“Tendyang
sampe Timbuktu!” begitu candaan orang yang beberapa kali saya baca di Twitter
untuk mengusir orang lain pergi jauh-jauh. Gurauan ini tentu merujuk pada Donal
Bebek atau Lang Ling Lung yang kabur ke Timbuktu ketika menghadapi masalah tak terselesaikan
di Kota Bebek. Dahulu, waktu masih kecil, saya tidak tahu apa itu Timbuktu yang
dikatakan tokoh-tokoh kartun tersebut. Sekarang saya bertanya-tanya mengapa harus
Timbuktu? Apakah begitu terpencilnya Timbuktu di mata Walt Disney hingga selalu
menjadi tempat mengasingkan diri tokoh-tokoh rekaannya? Apa pilihan Timbuktu
sebagai tempat kabur ada hubungannya dengan upaya Barat menghapus kebesaran
sejarah Islam seperti halnya penyebutan Istanbul yang kata Abdullah bin Azzam
adalah upaya Barat membuat kaum Muslimin lupa bahwa nama yang diberikan Sultan
Muhammad Al Fatih untuk menggantikan Konstantinopel adalah Islambul yang
artinya Kota Islam?
Atau untuk mengejek musuh yang sudah dikalahkan seperti
yang dilakukan seorang jenderal Prancis mendatangi makam Salahuddin Al Ayubi
dan menginjak-injak makam seraya dengan pongah berkata, “Lihatlah, Saladin, aku
berhasil menaklukkan negerimu”? Mungkin saya berlebihan dalam hal ini karena
orang Barat juga dikenal menghormati lawan-lawan yang mereka segani. Setidak-tidaknya,
sejauh yang pernah saya dengar, Inggris memberi nama tank Saladin ya untuk menghormati
lawan yang disegani Raja Richard the Lion Heart itu. Atau nama Fatima yang
disandang banyak perempuan Eropa Selatan, kata Paulo Cuelho dalam Sang Alkemis.
Entah apa maksud Walt Disney, tapi pasti ada maksudnya persis ungkapan If it plays in Peoria it will play anywhere
ada hubungannya dengan situasi kota kecil Peoria, Illinois, yang persis berada di tengah Amerika
Serikat dari pesisir timur dan pesisir barat negeri itu. Ungkapan ini bermula
pada era kejayaan pertunjukan keliling yang menjadikan Peoria sebagai tolok
ukur kesuksesan jika penduduk kota yang dikenal jujur dan lugu tersebut menyukai
suatu pertunjukan. Belakangan kebijakan pemerintah juga “diuji” di Peoria, jika
warga kota itu menerima maka kebijakan yang bersangkutan jalan terus, tidak
jika sebaliknya.
Atau jangan-jangan itu cuma soal pengetahuan geografi
yang buruk seperti Columbus menyebut penduduk asli Amerika sebagai Indian sebab
dia sangka negeri tempatnya berlabuh itu India? Atau seperti Jonathan Swift menyebutkan
pulau fiktif kediaman orang-orang Liliput dan Blefuscu berada di barat daya Sumatra
karena dalam benak orang Eropa abad kedelapan belas Sumatra begitu jauh dari
realitas mereka? Ataukah persis kucing-kucing dalam film kartun The Aristocats bikinan Disney tahun 1970
yang diancam diasingkan ke Timbuktu dan tempat itu keliru disebutkan berada di
Afrika Ekuatorial Prancis bukannya Afrika Barat Prancis?
Kalau tujuan kabur ke Timbuktu seperti yang dilakukan Donal
Bebek versi terjemahan Belanda yang kita baca adalah menghilang di tempat di
mana paman Kwak, Kwik, dan Kwek itu tidak terlacak karena begitu terpencilnya, artinya
Timbuktu adalah tempat yang tidak dikenal atau nyaris tidak diketahui
keberadaannya di muka bumi ini. Stereotipe inilah yang dibantah Ali Farka Touré,
“Bagi sebagian orang, ketika mengucapkan ‘Timbuktu’ seolah-olah itulah ujung
dunia, itu sama sekali tidak benar. Saya dari Timbuktu, dan saya bisa tunjukkan
kepada Anda bahwa kami berada tepat di jantung dunia.”
Kota yang berada
di daerah Sahel di Sahara selatan itu pernah menjadi tempat pemberhentian
kafilah-kafilah haji yang menempuh perjalanan dengan unta. Berada di gerbang
masuk gurun Sahara, berbatasan dengan kawasan subur Sudan dan menempati posisi sangat
menguntungkan di tepi sungai, Timbuktu adalah salah satu kota Afrika dengan nama
yang sarat sejarah.
Didirikan pada abad ke-5, puncak kajayaan ekonomi dan
budaya Timbuktu merentang dari abad ke-15 hingga abad ke-16. Di samping merupakan
titik penting penyebaran peradaban Islam dengan Universitas Sankore dan 180
sekolah Al Qur’an serta 25.000 mahasiswa, Timbuktu adalah kota persinggahan dan
pasar penting di mana perdagangan manuskrip dirundingkan, kota di mana garam
dari Teghaza di utara dan emas serta ternak dan biji-bijian dari selatan
diperjualbelikan.
Manuskrip astronomi dan matematika Timbuktu |
Masa kejayaan Timbuktu diabadikan oleh tiga masjid besar:
Djingareyber, Sankore dan Sidi Yahia. Masjid
Djingareyber, yang awalnya dibangun oleh Sultan Kankan Moussa sekembali dari
naik haji ke Makkah, dirombak dan diperluas antara tahun 1570 dan 1583 oleh
Imam Al Aqib, Kadi Timbuktu. Menara masjid itu mendominasi kota dan merupakan salah
satu bangunan ikonik lanskap urban Timbuktu.
Masjid Djingareyber |
Dibangun pada abad ke-14, Masjid Sankore, seperti halnya
Masjid Djingareyber, dirombak oleh Imam Al Aqib antara tahun 1578 dan 1582 yang
memerintahkan tempat suci itu dibongkar dan dibangun ulang sesuai dimensi Ka’bah
di Makkah.
Masjid Sankore |
Masjid Sidi Yahia, di sebelah selatan Masjid Sankore, dibangun
sekitar tahun 1400 oleh darwis Syaikh El Mokhtar Hamalla untuk menyambut seorang
suci yang muncul empat puluh tahun kemudian dalam sosok Syarif Sidi Yahia, yang
kemudian ditunjuk sebagai imam. Masjid ini dirombak pada tahun 1577-1578 juga
oleh Imam Al Aqib.
Masjid Sidi Yahia |
Tiga masjid besar (Djingareyber, Sankore, dan Sidi Yahia),
enam belas mausoleum dan berbagai tempat suci adalah saksi bisu kebesaran masa
lalu Timbuktu. Tiga masjid besar itu adalah contoh luar biasa arsitektur tanah
liat dan teknik-teknik perawatan tradisional yang masih lestari hingga hari
ini.
Timbuktu |
Menunggu giliran pergantian naik turun peradaban, ketika
para mahasiswa sedang belajar di Universitas Sankore Timbuktu, mungkin Donal
dan Lang Ling Lung yang masih berada di gelapnya abad yang menyelimuti sisi
utara pegunungan Pyrenees belum mengenal
baca tulis.
Rujukan:
Encarta Encyclopedia
Sumber gambar:
No comments:
Post a Comment