The Eagle Soars Alone adalah slogan motor besar terkenal
bikinan Amerika Harley Davidson yang menimbulkan kesan, bagi saya, pengendaranya
adalah pria jantan yang mengembara seorang diri dengan memacu sepeda motornya
di aspal membelah gurun dengan latar belakang bukit-bukit batuan aneh seperti
yang sering tampak di komik Hiawata.
Ini yang saya tangkap dari bunyi slogan itu hingga pengetahuan saya tentang
Hell Angels mengoyak gambaran tentang pengelana ala Lucky Luke itu. Perilaku
tak elegan Hell Angels belakangan bercampur kuat dengan citra para pengguna motor
besar itu di negeri kita. Setidak-tidaknya dalam hal bersikap seenak perut
sendiri dan menang-menangan.
Lampu pengatur lalu lintas menyala merah di perempatan
UPN Yogyakarta pada sebuah siang. Saya sedang berhenti menunggu lampu berubah hijau
ketika terdengar raungan sirene polisi meminta jalan. Otomatis para pengguna
jalan menepi memberi jalan seperti yang ditanamkan sejak kecil untuk mengutamakan
sirene yang dibunyikan petugas kepolisian, ambulans dan kereta jenazah (begitu
nama resminya, walaupun wujudnya mobil). Lampu masih merah ketika polisi voorijder
melesat membelah kerumunan pengendara yang tertahan lampu merah. Betapa
geramnya saya ketika mendapati di belakang polisi bersepeda motor besar melaju kencang
beberapa Harley Davidson di jalan yang khusus diperuntukkan bagi mobil. Kita
terbiasa diajarkan untuk menghormati sirene karena keadaan darurat yang
membutuhkan jalan. Lha ini di mana daruratnya? Cuma gerombolan bocah-bocah tua
kaya yang melanggar lalu lintas dengan pengawalan polisi lalu lintas. Jalan
selapang itu pun belum cukup rupanya bagi mereka, salah seorang pengendara Harley masih berusaha menyuruh sebuah mobil
lebih menepi.
Perilaku pongah kelompok-kelompok Harley Davidson, yang
sering disebut moge, itu sudah
kondang di mana-mana. Sebetulnya bukan cuma Harley Davidson, ada merk lain
seperti BMW, tetapi kuda besi bikinan Amerika itulah yang terpatri dalam
ingatan banyak orang ketika berbicara tentang kecongkakan di jalan raya.
Belakangan perilaku mau menang sendiri ini ditiru oleh klub-klub motor lebih
kecil sekelas Kawasaki Ninja, Vixion, bahkan RX King. Enteng saja mereka
membunyikan sirene yang bukan hak mereka. Bergerombol kencang memenuhi jalan
memaksa pengendara dari arah berlewanan memberi ruang lebih lapang melebihi
marka. Saya tak tahu apakah makin besar sepeda motor mendorong sikap makin
congkak, tetapi jelas perilaku barbar tak pernah saya lihat pada rombongan touring Honda 70 (pitung), Honda CB,
Honda Astra, dan kelompok-kelompok Vespa yang tampaknya menganut paham makin
gembel makin keren. Saya senang-senang saja berpapasan dan kadang beriringan
dengan mereka ketika bepergian jauh dengan sepeda motor.
Istirahat sejenak di tepi Waduk Gebyar, Jambeyan, Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah |
Kendati lebih sering ke mana-mana sendirian bersepeda
motor, saya tak pernah berminat menempeli motor saya dengan stiker The Eagle
Soars Alone, karena dari dulu motor saya selalu berjenis bebek. Elang Melambung
Sendirian tampaknya melibatkan harga sepeda motor yang mahalnya minta maaf dan
kecentilan susah dimengerti seperti mengangkut sepeda motor ke Bali dengan truk
dan rombongan pengendaranya naik pesawat kelas satu. Sedangkan saya pengendara
bebek sering bepergian jauh yang dalam perjalanan kerap berdoa jangan
sering-sering bertemu tukang tambal ban. Haha. Perjalanan saya mengelilingi
Gunung Lawu lewat Karang Pandan, Tawang Mangu, Sarangan, Jogorogo, Ngrambe,
Sine, lalu pulang ke Yogyakarta lewat Sragen, Solo, Kartasura dan Klaten sering
saya lakukan dengan Yamaha Alfa bikinan tahun 1991. Petualangan sendiri ke Bali
berangkat lewat pesisir utara Jawa dan pulang lewat pesisir selatannya seorang
diri saya lakukan dengan Yamaha Force One Z. Di samping itu pilihan saya untuk
pergi sendirian tidak beraroma filosofis seperti mencari makna hidup atau
menghayati hidup dalam kebebasan, tetapi karena saya orangnya angin-anginan,
niat awal mau ke Janti sampainya di Trenggalek. Dari Trenggalek, mengendarai
Yamaha Champ waktu itu, bukannya langsung pulang ke Yogyakarta saya malah
bertandang ke teman saya di Boyolali dan melanjutkan perjalanan ke Pati lalu
Semarang. Lagi pula dua kecelakaan parah saya alami ketika berboncengan. Pada
tahun 1994 bertabrakan dengan Chevrolet di jalan raya yang menghubungan Bledug
Kuwu dan Kota Purwodadi dan 1998 jatuh di perempatan Gemblegan saya tidak
sedang berkendara sendirian.
