Kalender menunjukkan tahun 1996. Malam yang cerah
menaungi sekumpulan anak muda yang tampak bersiap-siap menggelar diskusi di
depan kantor unit kegiatan mereka. Masa-masa itu memang iklim diskusi dan atmosfer
intelektual kental mewarnai aktivitas keseharian mahasiswa. Diskusi malam itu
temanya tidak main-main enigmatiknya: apa arti cinta?
Saat itu saya sedang tidak jatuh cinta atau mengincar
cewek untuk dipacari (istilah sekarang nembak),
sehingga diskusi semacam itu saya anggap omong kosong tidak menarik. Ketika
menulis baris ini mendadak saya tersadar bahwa pemahaman bahwa “Cinta itu
fungsinya adalah membuat hubungan seks tidak seperti ayam-ayam amat” sudah saya
anut saat itu. Haha. Mungkin karena setelah putus dan merasa kalah cepat
memutus karena pertimbangan nggak enak dan sebangsanya saya menjadi sinis
terhadap cinta romantis yang diagungkan melebihi kadarnya. Tetapi saya datang
juga karena diajak teman satu kos yang sedang terkukuk-kukuk dilanda asmara
kepada seorang mahasiswi kedokteran yang bolehlah cantiknya. Daripada diajak
mengobrol berjam-jam memuja-muja calon dokter yang serius belajar gitar itu dan
ditutup dengan minum vodka murahan yang berakhir dengan feeding the chicken (istilah kami untuk muntah karena mabuk waktu
itu) lebih baik saya melihat pembuktian kata seorang sastrawan: Laki-laki itu
berbicara politik seperampat jam saja, berjam-jam selebihnya ya apalagi kalau
bukan membahas perempuan.
Setelah moderator membuka diskusi dengan menjabarkan
betapa agung cinta itu, betapa perkasa cinta hingga mampu menggerakkan
kemanusiaan, betapa suci cinta hingga orang mau menolong orang lain dengan
mengorbankan diri bila perlu dan hal-hal amat indah lebih indah dari ungkapan
cinta platonis Kahlil Gibran kepada May Zubaida, para peserta mendapat giliran
untuk mengungkapkan apa arti cinta bagi mereka dan menanggapi umpan moderator
atau mengomentari pendapat peserta lainnya. Mulailah saya mendengar kata-kata
penuh busa pemujaan terhadap cinta dan ceramah betapa agung cinta
hingga tak ada definisi yang tepat untuk itu. Akhirnya tiba giliran saya.
Saya bilang cinta, kalau yang dimaksud cinta romantis
yang diidap rekan-rekan saya saat itu, hanyalah sesuatu untuk memperindah agar
dalam menyalurkan syahwat kita tidak mirip-mirip amat dengan ayam. Harus
dibedakanlah cinta tanah air dengan cinta hormonal. Kalau disamakan, bagaimana
cara kita menyetubuhi tanah air? Cinta suci hingga rela menolong tanpa pamrih
apaan? Bukankah ngebet direspons perempuan yang kita incar itu pamrih juga? Tulus? Oh
ya? Memangnya kita mau menolong cewek jelek yang menuntun sepeda motor dengan
roda bocor?
Mungkin karena dianggap merusak suasana, seorang mahasiswa
abadi yang dituakan, dan memang tua secara usia bahkan untuk saat itu, memotong
semacam orasi anti-cinta saya dengan mengatakan bahwa kita semua harus
memaklumi ada saudara kita yang punya pendapat tersendiri tentang cinta. Saya
lupa akhir diskusi itu karena yang saya ingat hanyalah kepala saya sangat berat
ketika bangun karena menenggak head
cleaner (gurauan di kalangan kami waktu itu merujuk minuman keras yang
diplesetkan dari cairan pembersih head
tape recorder).
Lama sesudah malam diskusi itu saya menyaksikan
banyak hal yang menjadikan saya makin sinis kepada para pemuja cinta. Misalnya
mendapati seorang aktivis perempuan yang kini menjadi politikus “tidur” secara
tidak tertib atas nama cinta yang bagi saya ya cuma biar mudah menjadi ini atau
itu yang diinginkannya, atau gadis belia duduk dirangkul lelaki gaek yang
mengajarinya membaca puisi. Dan banyak lagi yang lainnya. Semua itu
mengerucutkan pandangan saya tentang cinta romantik hingga mengamini kata-kata
Julian Barnes berikut:
Love is |
Hampir dua puluh tahun kemudian, bagaimana kehidupan
cinta (sic) para pengagung cinta suatu malam pada tahun 1996 itu? Suram. Sama sekali
jauh dari yang mereka cita-citakan. Mau bagaimana lagi? Realitas memang lebih
sering tak seindah angan-angan. Tetapi begitulah anak muda dari segala zaman:
selalu mendewakan cinta yang keagungannya dilanggengkan oleh berbagai roman dan
lagu. Dari dulu sampai kapan pun ya akan begitu-begitu melulu. Wajar belaka.
Saya malah mungkin lebih malang dari rekan-rekan diskusi
malam itu karena pernah dikasihani seseorang yang menganggap saya tak tahu arti
cinta. Hanya mengerti nafsu. Sama sekali buta soal cinta. Biar sajalah. Kenyataannya,
hingga hari ini saya masih menyepakati isi buku kusam yang tanpa sengaja saya
temukan di sebuah rak berdebu yang mengajari bahwa dalam Islam kendati cinta
sudah redup tetap ada yang namanya tanggung jawab, kasih sayang, dan
penghormatan terhadap istri. Buku karangan tokoh Ikhwanul Muslimin—meski dalam
banyak hal saya menentang gagasan kelompok ini—tersebut begitu besar
pengaruhnya bagi saya hingga mampu mendorong saya memandang cinta atau apalah
namanya itu dalam bingkai tanggung jawab, penghormatan, dan kasih sayang
terhadap pihak-pihak yang terikat perjanjian bernama pernikahan. Buku kusam itu
berhasil mendongkel dominasi Pergolakan Pemikiran dan Catatan Harian Seorang
Demonstran yang dicekokkan seorang senior saya dahulu dan cukup lama
berpengaruh terhadap pandangan hidup saya, termasuk pemujaan terhadap cinta
sebagai cinta an sich.
Terakhir, kata orang Jawa urip iku mung wang sinawang. Saya justru iba pada orang yang
mengasihani saya karena dianggap tak tahu apa makna cinta itu. Setidak-tidaknya
saya tahu bahwa menghabiskan usia memimpikan cinta sejati di luar suami tak
berdaya dan berusaha menggapainya dengan cara dusta adalah sesuatu yang begitu
hina. Jauh lebih mulia teman-teman diskusi saya di atas yang sebagian besar
jatuh bangun melakoni cinta mereka. Apa pun wujudnya. Jauh lebih baik daripada merasa
paham cinta hingga titik komanya namun sesungguhnya tak pernah mencecap cinta
senyatanya.
Sumber gambar: http://www.pixteller.com/img/24156
No comments:
Post a Comment