“Do you speak Bahasa?” atau “What is it called in Bahasa?”
adalah pertanyaan aneh yang sering memancing saya bereaksi, “Do you know that
bahasa means language in English? Actually, it’s shorthening of Bahasa
Indonesia that literally means Indonesian language or simply Indonesian, as
English-speaking world normally calls it, which is our official language. So, basically you are asking ‘Do you speak
Language?’ or etc., etc.” Jika pertanyaan itu berasal dari orang-orang asing
yang sering menghadapi pilihan penggunaan bahasa di Internet seperti English,
France, Germany, Bahasa atau dalam manual cetak untuk produk elektronik tentu
saya bisa mengerti. Lha kalau orang kita sendiri yang sok-sokan ngomong, “In
Bahasa please ...”? Sungguh saya tak habis pikir.
Saya tidak begitu tertarik dengan penjelasan berbau teori
konspirasi bahwa mulai makin lazimnya penyebutan bahasa Indonesia sebagai
Bahasa bukannya Indonesian dalam bahasa Inggris itu sebetulya adalah kerjaan
orang Malaysia yang ingin menenggelamkan nama Indonesia di dunia. Karena orang
hanya tahu Bahasa dan lupa Indonesia, sedangkan bahasa orang Malaysia sendiri
dalam bahasa Inggris disebut Malay. Malay tentu saja Melayu dalam bahasa kita.
Melayu itu pula akar bahasa Indonesia dan menjadi bahasa resmi Malaysia serta
Singapura. Dengan berkurangnya jumlah orang yang menyebut Indonesian untuk
mengatakan bahasa Indonesia dalam bahasa Inggris dan makin banyak yang
mengatakannya sebagai Bahasa tentulah timbul kesan bahwa orang Indonesia lebih
rendah karena Bahasa yang dimaksud adalah turunan dari bahasa dominan Malaysia:
Melayu, tetapi karena tidak jelas kemelayuannya cukuplah disebut Bahasa. Mbuhlah. Sak karêpmu.
Mengapa tidak dibiarkan saja kebiasaan lama dalam bahasa
Inggris menyebut bahasa Indonesia sebagai Indonesian? Persis English untuk
bahasa Inggris, Germany untuk bahasa Jerman, French untuk bahasa Prancis,
Spanish untuk bahasa Spanyol, Arabic untuk bahasa Arab, Dutch untuk bahasa Belanda,
dan Javanese untuk bahasa Jawa (bukan Basa,
misalnya).
Lebih menyedihkan, dalam bahasa Inggris orang Filipina mempunyai
Filipino sebagai bahasa resmi dan Tagalog sebagai bahasa dominan sehari-hari.
Orang Thailand (dulu lazim disebut Siam atau Muang Thai oleh orang-orang tua
kita) punya bahasa yang disebut Thai. Orang Myanmar (yang sampai sekarang masih
sering disebut Burma oleh penutur asli bahasa Inggris) punya bahasa yang
disebut Burmese. Orang Laos punya bahasa yang disebut Lao. Orang Vietnam punya
Vietnamese seperti lazimnya penyebutan nama bahasa dalam bahasa Inggris.
Malaysia ya Malay itu tadi. Singapura punya bahasa resmi English, Malay, Tamil
dan Mandarin Chinese. Sedangkan rakyat Kamboja berbicara dalam bahasa yang
dalam bahasa Inggris pun disebut Khmer. Timor Leste tentu sudah bukan
Indonesian lagi bahasa resminya, melainkan Tetun. Bangsa Indonesia berbicara
dalam bahasa yang disebut Bahasa dalam bahasa Inggris.
Lebih menyedihkan lagi, kadang saya berpikir mengapa saya
meributkan hal-hal tak penting begini? Orang bilang “Tendyang ke Timbuktu” saya kepikiran, mengapa orang lebih suka
menggunakan kata briefing daripada
taklimat membuat saya berpikir apa maksudnya itu, dan hal-hal super remeh
lainnya yang begitu sukses menahan benak saya untuk merenungkan semesta planet
Goldilocks calon tujuan imigrasi manusia jika Bumi ini hancur lebur tulangnya
serta hangus tubuhnya. Kalau sudah begitu biasanya saya merenung jangan-jangan
benar pernyataan bahwa “kata-kata itu harapan, jadi hati-hatilah dengan
ucapanmu yang bisa saja menjadi nyata suatu hari nanti.” Dahulu, dalam sebuah
obrolan dengan teman saya Puthut EA, entah karena saya kehabisan argumen atau
mau menyangkal pendapat Puthut tetapi sungkan, saya berkata, “Wis aku tak ngurusi sing cilik-cilik wae,
sing gedhe-gedhe urusen (Biarlah aku
mengurusi yang kecil-kecil saja, yang besar-besar kamu uruslah). Jadilah ketika
orang ngomong gelombang gravitasi, konspirasi depopulasi atas dunia ketiga
melalui kampanye seks sejenis, pemerintahan yang sudah masuk kategori azab, dan
hal-hal besar lainnya saya malah menyibukkan diri dengan remeh-temeh tidak
bergaya seperti mengapa orang berkulit sawo matang yang sehari-hari berbahasa
Jawa harus mengatakan “In Bahasa please ...”.
Hiburan bagi saya datang dari halaman persembahan buku
Lynne Truss berikut:
Dedikasi untuk pejuang tanda baca |
Pengantar buku itu lebih menghibur lagi:
Either this will ring bells for you, or it won’t. A
printed banner has appeared on the concourse of a petrol station near to where
I live. “Come inside,” it says, “for CD’s, VIDEO’s, DVD’s, and BOOK’s.”
If this satanic
sprinkling of redundant apostrophes causes no little gasp of horror or
quickening of the pulse, you should probably put down this book at once. By all
means congratulate yourself that your are not a pedant or even a stickler; that
you are happily equipped to live in a world of plummeting punctuation standards;
but just don’t bother to go any further. For any true stickler, you see, the
sight of the plural word “Book’s” with an apostrophe in it will trigger a
ghastly private emotional process similar to the stages of bereavement, though
greatly accelerated. First there is shock. Within seconds, shock gives way to
disbelief, disbelief to pain, and pain to anger. ....
It’s tough being
a stickler for punctuation these days. One almost dare not get up in the
mornings .
In Bahasa plesae ... Your head kuwi
In Bahasa please your head |
No comments:
Post a Comment