,
cukuplah berkereta api di Asia Tenggara
daratan yang saya lakukan tahun lalu menjadi hiburan bagi seorang bocah yang
menunggu kereta api lewat ketika sinyal di Dusun Sukorejo, Paron, Ngawi
mendongak ke atas.
Sumber gambar:
Gerbong barang: http://rel-keretaapi.blogspot.co.id/2008/12/wagon-code.html
Sinyal
No comments:
Post a Comment