Seorang
menteri Perancis mengatakan, “Atas nama kebebasan kita boleh menertawakan apa
saja.” Dia mengatakan itu menanggapi permintaan kaum Muslimin Perancis kepada
pihak berwenang agar melarang pemuatan ulang karikatur yang menghina Nabi
Muhammad. Atas nama kebebasan pula film The
Da Vinci Code tetap beredar sekalipun dikecam para penganut Katolik.
Seorang menteri perempuan Skandinavia terpaksa meletakkan jabatan karena
menutup sebuah situs sehubungan dengan karikatur Nabi Muhammad. Tentu ini meneguhkan
anggapan yang banyak diyakini bahwa dunia Barat (Eropa Barat dan Amerika
Serikat) menganut budaya yang benar-benar mengagungkan kebebasan berpendapat.
Tetapi persoalannya berbeda ketika yang disinggung adalah “holocaust”.
Menyampaikan pendapat yang menggugat “holocaust” kepada khalayak tentu saja
boleh asalkan siap diseret ke meja hijau atau dianiaya atau, lebih seram lagi,
disudahi hidupnya. Diserang balik lewat tulisan dengan standar sesuka
penyerang, dibunuh karakternya, disudahi kariernya, itu biasa.
Bahkan,
mahasiswa yang lumrahnya, apalagi di Barat, didorong untuk menyelidiki secara
kritis berbagai peristiwa sejarah, dihalangi ketika hendak menerapkan anjuran
itu pada kasus “holokaus”. Mengangkat tema ini, kalau tidak sesui versi resmi
sama saja dengan mencari penyakit.
The Holocaust Industry karangan Norman G. Finkelstein |
Dalam The
Holocaust Industry Profesor Norman Finkelstein mengatakan, “Kajian Holokaus
penuh dengan omong kosong, kalau bukan kebohongan luar biasa ... Rabi Arthur
Hertzberg menuding kedua belah pihak, mencela bahwa ‘ini bukan soal keadilan,
ini soal uang’ ... Belakangan ini, industri Holokaus menjadi alat pemerasan
yang efektif .... Sebagai mantra pemerasan kompensasi Holokaus, ini adalah
perampokan terbesar dalam sejarah manusia .... Kalau setiap orang yang mengaku sebagai
korban selamat itu mengatakan yang sebenarnya, ibu saya biasanya
bertanya-tanya, ‘lalu siapa yang dibunuh Hitler?’” Di Jerman, apa yang ditulis Finkelstein itu
bisa mengundang para hakim pengadilan menjatuhkan vonis sekurang-kurangnya lima
tahun penjara. Sedangkan di Austria penjara dua puluh tahun sudah menanti.
Orang Jerman yang kedapatan menunjukkan sikap mendukung pemikiran Finkelstein
itu pasti ditangkap. Di Perancis, negerinya Liberté, Egalité, Fretrnité
itu, Roger Garaudy dipidana denda 40.000 dolar AS karena menulis buku yang
mempersoalkan Israel. Daftar pemberangusan kebebasan pendapat ini bisa
diperpanjang.
Selain
konsekuensi fisik, mereka yang mempertanyakan “holocaust” akan menuai kecaman
dari para penguasa, diserang dengan sengit oleh para intelektual pengabdi “holocaust”
atau dipermalukan oleh Anti-Defamation League (of B’nai B’irth) di internet.
Jika, meminjam kata-kata Mahmoud Ahmadinejad sebagaimana dikutip website BBC,
“Orang yang menyangkal keberadaan Tuhan, atau para nabi dan agama” tidak jadi
soal karena dilindungi prinsip kebebasan berpendapat, mengapa mempersoalkan
“holocaust”, apalagi sampai menyangkal, bisa berakibat runyam begitu?
Serangan
balik para holocaustmania tidak main-main rupanya, serangan balik blitzkrieg
mereka melibatkan semua divisi yang ada. Senjata yang mereka sandang
bervariasi, jenis pelurunya sama: Anti-Semitisme, Anti-Israel, Anti-Zionis, dan
Naziisme.
