Pages

Saturday, February 27, 2016

Intelektual Kuping





Negara muncul karena kebutuhan dan ke­ingin­an manusia. Keinginan itu terwujud dalam segala tindakan yang menyebabkan munculnya kerja sama di antara mereka. Mustahil disangkal bahwa manusia tidak bisa berbuat banyak tanpa kerja sama untuk me­menuhi kebutuhan mereka. Tak ada orang yang bisa hidup secara individual. Begitu Plato berkata. Kerja sama ini, dalam pandangan Plato, sangat penting guna merefleksikan sifat humanis dalam diri manusia. Dari konsep Plato ini bisa disimpulkan bahwa pada awalnya manusia dipandang sebagai subjek individualistis. Namun, se­iring waktu berjalan, kepentingan individu akan berhadapan dengan kepentingan individu yang lain. Wajar jika terjadi ben­turan. Kepentingan yang bertemu tentu akan menimbulkan konsensus, yang oleh Jean Jacques Rosseau diistilahkan sebagai kontrak sosial. Kontrak Sosial Rousseau menunjuk pada sebuah konsep yang dibahas semua ahli hukum dan filsuf politik. Mereka percaya bahwa negara adalah hasil kesepakatan atau perjanjian di antara manusia. Tujuan Negara adalah melindungi orang-orang yang menyebabkan adanya negara tersebut. Dengan demikian negara, menurut Plato, men­jadikan manusia satu dengan manusia yang lain mengubah rasa individualistis menjadi kebersamaan.
“Sebentar, sebentar, jangan bicara Plato dulu. Apakah Anda pernah membaca Du Contrat Social karya Jean Jacques Rousseau atau minimal versi Inggrisnya The Social Contract?”
“Sebetulnya saya lebih banyak tahu tentang Rousseau dari kutipan-kutipan dalam berbagai bacaan, tetapi lebih banyak lagi dalam obrolan.”
“Pertanyaannya: Anda sudah baca karya Rousseau itu belum?”
“Oh .... tentu saja belum.”
bacaan kita
hahaha

minat baca kita
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract

Bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari keadilan sudah digagas sejak Aristoteles membuat pembedaan men­dasar atas konsep hukum melalui gagasan keadilan distributif dan keadilan korektif. Bagi Aristoteles, ke­adilan distributif adalah konsep keadilan menyangkut pem­bagian ba­rang-barang dan kehormatan kepada masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Aristoteles menyepakati pan­dangan Plato bahwa kedudukan semua orang di muka hu­kum adalah sama.
Pertanyaannya sama, sudah pernah membaca buku Politik karya Aristoteles?
Jawabannya sama juga: Belum.

minat baca kita
Politik, Aristoteles

Sangat menarik sebetulnya, banyak yang menghubung-hubungkan bentuk republik dengan karya Plato, Republik. Benar bahwa kata republik berasal dari kata res publica persis seperti judul buku klasik Plato tersebut. Namun, menurut Robin Waterfield, judul Republik adalah terjemahan meleset dari politeia Yunani. Kata Yunani ini memang beberapa kali muncul dalam buku tersebut, bahkan menjadi judulnya, dan terjemahan ini sebetulnya berarti “sistem politik”. Politeia adalah kehidupan publik dan politik suatu komunitas; dalam bahasa Latin disebut res publica, “urusan umum”. Karya-karya Yunani biasa disebut dengan judul Latin atau dilatinkan: jadilah Republik. Padahal buku Plato itu sama sekali bukan risalah tentang republikanisme. Apa mau dikata, judul itulah yang lestari.
minat baca kita
Republik, Plato

Tak usah ditanya, sebab jawabnya juga akan sama: belum pernah membaca secara utuh Republic karya Plato.
minat baca kita

Pak Damarjati Supajar yang lebih dikenal khalayak berkat ceramahnya di radio tentang filsafat populer yang kental aroma gathuk entuk-nya itu sesungguhnya orang yang sangat ahli tentang filsafat Whitehead .... Jangan diteruskan sebaiknya, sebab saya tahunya cuma White Lion
minat baca kita

Ada yang pernah bertanya “apa sebetulnya kegunaan filsafat dalam hidup ini?” Saya bisa menjawab pertanyaan sulit ini dengan mudah: untuk bahan mengobrol saja. Hahaha. Setidak-tidaknya itulah gunanya bagi saya sebagai orang yang pernah mendengar komentar sinis tentang banyaknya intelektual kuping semasa kuliah dahulu.
Saya tidak sedang menyindir siapa-siapa, apalagi produk sistem pendidikan kita, melainkan hanya menceritakan pengalaman pribadi. Kalau mau menyindir, pasti saya sebutkan bahwa orang yang mengaku ber-IQ 139 itu sejatinya ... Tetapi buat apa? Untuk masyarakat yang hidup di negeri dengan minat baca belum tumbuh benar sudah digusur budaya nonton lalu Internet bersimaharaja agaknya mau membeli buku saja sudah bagus. Meskipun snobisme mengatakan di medsos sedang membaca buku The Myth of Happiness itu memang hanya bisa dibilang mengenaskan.
Andai saja saya mematuhi anjuran hanya mengatakan apa yang benar-benar saya tahu, untuk kasus buku hanya yang benar-benar saya baca, pasti yang saya tulis adalah kajian penuh kedalaman sarat kebijaksanaan intelektuil sedalam samudra bukan riak-riak selokan yang kedalamannya cuma semata kaki begini.




No comments:

Post a Comment