Pages

Thursday, February 4, 2016

The Eagle Soars Alone



The Eagle Soars Alone adalah slogan motor besar terkenal bikinan Amerika Harley Davidson yang menimbulkan kesan, bagi saya, pengendaranya adalah pria jantan yang mengembara seorang diri dengan memacu sepeda motornya di aspal membelah gurun dengan latar belakang bukit-bukit batuan aneh seperti yang sering tampak di komik Hiawata. Ini yang saya tangkap dari bunyi slogan itu hingga pengetahuan saya tentang Hell Angels mengoyak gambaran tentang pengelana ala Lucky Luke itu. Perilaku tak elegan Hell Angels belakangan bercampur kuat dengan citra para pengguna motor besar itu di negeri kita. Setidak-tidaknya dalam hal bersikap seenak perut sendiri dan menang-menangan.
Lampu pengatur lalu lintas menyala merah di perempatan UPN Yogyakarta pada sebuah siang. Saya sedang berhenti menunggu lampu berubah hijau ketika terdengar raungan sirene polisi meminta jalan. Otomatis para pengguna jalan menepi memberi jalan seperti yang ditanamkan sejak kecil untuk mengutamakan sirene yang dibunyikan petugas kepolisian, ambulans dan kereta jenazah (begitu nama resminya, walaupun wujudnya mobil). Lampu masih merah ketika polisi voorijder melesat membelah kerumunan pengendara yang tertahan lampu merah. Betapa geramnya saya ketika mendapati di belakang polisi bersepeda motor besar melaju kencang beberapa Harley Davidson di jalan yang khusus diperuntukkan bagi mobil. Kita terbiasa diajarkan untuk menghormati sirene karena keadaan darurat yang membutuhkan jalan. Lha ini di mana daruratnya? Cuma gerombolan bocah-bocah tua kaya yang melanggar lalu lintas dengan pengawalan polisi lalu lintas. Jalan selapang itu pun belum cukup rupanya bagi mereka, salah seorang pengendara Harley masih berusaha menyuruh sebuah mobil lebih menepi.
Perilaku pongah kelompok-kelompok Harley Davidson, yang sering disebut moge, itu sudah kondang di mana-mana. Sebetulnya bukan cuma Harley Davidson, ada merk lain seperti BMW, tetapi kuda besi bikinan Amerika itulah yang terpatri dalam ingatan banyak orang ketika berbicara tentang kecongkakan di jalan raya. Belakangan perilaku mau menang sendiri ini ditiru oleh klub-klub motor lebih kecil sekelas Kawasaki Ninja, Vixion, bahkan RX King. Enteng saja mereka membunyikan sirene yang bukan hak mereka. Bergerombol kencang memenuhi jalan memaksa pengendara dari arah berlewanan memberi ruang lebih lapang melebihi marka. Saya tak tahu apakah makin besar sepeda motor mendorong sikap makin congkak, tetapi jelas perilaku barbar tak pernah saya lihat pada rombongan touring Honda 70 (pitung), Honda CB, Honda Astra, dan kelompok-kelompok Vespa yang tampaknya menganut paham makin gembel makin keren. Saya senang-senang saja berpapasan dan kadang beriringan dengan mereka ketika bepergian jauh dengan sepeda motor.
the eagle soars alone
Istirahat sejenak di tepi Waduk Gebyar, Jambeyan, Sambirejo, Sragen, Jawa Tengah

