Negara muncul karena kebutuhan dan keinginan manusia. Keinginan itu
terwujud dalam segala tindakan yang menyebabkan munculnya kerja sama di antara
mereka. Mustahil disangkal bahwa manusia tidak bisa berbuat banyak tanpa kerja
sama untuk memenuhi kebutuhan mereka. Tak ada orang yang bisa hidup secara
individual. Begitu Plato berkata. Kerja sama ini, dalam pandangan Plato, sangat
penting guna merefleksikan sifat humanis dalam diri manusia. Dari konsep Plato
ini bisa disimpulkan bahwa pada awalnya manusia dipandang sebagai subjek
individualistis. Namun, seiring waktu berjalan, kepentingan individu akan
berhadapan dengan kepentingan individu yang lain. Wajar jika terjadi benturan.
Kepentingan yang bertemu tentu akan menimbulkan konsensus, yang oleh Jean
Jacques Rosseau diistilahkan sebagai kontrak sosial. Kontrak Sosial Rousseau
menunjuk pada sebuah konsep yang dibahas semua ahli hukum dan filsuf politik.
Mereka percaya bahwa negara adalah hasil kesepakatan atau perjanjian di antara
manusia. Tujuan Negara adalah melindungi orang-orang yang menyebabkan adanya
negara tersebut. Dengan demikian negara, menurut Plato, menjadikan manusia
satu dengan manusia yang lain mengubah rasa individualistis menjadi
kebersamaan.
“Sebentar, sebentar, jangan bicara Plato dulu. Apakah Anda pernah membaca
Du Contrat Social karya Jean Jacques Rousseau atau minimal versi Inggrisnya The
Social Contract?”
“Sebetulnya saya lebih banyak tahu tentang Rousseau dari kutipan-kutipan
dalam berbagai bacaan, tetapi lebih banyak lagi dalam obrolan.”
“Pertanyaannya: Anda sudah baca karya Rousseau itu belum?”
“Oh .... tentu saja belum.”
hahaha |
Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract |
Bahwa hukum tidak
bisa dilepaskan dari keadilan sudah digagas sejak Aristoteles membuat pembedaan
mendasar atas konsep hukum melalui gagasan keadilan distributif dan keadilan
korektif. Bagi Aristoteles, keadilan distributif adalah konsep
keadilan menyangkut pembagian barang-barang dan kehormatan kepada
masing-masing orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Aristoteles
menyepakati pandangan Plato bahwa kedudukan semua orang di muka hukum adalah
sama.
Pertanyaannya
sama, sudah pernah membaca buku Politik karya Aristoteles?
Jawabannya
sama juga: Belum.
Politik, Aristoteles |
Sangat
menarik sebetulnya, banyak yang menghubung-hubungkan
bentuk republik dengan karya Plato, Republik. Benar bahwa kata republik berasal
dari kata res publica persis seperti
judul buku klasik Plato tersebut. Namun, menurut Robin Waterfield, judul Republik adalah terjemahan meleset dari politeia Yunani. Kata Yunani ini memang
beberapa kali muncul dalam buku tersebut, bahkan menjadi judulnya, dan
terjemahan ini sebetulnya berarti “sistem politik”. Politeia adalah kehidupan publik dan politik suatu komunitas; dalam
bahasa Latin disebut res publica,
“urusan umum”. Karya-karya Yunani biasa disebut dengan judul Latin atau
dilatinkan: jadilah Republik. Padahal
buku Plato itu sama sekali bukan risalah tentang republikanisme. Apa mau dikata,
judul itulah yang lestari.
Republik, Plato |
Tak usah ditanya, sebab jawabnya juga akan sama: belum pernah membaca secara
utuh Republic karya Plato.
Pak Damarjati Supajar yang lebih dikenal khalayak berkat ceramahnya di
radio tentang filsafat populer yang kental aroma gathuk entuk-nya itu sesungguhnya orang yang sangat ahli tentang
filsafat Whitehead .... Jangan diteruskan sebaiknya, sebab saya tahunya cuma
White Lion
Ada yang pernah bertanya “apa sebetulnya kegunaan filsafat dalam hidup
ini?” Saya bisa menjawab pertanyaan sulit ini dengan mudah: untuk bahan
mengobrol saja. Hahaha. Setidak-tidaknya itulah gunanya bagi saya sebagai orang
yang pernah mendengar komentar sinis tentang banyaknya intelektual kuping
semasa kuliah dahulu.
Saya tidak sedang menyindir siapa-siapa, apalagi produk sistem pendidikan
kita, melainkan hanya menceritakan pengalaman pribadi. Kalau mau menyindir,
pasti saya sebutkan bahwa orang yang mengaku ber-IQ 139 itu sejatinya ... Tetapi
buat apa? Untuk masyarakat yang hidup di negeri dengan minat baca belum tumbuh
benar sudah digusur budaya nonton lalu Internet bersimaharaja agaknya mau
membeli buku saja sudah bagus. Meskipun snobisme mengatakan di medsos sedang membaca
buku The Myth of Happiness itu memang
hanya bisa dibilang mengenaskan.
Andai saja saya mematuhi anjuran hanya mengatakan apa yang benar-benar saya
tahu, untuk kasus buku hanya yang benar-benar saya baca, pasti yang saya tulis
adalah kajian penuh kedalaman sarat kebijaksanaan intelektuil sedalam samudra
bukan riak-riak selokan yang kedalamannya cuma semata kaki begini.
No comments:
Post a Comment