Jika propaganda kita mengakui adanya sedikit saja
kebenaran di pihak lawan, akan ada alasan untuk mempertanyakan kebenaran kita.
Massa tidak berada dalam posisi untuk membedakan di mana kebenaran lawan
berakhir dan kebenaran kita bermula. Dalam keadaan demikian mereka menjadi
bimbang dan curiga ... Siapa saja yang ingin menguasai massa harus mengetahui
kunci untuk membuka pintu hati mereka. Bukan objektivitas, ini kelemahan,
melainkan kehendak dan kekuasaan ... Dalam serangan telak tak kenal ampun
terhadap lawan, rakyat melihat bukti kebenaran kita. Dari sudut pandang ini,
keraguan berujung pada ketidakpastian, kelemahan, dan akhirnya kegagalan.
—Adolf
Hitler, Mein Kampf
Mengamini pendapat Führer, Goebbels sang menteri propaganda mengatakan
bahwa massa itu lamban dan malas, ingatan mereka lemah, mereka hanya bereaksi
pada ribuan kali pengulangan ide paling sederhana. Di mata ahli propaganda
berbakat ini massa bersifat feminin dalam aktivitas dan pemikiran, lebih
dimotivasi oleh emosi ketimbang nalar. Dengan demikian, imbuh Goebbels,
propaganda harus positif atau negatif, didasarkan pada cinta atau benci. Hanya
boleh ada benar atau salah, karena itu kemampuan untuk melihat dua sisi dari
suatu persoalan adalah antitesis propaganda.
Berdiri sendiri, propaganda tidak berarti banyak kecuali bagi penganut
fanatik suatu ideologi. Pasukan badai Sturmableitung (SA) yang suka meneror
lawan partai, pasukan pertahanan Schutzstaffe (SS) yang elite itu, ditemani Sicherheitsdienst
(SD) yang rajin menguntit siapa saja plus Gestapo yang menyeramkan itu akan
kerepotan tanpa propaganda. Dipakai bersamaan dan saling topang, metode ini
mujarab. Gagasan kedua petinggi Nazi yang sudah menghuni dunia sana tidak ikut
bersama mereka.
Kata Goebbels propaganda harus positif atau negatif, ya atau tidak,
menerima atau menyangkal, sehingga walaupun Escrivá mengatakan bahwa Hitler membunuh empat juta Yahudi, bukan
enam juta, atau orang-orang revisonis yang mengakui pembantaian Yahudi terjadi
tetapi tidak mesti di kamar gas, mereka tetap disebut menyangkal “holocaust”.
Padahal, membuka kamus sebentar saja akan jelas apa arti kata deny. Kata
deny berasal dari bahasa Perancis kuno deneirer dari bahasa Latin
denegare yang berarti “menafikan sepenuhnya” dari asal kata negare
“menyangkal”. Kamus legendaris kita karya Hasan Sadily dan M. Echols itu
memberikan makna deny yang sama dengan itu. Kamus Oxford sama juga.
Webster? Masih berkisar di situ-situ juga. Benar kata Hitler, propaganda tidak
boleh mengakui kebenaran pihak lawan, sedikit saja tidak boleh.
Joseph Goebbels sang maestro propaganda |
Reichspropagandaminister Joseph
Goebbels yang berbakat itu mengajarkan: “Propagandis harus membangun kebenaran
sendiri. Jika kebenaran itu sesuai dengan kenyataan, itu bagus ... Kebenaran
terbesar, kebenaran absolut, adalah Partai dan Führer itu benar. Mereka selalu
benar ... Kebenaran adalah apa yang saya buat.” Ganti saja kata Partai dan
Führer, rumusan ini bisa dipakai untuk menciptakan “kebenaran” tanpa harus
merasa bersalah mengikuti jejak Nazi.
Dipadu dengan pandangan Hitler yang dikemukakan dalam Mein Kampf di
atas, propaganda adalah penyederhanaan masalah-masalah yang kompleks menjadi
persoalan “ya” atau “tidak”, dalam hal ini “menerima” atau “menyangkal”, saja.
Reduksi habis-habisan itu harus dibuat sedemikian rupa hingga orang paling
bodoh pun mengerti. “Kebenaran” ini diciptakan memang bukan untuk
diperdebatkan, tidak ada tempat untuk keraguan.
Sudah setengah abad lebih berlalu sejak Goebbles membuat formula “kebenaran
absolut”, tentu taktik propaganda berkembang semakin canggih dan menyebar ke
mana-mana. Media mengambil peran
jauh lebih besar dari yang sudah-sudah. Penjajahanpikiran kini tidak terlalu memerlukan tentara, dan tidak harus dilakukan oleh
sosok dari negeri jauh Eropa.
Sumber
gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Goebbels
No comments:
Post a Comment