“Holocaust”,
istilah yang penggunaannya saja sudah menimbulkan silang pendapat ini sudah
lewat enam puluh tahun silam lebih. Dengan istilah lain seperti genosida,
pembersihan etnis, pembantaian massal atau yang semakna dengan itu sesungguhnya
sejarah kebiadaban manusia atas manusia lain sudah terjadi jauh sebelum Hitler
berkuasa dan lama setelah Hitler menyudahi hidupnya di bunker. Tetapi,
pemusnahan secara sistematis terhadap orang-orang pribumi Amerika tidak
menimbulkan gonjang-ganjing jika ada yang menyangkalnya. Karena bangsa Indian
itu belum dikeluarkan dari rumpun manusia sekalipun berkulit merah dan sejauh
ini belum ada yang menyebut mereka sebagai bison atau kuda, misalnya, agak aneh
juga mereka tidak ngamuk-ngamuk karena kurang diperhatikan dan bahkan sering
digambarkan sebagai biadab dalam banyak film Barat. Anak-anak cucu mereka yang
barangkali tinggal mewarisi seperdelapan darah bangsa hebat itu juga tidak
terdengar segarang Anti-Defamation League berikut para intelektual
penyokongnya. Bangsa-bangsa lebih mutakhir yang tertimpa malapetaka sama dengan
bangsa Indian, misalnya, suku Tutsi di Rwanda, rakyat Kamboja, Vietnam, Bosnia,
Indonesia, sekadar menyebut beberapa saja, rupanya senasib dengan pribumi
Amerika itu. Penderitaan mereka kurang eksotis untuk menyulut perdebatan sengit
berkepanjangan sebagaimana korban “holocaust” memicu perang propaganda.
Barangkali karena orang Yahudi tersebar di mana-mana dan sentimen golongan
mereka tinggi. Tetapi rasanya persoalannya lebih dari sekadar itu. Jadi, apa
sebenarnya yang membuat “holocaust” begitu mirip berhala?
Di negeri
kita pengaruh perdebatan seputar genosida Yahudi itu tidak terlalu terasa. Dan
“holocaust”, setidaknya hingga saat ini, belum menjadi berhala. Berkat Mahmoud Ahmadinejad,
sewakti menjadi presiden Iran, hiruk pikuk itu sampai ke sini. Saya baru
memikirkan sungguh-sungguh kemungkinan versi lain dari tragedi besar abad kedua
puluh itu setelah keriuhan itu pecah. Versi resmi seperti yang diajarkan di
sekolah dahulu saya terima sebagai sesuatu yang memang begitulah adanya. Untuk
tidak mengatakan bahwa saya tidak peduli. Setelah lumayan banyak membaca perang
kata antara kubu exterminationist dan revisionis, barulah saya sadar
bahwa pelajaran tentang genosida Nazi di sekolah dulu berpengaruh kepada saya.
Sekalipun bisa menerima kemungkinan bahwa Buku Harian Anne Frank itu palsu
karena ditulis dengan balpoin, yang belum dibuat pada masa hidupnya, di kepala
saya masih bersemayam gambar menara penjaga di atas pagar kawat berduri yang
menjadi ilsutrasi kisah Anne Frank di majalah yang saya baca saat masih di
bangku SD, bukan Otto Frank yang menulis buku harian atas nama anak gadisnya.
Setelah membaca argumen-argumen kubu revisionis yang banyak sekali itu, tetap
saja di otak saya kata “holocaust” berdampingan tak terpisahkan dengan tentara
SS, bukan korban penyakit atau kelaparan yang mungkin saja orang Gipsi, Slavia,
atau Rusia. Di benak saya hanya ada orang-orang Yahudi yang menjadi korban
kekejaman Nazi, susah sekali memasukkan orang-orang Slavia dan Rusia ke kepala
saya. Apalagi orang-orang Gipsi yang malang itu, bangsa pengembara sejati yang
selalu digambarkan buruk dan terlunta-lunta. Seingat saya yang baik kepada
mereka cuma Tintin.
Di era
media sosial yang oleh pendiri Facebook disebut sebagai era kebebasan hingga
Facebook tidak sudi menutup akun-akun penghina Nabi Muhammad, bebas yang dimaksud
tak berbeda dari pakem yang berlaku sejak dulu: bebas sejauh sejalan dengan kebijakan
kami. Pernah ada seorang pengguna Facebook asal Pakistan mengeluhkan bahwa fan
page yang dibuatnya ditutup hanya dalam hitungan hari sejak ditayangkan. Fan
page Hitler. Kebebasan? Yang jelas, silang sengketa soal holocaust, yang juga disebut
sho’ah oleh para aktivis zionisme,
masih terus memakan korban.
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment