Pages

Friday, February 26, 2016

In Bahasa Please



“Do you speak Bahasa?” atau “What is it called in Bahasa?” adalah pertanyaan aneh yang sering memancing saya bereaksi, “Do you know that bahasa means language in English? Actually, it’s shorthening of Bahasa Indonesia that literally means Indonesian language or simply Indonesian, as English-speaking world normally calls it, which is our official  language. So,  basically you are asking ‘Do you speak Language?’ or etc., etc.” Jika pertanyaan itu berasal dari orang-orang asing yang sering menghadapi pilihan penggunaan bahasa di Internet seperti English, France, Germany, Bahasa atau dalam manual cetak untuk produk elektronik tentu saya bisa mengerti. Lha kalau orang kita sendiri yang sok-sokan ngomong, “In Bahasa please ...”? Sungguh saya tak habis pikir.
Saya tidak begitu tertarik dengan penjelasan berbau teori konspirasi bahwa mulai makin lazimnya penyebutan bahasa Indonesia sebagai Bahasa bukannya Indonesian dalam bahasa Inggris itu sebetulya adalah kerjaan orang Malaysia yang ingin menenggelamkan nama Indonesia di dunia. Karena orang hanya tahu Bahasa dan lupa Indonesia, sedangkan bahasa orang Malaysia sendiri dalam bahasa Inggris disebut Malay. Malay tentu saja Melayu dalam bahasa kita. Melayu itu pula akar bahasa Indonesia dan menjadi bahasa resmi Malaysia serta Singapura. Dengan berkurangnya jumlah orang yang menyebut Indonesian untuk mengatakan bahasa Indonesia dalam bahasa Inggris dan makin banyak yang mengatakannya sebagai Bahasa tentulah timbul kesan bahwa orang Indonesia lebih rendah karena Bahasa yang dimaksud adalah turunan dari bahasa dominan Malaysia: Melayu, tetapi karena tidak jelas kemelayuannya cukuplah disebut Bahasa. Mbuhlah. Sak karêpmu.
Mengapa tidak dibiarkan saja kebiasaan lama dalam bahasa Inggris menyebut bahasa Indonesia sebagai Indonesian? Persis English untuk bahasa Inggris, Germany untuk bahasa Jerman, French untuk bahasa Prancis, Spanish untuk bahasa Spanyol, Arabic untuk bahasa Arab, Dutch untuk bahasa Belanda, dan Javanese untuk bahasa Jawa (bukan Basa, misalnya).
Lebih menyedihkan, dalam bahasa Inggris orang Filipina mempunyai Filipino sebagai bahasa resmi dan Tagalog sebagai bahasa dominan sehari-hari. Orang Thailand (dulu lazim disebut Siam atau Muang Thai oleh orang-orang tua kita) punya bahasa yang disebut Thai. Orang Myanmar (yang sampai sekarang masih sering disebut Burma oleh penutur asli bahasa Inggris) punya bahasa yang disebut Burmese. Orang Laos punya bahasa yang disebut Lao. Orang Vietnam punya Vietnamese seperti lazimnya penyebutan nama bahasa dalam bahasa Inggris. Malaysia ya Malay itu tadi. Singapura punya bahasa resmi English, Malay, Tamil dan Mandarin Chinese. Sedangkan rakyat Kamboja berbicara dalam bahasa yang dalam bahasa Inggris pun disebut Khmer. Timor Leste tentu sudah bukan Indonesian lagi bahasa resminya, melainkan Tetun. Bangsa Indonesia berbicara dalam bahasa yang disebut Bahasa dalam bahasa Inggris.
Lebih menyedihkan lagi, kadang saya berpikir mengapa saya meributkan hal-hal tak penting begini? Orang bilang “Tendyang ke Timbuktu” saya kepikiran, mengapa orang lebih suka menggunakan kata briefing daripada taklimat membuat saya berpikir apa maksudnya itu, dan hal-hal super remeh lainnya yang begitu sukses menahan benak saya untuk merenungkan semesta planet Goldilocks calon tujuan imigrasi manusia jika Bumi ini hancur lebur tulangnya serta hangus tubuhnya. Kalau sudah begitu biasanya saya merenung jangan-jangan benar pernyataan bahwa “kata-kata itu harapan, jadi hati-hatilah dengan ucapanmu yang bisa saja menjadi nyata suatu hari nanti.” Dahulu, dalam sebuah obrolan dengan teman saya Puthut EA, entah karena saya kehabisan argumen atau mau menyangkal pendapat Puthut tetapi sungkan, saya berkata, “Wis aku tak ngurusi sing cilik-cilik wae, sing gedhe-gedhe urusen (Biarlah aku mengurusi yang kecil-kecil saja, yang besar-besar kamu uruslah). Jadilah ketika orang ngomong gelombang gravitasi, konspirasi depopulasi atas dunia ketiga melalui kampanye seks sejenis, pemerintahan yang sudah masuk kategori azab, dan hal-hal besar lainnya saya malah menyibukkan diri dengan remeh-temeh tidak bergaya seperti mengapa orang berkulit sawo matang yang sehari-hari berbahasa Jawa harus mengatakan “In Bahasa please ...”.
Hiburan bagi saya datang dari halaman persembahan buku Lynne Truss berikut:
bahasa kita
Dedikasi untuk pejuang tanda baca

Pengantar buku itu lebih menghibur lagi:
Either this will ring bells for you, or it won’t. A printed banner has appeared on the concourse of a petrol station near to where I live. “Come inside,” it says, “for CD’s, VIDEO’s, DVD’s, and BOOK’s.”
If this satanic sprinkling of redundant apostrophes causes no little gasp of horror or quickening of the pulse, you should probably put down this book at once. By all means congratulate yourself that your are not a pedant or even a stickler; that you are happily equipped to live in a world of plummeting punctuation standards; but just don’t bother to go any further. For any true stickler, you see, the sight of the plural word “Book’s” with an apostrophe in it will trigger a ghastly private emotional process similar to the stages of bereavement, though greatly accelerated. First there is shock. Within seconds, shock gives way to disbelief, disbelief to pain, and pain to anger. ....
It’s tough being a stickler for punctuation these days. One almost dare not get up in the mornings .
In Bahasa plesae ... Your head kuwi
Bahasa means language in English
In Bahasa please your head

No comments:

Post a Comment