Pages

Thursday, December 24, 2015

Baud Basa Jawi



Penafian (diclaimer): tulisan ini hanya mengungkapkan pengalaman saya, bukan sebuah penelitian sistematis yang mematuhi kaidah-kaidah ilmiah. Meski mungkin yang dialami orang lain berbeda dari pengalaman saya, semuanya sungguh-sungguh terjadi. Sebenarnya fenomena “ajaib” penggunaan bahasa Jawa oleh orang-orang Jawa di pusat Tanah Jawa dan sekitarnya ini sudah lama ingin saya tulis, tetapi pemicunya baru muncul beberapa bulan lalu ketika hendak membelikan anak saya minyak wangi di samping pintu Bank Muamalat Masjid Kampus UGM dengan dialog yang berlangsung berikut:
Niki pintên, Pak?” (Ini berapa, Pak?) tanya saya kepada penjualnya.
Kalih dasa.” (Dua puluh)
Sing alit-alit tigang èwu gangsal atus mboten èntên, nggih?” (Yang kecil-kecil tiga ribu lima ratusan itu tidak ada, ya?)
Pun mbotên èntên.”
Nggih pun sing niki mawon,” kata saya sambil menunjuk botol-botol minyak wangi lainnya.
Nèk sing kuwi sepuluh èwu, Mas.”
Saya ulangi lagi pernyataan saya dan penjual itu tetap berbahasa Jawa ngoko, kali ini lebih panjang.
Wis, Le, ra sah tuku wae, Bapak wis nganggo basa krama malah disauri basa ngoko. Kaya ra ngerti tata krama wae,” kata saya kepada anak-anak saya dengan suara keras agar didengar si penjual. Saya berlalu bersama anak-anak saya.
Dalam perjalanan pulang di benak saya bermunculan adegan-adegan “lucu” penggunaan tingkatan-tingkatan bahasa Jawa ini di kalangan orang Jawa sendiri. “Sêdaya pintên, Mbak?” tanya saya kepada kasir mini market. Dijawabnya, “Dua puluh lima ribu.” Saya bisa maklum, mungkin di Alfamart dan Indomaret ada ketentuan untuk berbahasa Indonesia ketika melayani konsumen. Meski di depan saya sesama mereka bercakap-cakap dalam bahasa Jawa. Di warung langganan dekat rumah, saya bertanya kepada mbak keponakan pemilik warung, “Mbak kagungan gêndhis?” Dia jawab pertanyaan saya dengan pertanyaan, “Gêndhis niku napa nggih?”
Gêndhis niku gula, Mbak.”
Setiap kali mbak keponakan itu yang menunggu warung, saya sering mendengar hal-hal lucu, antara lain “Kalih ribu”, mungkin dia tidak tahu bahwa bahasa halusnya dua ribu adalah kalih ewu. Haha. Saya tinggal di Sleman, yang tentu saja merupakan bagian dari salah satu pusat budaya Jawa, Yogyakarta. 
tentang penggunaan bahasa Jawa krama saat ini
Buku-buku yang saya pakai saat SD

