Pages

Saturday, February 6, 2016

Mencari Arti Cinta




Kalender menunjukkan tahun 1996. Malam yang cerah menaungi sekumpulan anak muda yang tampak bersiap-siap menggelar diskusi di depan kantor unit kegiatan mereka. Masa-masa itu memang iklim diskusi dan atmosfer intelektual kental mewarnai aktivitas keseharian mahasiswa. Diskusi malam itu temanya tidak main-main enigmatiknya: apa arti cinta?
Saat itu saya sedang tidak jatuh cinta atau mengincar cewek untuk dipacari (istilah sekarang nembak), sehingga diskusi semacam itu saya anggap omong kosong tidak menarik. Ketika menulis baris ini mendadak saya tersadar bahwa pemahaman bahwa “Cinta itu fungsinya adalah membuat hubungan seks tidak seperti ayam-ayam amat” sudah saya anut saat itu. Haha. Mungkin karena setelah putus dan merasa kalah cepat memutus karena pertimbangan nggak enak dan sebangsanya saya menjadi sinis terhadap cinta romantis yang diagungkan melebihi kadarnya. Tetapi saya datang juga karena diajak teman satu kos yang sedang terkukuk-kukuk dilanda asmara kepada seorang mahasiswi kedokteran yang bolehlah cantiknya. Daripada diajak mengobrol berjam-jam memuja-muja calon dokter yang serius belajar gitar itu dan ditutup dengan minum vodka murahan yang berakhir dengan feeding the chicken (istilah kami untuk muntah karena mabuk waktu itu) lebih baik saya melihat pembuktian kata seorang sastrawan: Laki-laki itu berbicara politik seperampat jam saja, berjam-jam selebihnya ya apalagi kalau bukan membahas perempuan.
Setelah moderator membuka diskusi dengan menjabarkan betapa agung cinta itu, betapa perkasa cinta hingga mampu menggerakkan kemanusiaan, betapa suci cinta hingga orang mau menolong orang lain dengan mengorbankan diri bila perlu dan hal-hal amat indah lebih indah dari ungkapan cinta platonis Kahlil Gibran kepada May Zubaida, para peserta mendapat giliran untuk mengungkapkan apa arti cinta bagi mereka dan menanggapi umpan moderator atau mengomentari pendapat peserta lainnya. Mulailah saya mendengar kata-kata penuh busa pemujaan terhadap cinta dan ceramah betapa agung cinta hingga tak ada definisi yang tepat untuk itu. Akhirnya tiba giliran saya.
Saya bilang cinta, kalau yang dimaksud cinta romantis yang diidap rekan-rekan saya saat itu, hanyalah sesuatu untuk memperindah agar dalam menyalurkan syahwat kita tidak mirip-mirip amat dengan ayam. Harus dibedakanlah cinta tanah air dengan cinta hormonal. Kalau disamakan, bagaimana cara kita menyetubuhi tanah air? Cinta suci hingga rela menolong tanpa pamrih apaan? Bukankah ngebet direspons perempuan yang kita incar itu pamrih juga? Tulus? Oh ya? Memangnya kita mau menolong cewek jelek yang menuntun sepeda motor dengan roda bocor?
Mungkin karena dianggap merusak suasana, seorang mahasiswa abadi yang dituakan, dan memang tua secara usia bahkan untuk saat itu, memotong semacam orasi anti-cinta saya dengan mengatakan bahwa kita semua harus memaklumi ada saudara kita yang punya pendapat tersendiri tentang cinta. Saya lupa akhir diskusi itu karena yang saya ingat hanyalah kepala saya sangat berat ketika bangun karena menenggak head cleaner (gurauan di kalangan kami waktu itu merujuk minuman keras yang diplesetkan dari cairan pembersih head tape recorder).
Lama sesudah malam diskusi itu saya menyaksikan banyak hal yang menjadikan saya makin sinis kepada para pemuja cinta. Misalnya mendapati seorang aktivis perempuan yang kini menjadi politikus “tidur” secara tidak tertib atas nama cinta yang bagi saya ya cuma biar mudah menjadi ini atau itu yang diinginkannya, atau gadis belia duduk dirangkul lelaki gaek yang mengajarinya membaca puisi. Dan banyak lagi yang lainnya. Semua itu mengerucutkan pandangan saya tentang cinta romantik hingga mengamini kata-kata Julian Barnes berikut:
Mencari Arti Cinta
Love is

Hampir dua puluh tahun kemudian, bagaimana kehidupan cinta (sic) para pengagung cinta suatu malam pada tahun 1996 itu? Suram. Sama sekali jauh dari yang mereka cita-citakan. Mau bagaimana lagi? Realitas memang lebih sering tak seindah angan-angan. Tetapi begitulah anak muda dari segala zaman: selalu mendewakan cinta yang keagungannya dilanggengkan oleh berbagai roman dan lagu. Dari dulu sampai kapan pun ya akan begitu-begitu melulu. Wajar belaka.
Saya malah mungkin lebih malang dari rekan-rekan diskusi malam itu karena pernah dikasihani seseorang yang menganggap saya tak tahu arti cinta. Hanya mengerti nafsu. Sama sekali buta soal cinta. Biar sajalah. Kenyataannya, hingga hari ini saya masih menyepakati isi buku kusam yang tanpa sengaja saya temukan di sebuah rak berdebu yang mengajari bahwa dalam Islam kendati cinta sudah redup tetap ada yang namanya tanggung jawab, kasih sayang, dan penghormatan terhadap istri. Buku karangan tokoh Ikhwanul Muslimin—meski dalam banyak hal saya menentang gagasan kelompok ini—tersebut begitu besar pengaruhnya bagi saya hingga mampu mendorong saya memandang cinta atau apalah namanya itu dalam bingkai tanggung jawab, penghormatan, dan kasih sayang terhadap pihak-pihak yang terikat perjanjian bernama pernikahan. Buku kusam itu berhasil mendongkel dominasi Pergolakan Pemikiran dan Catatan Harian Seorang Demonstran yang dicekokkan seorang senior saya dahulu dan cukup lama berpengaruh terhadap pandangan hidup saya, termasuk pemujaan terhadap cinta sebagai cinta an sich.
Terakhir, kata orang Jawa urip iku mung wang sinawang. Saya justru iba pada orang yang mengasihani saya karena dianggap tak tahu apa makna cinta itu. Setidak-tidaknya saya tahu bahwa menghabiskan usia memimpikan cinta sejati di luar suami tak berdaya dan berusaha menggapainya dengan cara dusta adalah sesuatu yang begitu hina. Jauh lebih mulia teman-teman diskusi saya di atas yang sebagian besar jatuh bangun melakoni cinta mereka. Apa pun wujudnya. Jauh lebih baik daripada merasa paham cinta hingga titik komanya namun sesungguhnya tak pernah mencecap cinta senyatanya.

No comments:

Post a Comment