Pages

Wednesday, February 3, 2016

Kereta Api Dalam Hidup Saya



Hanya sosok yang bergegas dalam gelap yang tampak ketika terdengar teriakan orang-orang memanggil nama saya. Itu saja yang saya ingat. Maklumlah saya masih tiga tahun saat itu. Baru beberapa tahun kemudian ibu bercerita bahwa sosok dalam gelap yang saya kejar adalah Pak Mo, pembantu keluarga kakek saya, yang berangkat duluan ke Stasiun Paron memanggul barang-barang yang hendak dibawa rombongan kami ke Madiun. Waktu itu kami (orang tua saya, para paman, bibi, dan saudara-saudara sepupu saya) hendak ke Madiun untuk menghadiri sebuah acara keluarga. Kepergian saya menyusul Pak Mo dalam gelap membuat mereka kalang kabut. Dari Paron ke Madiun tidak jauh sebetulnya, hanya melewati Stasiun Geneng dan Barat. Walaupun hanya merupakan kota kecil, yang dalam novel Sang Priyayi Umar Kayam disamarkan sebagai Paliyan, Paron cukup dikenal di kalangan penggemar sastra karena Chairil Anwar sering turun di Stasiun Paron untuk mengapeli pacarnya yang gadis Ngawi. Di stasiun ini pulalah pengalaman saya dengan kereta api bermula. Tentu saja saat itu masih zamannya kereta api uap.
Perjalanan menumpang kereta api barang


Sejauh yang bisa diingat, saya baru naik kereta api lagi ketika sudah di sekolah menengah pertama. Meski begitu, hidup saya tak pernah jauh-jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan kereta api. Saya tumbuh di Parakan, Temanggung, karena ibu ditempatkan menjadi guru PGA (Pendidikan Guru Agama) di sana. Di Parakan ada stasiun kereta api mati lengkap dengan rel dan jembatan kereta apinya. Saya sering bermain-main di stasiun terbengkalai yang berada di sebelah timur kampung tempat tinggal kami. Jika liburan, saya sering melihat kereta api melintas tak jauh dari rumah nenek di Paron. Di Paron inilah saya mengerti bahwa jika sinyal mendongak ke atas berarti akan ada kereta masuk, jika sinyal masih pada posisi asal maka jika ada kereta datang ia harus berhenti hingga sinyal diangkat ke atas oleh petugas di stasiun.
Perjalanan menumpang kereta api barang
Sinyal mekanik kereta api

 Dari cerita saudara-saudara sepupu saya tahu nama beberapa kereta, terutama Bima. Tetapi saya tak pernah melihat sepur gedhe itu, karena katanya lewat Paron sudah malam, sehingga yang sering saya lihat hanyalah sepur cilik, termasuk dalam kategori ini  kereta api barang. Sering terdengar anekdot kenapa disebut sepur gedhe (kereta api besar) dan sepur cilik (kereta api kecil) jika ukurannya sama dan lewat di rel yang lebarnya sama. Sepur cilik merujuk pada kereta api kelas tiga yang waktu itu biasanya terdiri atas rangkaian gerbong penumpang bercampur gerbong barang dan ditarik lokomotif uap. Dengan kata lain kereta api murah. Sedangkan sepur gedhe merujuk pada kereta sekelas Bima yang bagi saya punya pesona mistis sebagai kereta mewah yang dinaiki orang-orang kaya. Begitu yang melekat dalam benak saya waktu itu. Meski sekarang saya menganggap kereta api Bima sebagai biasa-biasa saja karena saya sering naik kereta sekelas, saya belum “berhasil” naik kereta legendaris itu sampai sekarang.
Perjalanan menumpang kereta api barang
Lokomotif uap

Sekolah menengah pertama saya tempuh di Solo (yang nama resminya adalah Surakarta) sehingga saya tidak hanya dekat dengan hal-hal terkait kereta api tetapi juga sering naik kereta api. Dengan cara mengerikan. Entah bagaimana mulanya saya menjadi sering pergi ke Yogyakarta dan pulang lagi ke Solo pada hari yang sama naik kereta api campuran (satu gerbong penumpang dan banyak gerbong barang dalam satu rangkaian) dengan mencuri-curi melompat di tempat juru rem di gerbong barang ketika kereta api mulai berjalan pelan-pelan. Pada masa itu banyak orang, tidak cuma gelandangan, menumpang kereta api gratisan dengan cara demikian. Saya banyak bertemu dengan pemuda-pemuda menggendong ransel dan membawa gitar yang bertualang dengan menumpang kereta barang. Kereta barang murni biasanya menempuh perjalanan jarak jauh. Sedangkan kereta barang campuran biasanya hanya beroperasi antara dua stasiun besar seperti Madiun – Solo, Solo – Yogyakarta, atau Solo – Semarang via Gambringan. Pernah sekali saya naik di lokomotif dalam perjalanan Yogyakarta – Solo Purwosari, pengalaman yang sedemikian berkesan hingga bertahun-tahun kemudian saya masih hafal urut-urutan stasiun kereta api dari Stasiun Tugu hingga Purwosari. Saat itu mayoritas lokomotif penarik sudah bermesin diesel. Hanya sekali saya melihat lokomotif uap di Stasiun Balapan.
Perjalanan menumpang kereta api barang
Gerbong barang era 1980-an

Petualangan saya naik gerbong barang hampir selalu dimulai dari dan berakhir di Stasiun Purwosari. Stasiun terjauh yang pernah saya capai dengan cara menumpang kereta api barang adalah Kroya di jalur selatan dan Stasiun Godong di jalur utara. Hingga hari ini saya masih teringat betapa dulu saya ingin membeli pecel di Stasiun Kroya dan Stasiun Gambringan tetapi tak punya uang. Waktu itu saya bertekad akan ke Kroya dan Gambringan khusus untuk membeli pecel dengan lauk peyek yang tampaknya sangat enak itu. Sayangnya kereta api bisnis yang saya tumpangi biasanya sampai di  Kroya sudah malam. Sedangkan kereta eksekutif tak pernah berhenti di Kroya kendati hari siang. Sedangkan ketika naik kereta api jalur utara saya sering terbangun ketika sudah sampai Stasiun Solo Jebres. Cita-cita itu mesti saya kubur dalam-dalam karena sekarang pedagang asongan tak lagi boleh berjualan di dalam stasiun. “Kegilaan” naik kereta barang ini terakhir saya lakukan ketika duduk di sekolah menengah atas di Solo juga. Sampai sekarang pun kalau naik kereta api saya sering terheran-heran dengan kenekatan saya dahulu. Barangkali masa-masa “menggelandang” itulah yang membuat saya menyimpan cita-cita naik kereta api Trans Siberia. Mengingat biaya dan kemalasan saya mengurus visa tampaknya hanya berkereta api keliling Jawa dan India yang masuk akal. Kalau tak tercapai juga, cukuplah berkereta api di Asia Tenggara daratan yang saya lakukan tahun lalu menjadi hiburan bagi seorang bocah yang menunggu kereta api lewat ketika sinyal di Dusun Sukorejo, Paron, Ngawi mendongak ke atas.


Sumber gambar:
Sinyal





No comments:

Post a Comment