Pages

Thursday, February 25, 2016

Omah Watu



Kalau Anda menghendaki kisah motivasi, tinggalkan saja cerita ini. Ini kisah tentang realitas yang tidak banyak manisnya. Ini kisah tentang orang-orang yang mengilhami saya dan ingin saya serap semangat mereka meski tak juga bisa, bahkan untuk sekadar meminjam semangat mereka, hingga hari ini. Yang pertama adalah Pak Tomo di Desa Hargomulyo, Kecamatan Ngrambe, Kabupaten Ngawi yang berusaha membuat rumah sepenuhnya dari batu.
omah watu dan kreativitas anak bangsa
Peta Kecamatan Ngrambe

Cerita tentang omah watu (rumah batu) sudah sering saya dengar sejak saya masih remaja, tetapi baru bisa saya lihat sendiri pada awal-awal saya kuliah. Bersama teman saya Sopril Amir Hamzah dan dua orang teman lainnya, saya berbincang-bincang dengan sang pembuat rumah batu dengan syarat mengajukan pertanyaan secara tertulis karena Pak Tomo rusak pendengarannya. Kami mengobrol di rumah biasa yang didiami Pak Tomo sekeluarga sehari-harinya, di sebelah timur rumah dari batu yang sedang digarap. Inti penjelasannya, dia membangun rumah dari batu tersebut sejak zaman Jepang. Pembuatan rumah yang meliputi pengangkutan batu-batu gunung dari sungai terdekat, menatah batu agar berbentuk persegi empat, dan menata batu-batu mirip batu bata besar-besar itu dia lakukan seorang diri selepas menyelesaikan pekerjaannya di sawah. Tidak ada bantuan dana atau tenaga dari siapa pun untuk cita-citanya mendirikan rumah dua tingkat dari batu-batu yang disusun itu. Kalaupun ada bantuan, kata Pak Tomo, adalah dari para makhluk halus karena dia mempunyai ajian bala sewu. Entahlah soal ajian itu, tetapi kegigihan bapak tua itu sungguh menakjubkan. Dia membangun rumah batu itu ya membangun saja tujuannya, tanpa ingin dianggap ini itu.
Waktu itu rumah yang disusun dari batu-batu kali itu masih jauh dari selesai. Seingat saya baru lantai dan dinding saja yang sudah jadi, atap belum ada, apalagi lantai dua. Hanya batu-batu saja yang disusun tanpa semen perekat. Tentu saja waktu itu belum musim hp, apalagi smartphone, jadi saya tak punya foto omah waktu pada fase pembangunan saat itu. Jadi saya ambil saja gambar milik orang dari suatu blog yang alamatnya saya cantumkan dalam sumber gambar.
omah watu, helikopter bakpao, dan potensi kreativitas kita
Omah Watu

Mengingat usia Pak Tomo saat itu, dan dia berkarya seorang diri di waktu senggangnya, saya rasa pembuatan rumah itu tak akan rampung. Rampung atau tidak tak terlalu penting bagi saya. Keuletan Pak Tomo mewujudkan kemauan yang tak masuk akal secara ekonomi dan secara apa pun itulah yang mengagumkan saya. Dedikasi total menakjubkan yang hingga detik ini saya tak kunjung bernyali mewujudkannya, selain juga belum ketemu apa yang mau dicurahi dedikasi.
dedikasi total pada kreativitas kita
Ha ha ha

Kisah kedua adalah kisah para penjual bakpao di Brebes yang bercita-cita membuat helikopter. Ini luar biasa! Saya membaca kisah di media massa cetak tentang para penjual bakpao yang membuat helikopter setelah berkeliling kota setiap hari menjajakan dagangan mereka. Tak henti-hentinya saya takjub dengan keuletan dan kobaran semangat bapak-bapak penjual bakpao itu. Saya merasakan kepedihan yang sangat sewaktu membaca berita bahwa orang-orang bersemangat hebat itu dipanggil Angkatan Udara, diajak naik helikopter, dan dijelaskan bahwa membuat helikopter tidak semudah yang mereka bayangkan. Ketika googling beberapa hari lalu untuk mencari informasi tentang para seniman helikopter bakpao itu, kemuraman menyergap ketika saya membaca berita Suara Merdeka online yang sekilas mengatakan bahwa helikopter bermesin Vespa orang-orang ulet itu berhasil terbang sebentar lalu jatuh dan mereka disalahkan oleh pemerintah karena melanggar peraturan. Tak banyak berita tersisa tentang mereka, berita yang saya baca itu pun cuma pelengkap narasi lebih besar tentang ketidakpedulian pemerintah terhadap kreasi anak negeri terkait televisi rakitan sendiri yang dihancurkan pemerintah karena tak punya sertifikat SNI.
Semangat saya untuk meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya bagi kecintaan terhadap sesuatu tanpa pertimbangan ekonomi, popularitas, eksistensi, dan segala penilaian tentang bagaimana orang lumrahnya hidup turut redup bersama kandasnya cita-cita helikopter made in tukang bakpao itu. Tetapi Pak Tomo dan para penjual bakpao itu telanjur menyalakan keinginan saya untuk mempunyai kecintaan (lebih dari sekadar hobi) yang membuat hidup lebih menyenangkan. Ya semacam memperturutkan diri sebagai homo ludens saja. Pernah secara bergurau saya bertekad menyaingi Isaac Asimov yang menerbitkan 500 buku lebih sepanjang hidupnya dengan menghasilkan buku, entah itu terjemahan atau tulisan atau suntingan, melebihi Pak Asimov. Tapi dalam hitungan saya, mau sebulan satu buku pun mustahil saya menghasilkan 200 buku hingga usia produktif saya berakhir ketika yang bisa dilakukan cuma menyamar menjadi muda belia di medsos (na’udzubillah mid dzalik, mati lebih baik daripada menghinakan diri seperti itu ). Selama ini buku yang sudah saya kerjakan baru sekitar 30-an. Imposibol sajalah mau menyaingi Pak Asimov. Jika sudah begini yang diperlukan hanyalah dalih. Saya menemukannya dalam ungkapan Guru Kong berikut:
omah watu bakpao helikopter
Miracle

Selain taktik berkoar-koar mengatakan bahwa kita berencana pun tidak pernah untuk melakukan suatu hal yang ternyata gagal, kata-kata bijak sungguh ampuh untuk menutupi kegagalan. Misalnya, “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda” yang setara dengan “nestapa adalah bahagia yang tertunda” atau “jelek adalah cantik yang tertunda”. Cantik dari Boston?
jelek adalah cantik yang tertunda
Gagal ya gagal saja

Sumber gambar:


No comments:

Post a Comment