Kendati lebih sering ke mana-mana sendirian bersepeda motor, saya tak pernah berminat menempeli motor saya dengan stiker The Eagle Soars Alone, karena dari dulu motor saya selalu berjenis bebek. Elang Melambung Sendirian tampaknya melibatkan harga sepeda motor yang mahalnya minta maaf dan kecentilan susah dimengerti seperti mengangkut sepeda motor ke Bali dengan truk dan rombongan pengendaranya naik pesawat kelas satu. Sedangkan saya pengendara bebek sering bepergian jauh yang dalam perjalanan kerap berdoa jangan sering-sering bertemu tukang tambal ban. Haha. Perjalanan saya mengelilingi Gunung Lawu lewat Karang Pandan, Tawang Mangu, Sarangan, Jogorogo, Ngrambe, Sine, lalu pulang ke Yogyakarta lewat Sragen, Solo, Kartasura dan Klaten sering saya lakukan dengan Yamaha Alfa bikinan tahun 1991. Petualangan sendiri ke Bali berangkat lewat pesisir utara Jawa dan pulang lewat pesisir selatannya seorang diri saya lakukan dengan Yamaha Force One Z. Di samping itu pilihan saya untuk pergi sendirian tidak beraroma filosofis seperti mencari makna hidup atau menghayati hidup dalam kebebasan, tetapi karena saya orangnya angin-anginan, niat awal mau ke Janti sampainya di Trenggalek. Dari Trenggalek, mengendarai Yamaha Champ waktu itu, bukannya langsung pulang ke Yogyakarta saya malah bertandang ke teman saya di Boyolali dan melanjutkan perjalanan ke Pati lalu Semarang. Lagi pula dua kecelakaan parah saya alami ketika berboncengan. Pada tahun 1994 bertabrakan dengan Chevrolet di jalan raya yang menghubungan Bledug Kuwu dan Kota Purwodadi dan 1998 jatuh di perempatan Gemblegan saya tidak sedang berkendara sendirian.
Dibilang hobi juga susah, karena saya tidak pernah mempersiapkan perjalanan secara khusus seperti yang dilakukan orang-orang yang mau touring. Misalnya, sering, sangat sering malah, hanya karena teringat pemandangan Gunung Sumbing dari Kretek (Jembatan) Galeh saya bergegas mengenakan jaket, menyalakan mesin Kawasaki Kaze ZX 130 dan tak sampai dua jam kemudian sudah minum kopi yang disuguhkan teman saya di Parakan Wetan. Kadang-kadang saya melakukan perjalanan jauh dengan sepeda motor karena malas naik bus, misalnya ke Ngawi atau pulang ke Yogyakarta ketika tinggal di Jakarta dahulu.
perjalanan dengan sepeda motor
Di Tugu Pembantaian Tentara Pelajar tepi Sungai Progo, Temanggung

The Eagle Soars Alone
Singgah di Tempurejo, Banyubiru, Widodaren, Ngawi, Jawa Timur

Banyak hal manusiawi yang sering saya temui ketika memacu Bebek Ninja saya sendirian jarak jauh. Suatu malam saya melaju di daerah Brebes menuju Yogyakarta dari Jakarta. Perjalanan bersepeda motor ternyata ringan ketika banyak temannya meski kita tidak kenal, misalnya saat mudik lebaran. Saat itu Juni 2012, jauh dari Lebaran. Motor berpelat jauh dari arah Jakarta yang mendahului saya hanya motor Yamaha Vega pelat G yang ditumpangi berboncengan. Di jembatan yang sedang diperbaiki, saya kesulitan hendak mendahului sebuah truk sementara dari arah berlawanan terlihat sorot kendaraan melaju. Sopir truk di samping saya melambatkan truknya dan membunyikan klakson memberi isyarat agar saya mendahului. Sebagai tanda terima kasih saya membunyikan klakson pendek satu kali. Pak sopir itu membalas dengan klakson senada. Mungkin dia membatin, “Orang ini gila, pelat AD masih berapa ratus kilometer lagi sampai tujuan.” Masih saya temui sopan santun di perjalanan di kalangan sopir truk, tidak di kalangan pengemudi mobil pribadi yang sering enggan, atau tak tahu etiket, mengganti lampu jarak jauh dengan lampu jarak dekat ketika berpapasan dengan kendaraan lain. Zaman berubah. Dan perilaku kita tidak otomatis berubah menjadi lebih baik.
Di Batang, paginya, saya berhenti di warung di tepi jalan kecil yang memintas ke Sukorejo tanpa lewat Weleri. Kagum saya dengan warung yang menyediakan nasi pecel bungkus dengan harga wajar meski tahu saya bukan orang setempat. Dua bungkus nasi pecel, dua atau tiga tempe dan kopi saset segelas, hanya Rp5.500. Entah saya akan sempat singgah lagi atau tidak ke warung itu. Sekarang sudah mikir seribu kali kalau mau naik motor Yogyakarta – Jakarta. Faktor U tampaknya :D
the eagle soar alone
Hening di ruas jalan Tawangmangu - Sarangan

Di umur yang tidak muda lagi ini saya masih menyimpan keinginan naik sepeda motor sendirian ke Lombok lewat pesisir selatan Jawa, pesisir selatan Bali, dan pulang lewat pesisir utara kedua pulau itu. Yah, sebagai semacam perjalanan penutup untuk "kegilaan" tak bermutu ini. Bermutu sih, tapi rendah :D Mungkin karena saya bukan jenis elang, sehingga saya tak juga mewujudkan niat perjalanan terakhir mengembara naik sepeda motor jenis bebek (Kawasaki ZX 130 sering dijuluki Bebek Ninja). Terlebih jika teringat perjalanan ke Trenggalek (lewat Sarangan dan pulang ke Yogyakarta lewat Takeran lalu menyusuri kanal hingga kota Barat dan masuk wilayah Ngawi) dua tahun lalu saja saya sudah singunen.


No comments:

Post a Comment