“Lis, serius kalau
kursus. Sampai selesai. Jangan sampai nyesal kayak aku. Dulu aku kursus Jerman
juga di situ, tapi nggak selesai. Rugi nggak selesai,” kata Yayan Sopyan
menasihati sewaktu saya bercerita kepadanya bahwa aktivitas saya belakangan
adalah kursus bahasa Jerman. Ini cerita lalu tentu saja. Saya kursus bahasa Jerman
di belakang A. Kasoem Jl. Mangkubumi dekat Tugu ketika biaya kursus satu tingkat
(selama 3 bulan) tak sampai Rp20.000, saya lupa persisnya. Bahkan nama resmi lembaga
itu pun saya lupa, yang saya ingat cuma ia membuka kursus bekerja sama dengan Goethe
Institute.
Mendengar nasihat
teman saya yang, waktu itu, mahasiswa Fakultas Filsafat tersebut semangat saya untuk
belajar bahasa Jerman dengan sungguh-sungguh pun meningkat. Apalagi Bu Liem,
guru saya di kursus bahasa Jerman, sangat baik dan banyak memberi saya semangat
untuk rajin menghadiri kursus dan menguasai bahasa Jerman. Saya beruntung masih
sempat menemukan guru-guru penuh dedikasi yang mengajar penuh kecintaan saat
itu. Bu Liem salah satunya. Entah untuk menyemangati saya saja atau memang melihat
potensi saya yang saya sendiri luput mengetahuinya, suatu hari Bu Liem berkata,
“Herr Noor Cholis, kalau berhasil lulus terbaik dari kursus ini (ada tiga
tingkat waktu itu) nanti Anda bisa ikut tes yang diadakan Goethe Institute untuk
belajar bahasa Jerman di Jerman sana. Kesempatannya besar. Targetnya per tahun
sepuluh orang yang dikirim, tetapi tak pernah lebih dari tiga yang berhasil.”
Saya makin bersemangat saja.
Semangat yang menggebu
itu redup ketika saya mulai masuk tingkat 2. Entah apa alasan persisnya waktu itu,
saya tidak lagi meneruskan kursus bahasa Jerman yang bermutu dan amat murah waktu
itu. Kendati demikian saya masih punya semangat menjalani les bahasa Prancis di
LIP Sagan yang saya saya ikuti bersamaan dengan kursus Jerman. Di Lembaga Indonesia
Perancis Yogyakarta itu saya juga diajar oleh guru-guru yang mencintai bahasa Prancis
dan begitu tinggi dedikasi mereka dalam mengajar hingga seolah-olah Pak Hendro
dan Bu Yatie hidup untuk bahasa Prancis.
Sayangnya, sampai
kelas 4, menjelang komplet jenjang yang ditawarkan LIP (waktu itu hingga kelas
5) dan sesudah itu bisa mengikuti DELF (semacam TOEFL dalam bahasa Inggris)
saya, tentu saja, keluar. Juga untuk alasan yang saya tak ingat benar. Untuk mudahnya
mungkin kesungguhan saya buruk. Penjelasan versi agak njlimetnya: saya punya
kecenderungan menggagalkan kesuksesan diri sendiri ibarat orang memanjat pohon
hampir sampai puncak justru sibuk menggergaji pohon yang dia panjat. Begitu pula
yang terjadi ketika saya diajar bahasa Spanyol oleh SeƱorita Escobar (waktu itu
suaminya menjabat direktur utama Melia Purosani Yogyakarta) usai saya mrothol kursus bahasa Jerman.
Hal yang sama terjadi
bertahun-tahun kemudian ketika saya mengambil kuliah setara D2 bahasa Arab di
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dedikasi para guru di sana (ada yang didatangkan
dari Sudan dan Mesir segala) tak mampu memacu saya untuk menamatkan kuliah selama
dua tahun itu.
Dengan pengalaman
berderet meninggalkan kesempatan emas yang kemudian saya sesali, saya
menasihati sepenuh hati seorang mahasiswa yang berniat belajar bahasa Jerman (ketika
tempat kursus saya itu entah masih ada atau tidak dan biaya les Perancis di LIP
sudah hampir satu juta, zaman saya masih 32.000 rupiah per trimester) dengan kalimat
persis yang diucapkan Yayan Sopyan puluhan tahun silam.
Saya curiga mahasiswa
(yang kini sudah bukan mahasiswa dan sudah berkeluarga) itu juga menasihati mahasiswa
yuniornya dengan mengulangi kalimat-kalimat Yayan Sopyan yang saya ucapkan kepadanya
bertahun-tahun silam. Dan mahasiswa yang dinasihati itu menggemakan lagi
kalimat-kalimat Yayan itu kepada yunior yang berniat belajar bahasa dan begitu seterusnya.
Ada pepatah Inggris yang bunyinya “Not even
a donkey falls into the same hole twice”.
Justru karena bukan keledai
itulah kita terperosok ke lubang yang sama berkali-kali hingga nyaris tak
terhingga. Lalu kita memperindahnya dengan kisah tentang Sisipus yang mengulang-ulang
kegagalan yang itu-itu juga. Tetapi kita tidak merasa lebih dungu dari keledai karena
kita mengemas mitos Sisipus itu dengan kajian-kajian yang tak mungkin dipahami orang
tak terpelajar.
sumber gambar: http://shrek.wikia.com/wiki/Donkey_%28species%29
No comments:
Post a Comment