Pages

Saturday, February 20, 2016

Propaganda



Jika propaganda kita mengakui adanya sedikit saja kebenaran di pihak lawan, akan ada alasan untuk mempertanyakan kebenaran kita. Massa tidak berada dalam posisi untuk membedakan di mana kebenaran lawan berakhir dan kebenaran kita bermula. Dalam keadaan demikian mereka menjadi bimbang dan curiga ... Siapa saja yang ingin menguasai massa harus mengetahui kunci untuk membuka pintu hati mereka. Bukan objektivitas, ini kelemahan, melainkan kehendak dan kekuasaan ... Dalam serangan telak tak kenal ampun terhadap lawan, rakyat melihat bukti kebenaran kita. Dari sudut pandang ini, keraguan berujung pada ketidakpastian, kelemahan, dan akhirnya kegagalan.
                                                                             —Adolf Hitler, Mein Kampf

Mengamini pendapat Führer, Goebbels sang menteri propaganda mengatakan bahwa massa itu lamban dan malas, ingatan mereka lemah, mereka hanya bereaksi pada ribuan kali pengulangan ide paling sederhana. Di mata ahli propaganda berbakat ini massa bersifat feminin dalam aktivitas dan pemikiran, lebih dimotivasi oleh emosi ketimbang nalar. Dengan demikian, imbuh Goebbels, propaganda harus positif atau negatif, didasarkan pada cinta atau benci. Hanya boleh ada benar atau salah, karena itu kemampuan untuk melihat dua sisi dari suatu persoalan adalah antitesis propaganda.
Berdiri sendiri, propaganda tidak berarti banyak kecuali bagi penganut fanatik suatu ideologi. Pasukan badai Sturmableitung (SA) yang suka meneror lawan partai, pasukan pertahanan Schutzstaffe (SS) yang elite itu, ditemani Sicherheitsdienst (SD) yang rajin menguntit siapa saja plus Gestapo yang menyeramkan itu akan kerepotan tanpa propaganda. Dipakai bersamaan dan saling topang, metode ini mujarab. Gagasan kedua petinggi Nazi yang sudah menghuni dunia sana tidak ikut bersama mereka.
Kata Goebbels propaganda harus positif atau negatif, ya atau tidak, menerima atau menyangkal, sehingga walaupun Escrivá mengatakan bahwa Hitler membunuh empat juta Yahudi, bukan enam juta, atau orang-orang revisonis yang mengakui pembantaian Yahudi terjadi tetapi tidak mesti di kamar gas, mereka tetap disebut menyangkal “holocaust”. Padahal, membuka kamus sebentar saja akan jelas apa arti kata deny. Kata deny berasal dari bahasa Perancis kuno deneirer dari bahasa Latin denegare yang berarti “menafikan sepenuhnya” dari asal kata negare “menyangkal”. Kamus legendaris kita karya Hasan Sadily dan M. Echols itu memberikan makna deny yang sama dengan itu. Kamus Oxford sama juga. Webster? Masih berkisar di situ-situ juga. Benar kata Hitler, propaganda tidak boleh mengakui kebenaran pihak lawan, sedikit saja tidak boleh.

propaganda rezim tipu
Joseph Goebbels sang maestro propaganda

Reichspropagandaminister Joseph Goebbels yang berbakat itu mengajarkan: “Propagandis harus membangun kebenaran sendiri. Jika kebenaran itu sesuai dengan kenyataan, itu bagus ... Kebenaran terbesar, kebenaran absolut, adalah Partai dan Führer itu benar. Mereka selalu benar ... Kebenaran adalah apa yang saya buat.” Ganti saja kata Partai dan Führer, rumusan ini bisa dipakai untuk menciptakan “kebenaran” tanpa harus merasa bersalah mengikuti jejak Nazi.
Dipadu dengan pandangan Hitler yang dikemukakan dalam Mein Kampf di atas, propaganda adalah penyederhanaan masalah-masalah yang kompleks menjadi persoalan “ya” atau “tidak”, dalam hal ini “menerima” atau “menyangkal”, saja. Reduksi habis-habisan itu harus dibuat sedemikian rupa hingga orang paling bodoh pun mengerti. “Kebenaran” ini diciptakan memang bukan untuk diperdebatkan, tidak ada tempat untuk keraguan.
Sudah setengah abad lebih berlalu sejak Goebbles membuat formula “kebenaran absolut”, tentu taktik propaganda berkembang semakin canggih dan menyebar ke mana-mana. Media mengambil peran jauh lebih besar dari yang sudah-sudah. Penjajahanpikiran kini tidak terlalu memerlukan tentara, dan tidak harus dilakukan oleh sosok dari negeri jauh Eropa.

No comments:

Post a Comment