Pages

Tuesday, February 2, 2016

Sepekan Berkereta 2



Hampir sepekan di Jakarta, tempat-tempat yang saya kunjungi berada tak jauh dari stasiun kereta api sehingga saya selalu naik KRL/Commuter Line yang bisa dibilang menyenangkan, dibandingkan pengalaman saya dengan moda transportasi ini ketika saya tinggal di Jakarta. Pernah pada tahun 2010 saya beserta istri dan dua anak saya yang masih kecil-kecil naik KRL untuk menghadiri sebuah resepsi pernikahan di Masjid Sunda Kelapa. Karena kereta sangat penuh dan saya tidak mendapat pegangan saat menggendong anak saya dan nyaris sulit bernapas karena sesaknya penumpang, kami akhirnya memilih turun di Cawang bukannya Cikini. Dibandingkan kondisi lima tahun silam, perkembangan KRL boleh dibilang luar biasa. Belum lagi kalau ingat pemandangan tiap sore di lintasan kereta api Tanjung Barat di mana orang menyemut di atap KRL.
perjalanan dengan kereta api
Di Stasiun Tanjung Barat, September 2010

Dengan Tiket Harian Berjaminan berbentuk kartu yang saya beli di Stasiun Pasar Senen seharga Rp12.000 (Rp10.000 untuk kartu dan Rp2.000 untuk ongkos perjalanan Pasar Senen – Palmerah) saya cukup membayar masing-masing Rp2.000 untuk pergi ke Stasiun Pasar Minggu, Stasiun Cawang, Rp4.000 untuk mencapai Stasiun Bogor, dan RP5.000 untuk perjalanan dari Stasiun Bogor ke Stasiun Manggarai. Murah saja. Cara memperoleh tiket dengan membeli di loket memang kalah modern dibanding cara mendapatkan tiket MRT di Singapura, tetapi sebagai generasi karcis domino yang pernah naik keretaapi uap saya lebih menyukai cara pembelian yang melibatkan penjual, bukan mesin. Kartu jaminan KRL berlaku selama 7 hari. Dan tak sampai tujuh hari saya sudah pulang ke Yogyakarta dengan kereta api Bogowonto.
perjaanan dengan kereta api
Karcis KRL Bogor - Jakarta


Perjalanan dengan kereta api
Tiket Jaminan Rp10.000

Saya membeli tiket langsung pada hari keberangkatan di Stasiun Senen. Tadinya saya ingin naik KA Progo yang harga tiketnya Rp75.000, tetapi sudah habis. Jadilan saya beli tiket KA Bogowonto seharga Rp220.000 yang berangkat pada pukul 21.45 pada tanggal 21 Januari 2016. Ada yang mengherankan ketika saya keluar dari tempat pembelian tiket dan berjalan menuju peron pemberangkatan: seseorang duduk dan berkata pelan, “Tiket. tiket”. Dengan sistem serapi itu (yang mengharuskan pembeli menunjukkan kartu identitas dan di tiket dicantumkan nama serta nomor kartu identitas penumpang) apa yang bisa dilakukan para calo? Entahlah.
Perjalanan dengan kereta api
Tiket KA Bogowonto Pasar Senen - Lempuyangan


Kereta berangkat tepat waktu. Saya duduk sendiri. Di depan saya duduk seorang bapak dengan mata kiri diperban ditemani anaknya. Bapak asal Klaten yang mengadu nasib di Jakarta itu hendak menjalani operasi mata di RS Mata Dr. Yap karena matanya terkena serpihan kayu saat bekerja. Saya bertanya bagaimana bisa kemasukan serpihan kayu, bukankah untuk pekerjaan berbahaya ada kewajiban mengenakan pengaman, misalnya kacamata. Bapak itu membenarkan seraya berkata, “Tapi ya bagaimana lagi, karena sudah biasa jadi merasa tidak perlu memakai pengaman.” Ini kecelakaan kerja kedua yang dia alami, dia menunjukkan jari-jari tangan kanannya yang tak punya ruas kuku karena terlindas peralatan mengolah kayu. Saya tak bisa berkomentar apa-apa dengan kebiasaan orang kita menggampangkan aturan keselamatan. Dahulu, dalam perjalanan naik kereta juga (Bangunkarta) saya pernah mengobrol dengan anak muda yang bekerja membangun menara BTS yang menceritakan karena sudah biasa dia tak pakai alat pengaman apa pun saat bekerja di ketinggian yang penuh risiko. Saya hanya bisa bingung dalam hal ini.
Kereta api Bogowonto memasuki Stasiun Tugu tepat seperti yang tertera dalam tiket, pukul 05:55. Setelah bersalaman dan mengucapkan harapan semoga segala urusannya dimudahkan kepada bapak beranak rekan perjalanan saya itu, saya turun dari gerbong dan menuju pintu keluar seperti biasa. Rupanya ada perubahan, penumpang tidak boleh lagi keluar melewati gerbang depan stasiun. Pintu keluar hanya ada satu, bukan di sisi selatan stasiun (yang kini hanya diperuntukkan bagi lansia dan penyandang cacat)* melainkan di ujung barat selatan stasiun. Ini sungguh menjengkelkan bagi saya yang berniat berjalan kaki hingga Tugu agar nanti tak perlu memutar lewat Jembatan Kewek ketika dijemput istri saya. Di pintu keluar sudah berderet-deret sopir taksi dan tukang ojek yang menawarkan jasa sedemikian agresif hingga terkesan mengganggu. Saya tak pernah mau menggunakan jasa mereka karena harga yang tidak masuk akal. Celakanya, angkutan umum yang lewat dekat Tugu hanya Trans Jogja. Itu pun haltenya cukup jauh dari stasiun jika dicapai dengan berjalan kaki. Entah kapan hal begini dibereskan. Mestinya bisa. Stasiun-stasiun dan kereta api yang dahulu penuh pedagang asongan dan pengamen saja bisa dibereskan. Sistem transportasi kereta api yang terpadu dengan baik seperti di Kuala Lumpur, Bangkok, dan Singapura tampaknya masih jauh dari harapan.

* Bunyi pengumuman di pintu keluar selatan adalah “Pintu keluar khusus lansia dan difabel. Saya tak tahu apakah penyebutan difabel dimaksudkan untuk menghapus kata penyandang cacat atau menghemat karakter. Hobi kita dengan eufimisme sering tak masuk akal bagi saya.

No comments:

Post a Comment