Pages

Tuesday, February 9, 2016

Sebab Kita Bukan Keledai



“Lis, serius kalau kursus. Sampai selesai. Jangan sampai nyesal kayak aku. Dulu aku kursus Jerman juga di situ, tapi nggak selesai. Rugi nggak selesai,” kata Yayan Sopyan menasihati sewaktu saya bercerita kepadanya bahwa aktivitas saya belakangan adalah kursus bahasa Jerman. Ini cerita lalu tentu saja. Saya kursus bahasa Jerman di belakang A. Kasoem Jl. Mangkubumi dekat Tugu ketika biaya kursus satu tingkat (selama 3 bulan) tak sampai Rp20.000, saya lupa persisnya. Bahkan nama resmi lembaga itu pun saya lupa, yang saya ingat cuma ia membuka kursus bekerja sama dengan Goethe Institute.
Mendengar nasihat teman saya yang, waktu itu, mahasiswa Fakultas Filsafat tersebut semangat saya untuk belajar bahasa Jerman dengan sungguh-sungguh pun meningkat. Apalagi Bu Liem, guru saya di kursus bahasa Jerman, sangat baik dan banyak memberi saya semangat untuk rajin menghadiri kursus dan menguasai bahasa Jerman. Saya beruntung masih sempat menemukan guru-guru penuh dedikasi yang mengajar penuh kecintaan saat itu. Bu Liem salah satunya. Entah untuk menyemangati saya saja atau memang melihat potensi saya yang saya sendiri luput mengetahuinya, suatu hari Bu Liem berkata, “Herr Noor Cholis, kalau berhasil lulus terbaik dari kursus ini (ada tiga tingkat waktu itu) nanti Anda bisa ikut tes yang diadakan Goethe Institute untuk belajar bahasa Jerman di Jerman sana. Kesempatannya besar. Targetnya per tahun sepuluh orang yang dikirim, tetapi tak pernah lebih dari tiga yang berhasil.” Saya makin bersemangat saja.
Semangat yang menggebu itu redup ketika saya mulai masuk tingkat 2. Entah apa alasan persisnya waktu itu, saya tidak lagi meneruskan kursus bahasa Jerman yang bermutu dan amat murah waktu itu. Kendati demikian saya masih punya semangat menjalani les bahasa Prancis di LIP Sagan yang saya saya ikuti bersamaan dengan kursus Jerman. Di Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta itu saya juga diajar oleh guru-guru yang mencintai bahasa Prancis dan begitu tinggi dedikasi mereka dalam mengajar hingga seolah-olah Pak Hendro dan Bu Yatie hidup untuk bahasa Prancis.
Sayangnya, sampai kelas 4, menjelang komplet jenjang yang ditawarkan LIP (waktu itu hingga kelas 5) dan sesudah itu bisa mengikuti DELF (semacam TOEFL dalam bahasa Inggris) saya, tentu saja, keluar. Juga untuk alasan yang saya tak ingat benar. Untuk mudahnya mungkin kesungguhan saya buruk. Penjelasan versi agak njlimetnya: saya punya kecenderungan menggagalkan kesuksesan diri sendiri ibarat orang memanjat pohon hampir sampai puncak justru sibuk menggergaji pohon yang dia panjat. Begitu pula yang terjadi ketika saya diajar bahasa Spanyol oleh SeƱorita Escobar (waktu itu suaminya menjabat direktur utama Melia Purosani Yogyakarta) usai saya mrothol kursus bahasa Jerman.
Hal yang sama terjadi bertahun-tahun kemudian ketika saya mengambil kuliah setara D2 bahasa Arab di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dedikasi para guru di sana (ada yang didatangkan dari Sudan dan Mesir segala) tak mampu memacu saya untuk menamatkan kuliah selama dua tahun itu.
Dengan pengalaman berderet meninggalkan kesempatan emas yang kemudian saya sesali, saya menasihati sepenuh hati seorang mahasiswa yang berniat belajar bahasa Jerman (ketika tempat kursus saya itu entah masih ada atau tidak dan biaya les Perancis di LIP sudah hampir satu juta, zaman saya masih 32.000 rupiah per trimester) dengan kalimat persis yang diucapkan Yayan Sopyan puluhan tahun silam.
Saya curiga mahasiswa (yang kini sudah bukan mahasiswa dan sudah berkeluarga) itu juga menasihati mahasiswa yuniornya dengan mengulangi kalimat-kalimat Yayan Sopyan yang saya ucapkan kepadanya bertahun-tahun silam. Dan mahasiswa yang dinasihati itu menggemakan lagi kalimat-kalimat Yayan itu kepada yunior yang berniat belajar bahasa dan begitu seterusnya. Ada pepatah Inggris yang bunyinya “Not even a donkey falls into the same hole twice”. 
antara keledai, Sisipus dan kita

Not even a donkey falls into the same hole twice

Justru karena bukan keledai itulah kita terperosok ke lubang yang sama berkali-kali hingga nyaris tak terhingga. Lalu kita memperindahnya dengan kisah tentang Sisipus yang mengulang-ulang kegagalan yang itu-itu juga. Tetapi kita tidak merasa lebih dungu dari keledai karena kita mengemas mitos Sisipus itu dengan kajian-kajian yang tak mungkin dipahami orang tak terpelajar.



No comments:

Post a Comment