Dibilang hobi juga susah, karena saya tidak pernah
mempersiapkan perjalanan secara khusus seperti yang dilakukan orang-orang yang
mau touring. Misalnya, sering, sangat
sering malah, hanya karena teringat pemandangan Gunung Sumbing dari Kretek
(Jembatan) Galeh saya bergegas mengenakan jaket, menyalakan mesin Kawasaki Kaze
ZX 130 dan tak sampai dua jam kemudian sudah minum kopi yang disuguhkan teman
saya di Parakan Wetan. Kadang-kadang saya melakukan perjalanan jauh dengan
sepeda motor karena malas naik bus,
misalnya ke Ngawi atau pulang ke Yogyakarta ketika tinggal di Jakarta dahulu.
Di Tugu Pembantaian Tentara Pelajar tepi Sungai Progo, Temanggung |
Singgah di Tempurejo, Banyubiru, Widodaren, Ngawi, Jawa Timur |
Banyak hal manusiawi yang sering saya temui ketika memacu
Bebek Ninja saya sendirian jarak jauh. Suatu malam saya melaju di daerah Brebes
menuju Yogyakarta dari Jakarta. Perjalanan bersepeda motor ternyata ringan
ketika banyak temannya meski kita tidak kenal, misalnya saat mudik lebaran.
Saat itu Juni 2012, jauh dari Lebaran. Motor berpelat jauh dari arah Jakarta
yang mendahului saya hanya motor Yamaha Vega pelat G yang ditumpangi
berboncengan. Di jembatan yang sedang diperbaiki, saya kesulitan hendak
mendahului sebuah truk sementara dari arah berlawanan terlihat sorot kendaraan
melaju. Sopir truk di samping saya melambatkan truknya dan membunyikan klakson
memberi isyarat agar saya mendahului. Sebagai tanda terima kasih saya
membunyikan klakson pendek satu kali. Pak sopir itu membalas dengan klakson
senada. Mungkin dia membatin, “Orang ini gila, pelat AD masih berapa ratus
kilometer lagi sampai tujuan.” Masih saya temui sopan santun di perjalanan di
kalangan sopir truk, tidak di kalangan pengemudi mobil pribadi yang sering
enggan, atau tak tahu etiket, mengganti lampu jarak jauh dengan lampu jarak dekat
ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Zaman berubah. Dan perilaku kita tidak
otomatis berubah menjadi lebih baik.
Di Batang, paginya, saya berhenti di warung di tepi jalan
kecil yang memintas ke Sukorejo tanpa lewat Weleri. Kagum saya dengan warung
yang menyediakan nasi pecel bungkus dengan harga wajar meski tahu saya bukan
orang setempat. Dua bungkus nasi pecel,
dua atau tiga tempe dan kopi saset segelas, hanya Rp5.500. Entah saya akan
sempat singgah lagi atau tidak ke warung itu. Sekarang sudah mikir seribu kali
kalau mau naik motor Yogyakarta – Jakarta. Faktor U tampaknya :D
Hening di ruas jalan Tawangmangu - Sarangan |
Di umur yang tidak muda lagi ini saya masih menyimpan
keinginan naik sepeda motor sendirian ke Lombok lewat pesisir selatan Jawa,
pesisir selatan Bali, dan pulang lewat pesisir utara kedua pulau itu. Yah, sebagai semacam perjalanan penutup untuk "kegilaan" tak bermutu ini. Bermutu sih, tapi rendah :D Mungkin
karena saya bukan jenis elang, sehingga saya tak juga mewujudkan niat perjalanan terakhir mengembara naik sepeda motor jenis bebek (Kawasaki ZX 130 sering dijuluki Bebek Ninja). Terlebih jika teringat perjalanan ke
Trenggalek (lewat Sarangan dan pulang ke Yogyakarta lewat Takeran lalu menyusuri
kanal hingga kota Barat dan masuk wilayah Ngawi) dua tahun lalu saja saya sudah singunen.
No comments:
Post a Comment