Pages

Wednesday, February 24, 2016

Timbuktu



 “Tendyang sampe Timbuktu!” begitu candaan orang yang beberapa kali saya baca di Twitter untuk mengusir orang lain pergi jauh-jauh. Gurauan ini tentu merujuk pada Donal Bebek atau Lang Ling Lung yang kabur ke Timbuktu ketika menghadapi masalah tak terselesaikan di Kota Bebek. Dahulu, waktu masih kecil, saya tidak tahu apa itu Timbuktu yang dikatakan tokoh-tokoh kartun tersebut. Sekarang saya bertanya-tanya mengapa harus Timbuktu? Apakah begitu terpencilnya Timbuktu di mata Walt Disney hingga selalu menjadi tempat mengasingkan diri tokoh-tokoh rekaannya? Apa pilihan Timbuktu sebagai tempat kabur ada hubungannya dengan upaya Barat menghapus kebesaran sejarah Islam seperti halnya penyebutan Istanbul yang kata Abdullah bin Azzam adalah upaya Barat membuat kaum Muslimin lupa bahwa nama yang diberikan Sultan Muhammad Al Fatih untuk menggantikan Konstantinopel adalah Islambul yang artinya Kota Islam?
Atau untuk mengejek musuh yang sudah dikalahkan seperti yang dilakukan seorang jenderal Prancis mendatangi makam Salahuddin Al Ayubi dan menginjak-injak makam seraya dengan pongah berkata, “Lihatlah, Saladin, aku berhasil menaklukkan negerimu”? Mungkin saya berlebihan dalam hal ini karena orang Barat juga dikenal menghormati lawan-lawan yang mereka segani. Setidak-tidaknya, sejauh yang pernah saya dengar, Inggris memberi nama tank Saladin ya untuk menghormati lawan yang disegani Raja Richard the Lion Heart itu. Atau nama Fatima yang disandang banyak perempuan Eropa Selatan, kata Paulo Cuelho dalam Sang Alkemis. Entah apa maksud Walt Disney, tapi pasti ada maksudnya persis ungkapan If it plays in Peoria it will play anywhere ada hubungannya dengan situasi kota kecil Peoria, Illinois, yang persis berada di tengah Amerika Serikat dari pesisir timur dan pesisir barat negeri itu. Ungkapan ini bermula pada era kejayaan pertunjukan keliling yang menjadikan Peoria sebagai tolok ukur kesuksesan jika penduduk kota yang dikenal jujur dan lugu tersebut menyukai suatu pertunjukan. Belakangan kebijakan pemerintah juga “diuji” di Peoria, jika warga kota itu menerima maka kebijakan yang bersangkutan jalan terus, tidak jika sebaliknya.
Atau jangan-jangan itu cuma soal pengetahuan geografi yang buruk seperti Columbus menyebut penduduk asli Amerika sebagai Indian sebab dia sangka negeri tempatnya berlabuh itu India? Atau seperti Jonathan Swift menyebutkan pulau fiktif kediaman orang-orang Liliput dan Blefuscu berada di barat daya Sumatra karena dalam benak orang Eropa abad kedelapan belas Sumatra begitu jauh dari realitas mereka? Ataukah persis kucing-kucing dalam film kartun The Aristocats bikinan Disney tahun 1970 yang diancam diasingkan ke Timbuktu dan tempat itu keliru disebutkan berada di Afrika Ekuatorial Prancis bukannya Afrika Barat Prancis?
Kalau tujuan kabur ke Timbuktu seperti yang dilakukan Donal Bebek versi terjemahan Belanda yang kita baca adalah menghilang di tempat di mana paman Kwak, Kwik, dan Kwek itu tidak terlacak karena begitu terpencilnya, artinya Timbuktu adalah tempat yang tidak dikenal atau nyaris tidak diketahui keberadaannya di muka bumi ini. Stereotipe inilah yang dibantah Ali Farka TourĂ©, “Bagi sebagian orang, ketika mengucapkan ‘Timbuktu’ seolah-olah itulah ujung dunia, itu sama sekali tidak benar. Saya dari Timbuktu, dan saya bisa tunjukkan kepada Anda bahwa kami berada tepat di jantung dunia.”
 Kota yang berada di daerah Sahel di Sahara selatan itu pernah menjadi tempat pemberhentian kafilah-kafilah haji yang menempuh perjalanan dengan unta. Berada di gerbang masuk gurun Sahara, berbatasan dengan kawasan subur Sudan dan menempati posisi sangat menguntungkan di tepi sungai, Timbuktu adalah salah satu kota Afrika dengan nama yang sarat sejarah.
Didirikan pada abad ke-5, puncak kajayaan ekonomi dan budaya Timbuktu merentang dari abad ke-15 hingga abad ke-16. Di samping merupakan titik penting penyebaran peradaban Islam dengan Universitas Sankore dan 180 sekolah Al Qur’an serta 25.000 mahasiswa, Timbuktu adalah kota persinggahan dan pasar penting di mana perdagangan manuskrip dirundingkan, kota di mana garam dari Teghaza di utara dan emas serta ternak dan biji-bijian dari selatan diperjualbelikan.
Mengapa Donal Bebek kabur ke Timbuktu
Manuskrip astronomi dan matematika Timbuktu

Masa kejayaan Timbuktu diabadikan oleh tiga masjid besar: Djingareyber, Sankore dan Sidi Yahia.  Masjid Djingareyber, yang awalnya dibangun oleh Sultan Kankan Moussa sekembali dari naik haji ke Makkah, dirombak dan diperluas antara tahun 1570 dan 1583 oleh Imam Al Aqib, Kadi Timbuktu. Menara masjid itu mendominasi kota dan merupakan salah satu bangunan ikonik lanskap urban Timbuktu.
Mengapa Donal Bebek kabur ke Timbuktu
Masjid Djingareyber
Dibangun pada abad ke-14, Masjid Sankore, seperti halnya Masjid Djingareyber, dirombak oleh Imam Al Aqib antara tahun 1578 dan 1582 yang memerintahkan tempat suci itu dibongkar dan dibangun ulang sesuai dimensi Ka’bah di Makkah.
Mengapa Donal Bebek harus kabur ke Timbuktu
Masjid Sankore

Masjid Sidi Yahia, di sebelah selatan Masjid Sankore, dibangun sekitar tahun 1400 oleh darwis Syaikh El Mokhtar Hamalla untuk menyambut seorang suci yang muncul empat puluh tahun kemudian dalam sosok Syarif Sidi Yahia, yang kemudian ditunjuk sebagai imam. Masjid ini dirombak pada tahun 1577-1578 juga oleh Imam Al Aqib.
Mengapa Donal Bebek ke Timbuktu
Masjid Sidi Yahia

Tiga masjid besar (Djingareyber, Sankore, dan Sidi Yahia), enam belas mausoleum dan berbagai tempat suci adalah saksi bisu kebesaran masa lalu Timbuktu. Tiga masjid besar itu adalah contoh luar biasa arsitektur tanah liat dan teknik-teknik perawatan tradisional yang masih lestari hingga hari ini.
Mengapa Donal Bebek Kabur ke Timbuktu
Timbuktu

Menunggu giliran pergantian naik turun peradaban, ketika para mahasiswa sedang belajar di Universitas Sankore Timbuktu, mungkin Donal dan Lang Ling Lung yang masih berada di gelapnya abad yang menyelimuti sisi utara pegunungan Pyrenees belum mengenal baca tulis.

Rujukan:
Encarta Encyclopedia

Sumber gambar:


No comments:

Post a Comment