Di sebuah desa di lereng Merapi, masih di wilayah Kabupaten Sleman, dahulu sekali, saya pernah mengantar teman saya menemui seorang “pintar” untuk mengupayakan agar pacarnya kembali kepadanya. Manjur tidaknya upaya teman saya itu bukan merupakan hal yang menarik perhatian saya. Yang sangat mengesankan bagi saya adalah keseleo lidah bapak “kyai” itu. Begini: “Sêdaya mênika sampun ginaris, kita kantun nglakèni kémawon” (Semuanya sudah digariskan, kita tinggal menjalani saja). Saya menahan diri sekuat mungkin agar tidak tertawa, nglakèni itu kata kasar untuk menyetubuhi. Mungkin si bapak mengubah kata nglakoni (menjalani) begitu saja menjadi nglakèni, mengikui pola ngakoni (mengakui) menjadi ngakèni. Saya sangat yakin bapak itu, sebagai orang yang mengamalkan paham sinkretisme Islam dan Kejawen, tahu bahwa kata halus untuk nglakoni adalah nglampahi.
Hal-hal dasar sederhana dalam etika berbahasa Jawa ini memang semakin banyak yang tidak tahu. Anjurannya, kita harus merendah ketika berbicara dengan orang lain. Waktu itu tahun 2001, bersama teman yang kini merupakan intelektual cukup terpandang saya menghadiri FGD untuk suatu penelitian terkait pemerintahan desa dan demokratisasi atau hal-hal semacam itulah. Sebelum acara resmi dimulai, kami mengobrol santai dengan para peserta dalam bahasa Jawa. Menanggapi pernyataan salah seorang warga (sebuah desa di Purworejo), teman saya berkata, “Kula ting ndalêm nggih kagungan.” Aduh! Mestinya dia bilang, “Ting griya kula nggih gadhah.”
Beberapa tahun sesudah itu dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta dari Desa Galiran, Sukolilo, Pati, saya singgah di warung membeli minuman kemasan sekaligus menanyakan arah. Ketika hendak pergi setelah berterima kasih, pemilik toko itu berkata, “Niki mbotên njênêngan ombé?” Saya bisa maklum jika bapak itu tidak ingat kosakata unjuk (minum versi Jawa halus) karena saya berada di pesisir utara, yang menurut legenda adalah anak turun Arya Penangsang, musuh bebuyutan para raja Mataram.
Dua tahun silam di Stasiun Gambir saya terpana mendengar perbincangan timpang, yang satu berbahasa Jawa krama satunya lagi berbahasa Jawa ngoko dialek Surabaya. Setahu saya, orang Surabaya sekalipun tetap bisa berbahasa Jawa krama. Ini bukan soal siapa lebih tinggi dari siapa. Untuk orang yang belum kenal lazimnya sama-sama menggunakan basa krama. Dalam posisi orang berbahasa Jawa krama itu, saya akan berganti menggunakan bahasa Indonesia atau menyudahi perbincangan.
Mengenai sesama orang Jawa yang berbahasa Indonesia ini saya punya banyak pengalaman semasa kuliah. Biasanya terjadi dengan teman-teman yang baru kenal. Saya nekat berbahasa Jawa, sebab saya yakin dia bisa bahasa Jawa. Ketika sudah akrab dengan beberapa dari mereka, kami menggunakan bahasa Jawa. Biasanya teman-teman saya itu tidak bisa menyembunyikan logat Banyumasan mereka. Perkara begini lumayan sensitif agaknya.
Perkara sensitif lainnya adalah “permusuhan” antara santri dan abangan (meminjam terminologi Clifford Geertz untuk membedakan orang Islam Jawa yang mengamalkan agamanya dan orang Islam Jawa yang beragama secara nominal saja). Lazimnya orang Islam yang menjalankan ajaran agamanya (khususnya yang berasal dari kalangan Muhammadiyah) dianggap tidak nJawani (tidak Jawa, yang bermakna tidak mengerti dan tidak menjalankan perilaku selayaknya orang Jawa). Walaupun dalam kenyataannya tidak demikian, dan pengkategorian Geertz juga tak sepenuhnya tepat sejauh yang saya temui sendiri.
Salah seorang keponakan saya tertib menjalankan salat lima waktu dan rajin berpuasa Senin Kamis, tentunya dia santri, menurut penggolongan santri-abangan. Tetapi di Facebook dia getol menyebarkan (share) opini-opini yang mempromosikan budaya dan keyakinan Jawa yang dipertentangkan dengan ajaran Islam (yang dianggap tidak nJawani itu). Dia juga sering melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang menggugat Islam vis-à-vis budaya Jawa, suatu kali pernah menanyakan kepada saya apakah agama juga diajarakan seperti halnya rasisme. Keluarga kami rata-rata penganut Islam taat, tetapi selalu ada perkecualian memang. Dan tak jadi soal bagi saya. Yang lucu, keponakan saya yang sudah menikah itu tidak terima dipanggil “Dik” oleh kakak sepupunya yang masih TK. Sebagai penganjur pengamalan budaya Jawa, mestinya dia senang-senang saja dipanggil “Dik” oleh anak kecil yang secara silsilah memang kakaknya. Si anak TK itu putra kakak ibunya. Kebiasaan menggunakan sapaan sesuai pêrnah (kedudukan menurut garis keturunan) ini juga sudah banyak ditinggalkan rupanya. Adik saya memanggil anak kakak sepupu saya “Mbak Nurul”. Ini ajaib, padahal anak kakak sepupu saya itu memanggil saya “Pak Nanang” karena pêrnah-nya saya memang pamannya. Keponakan saya promotor “budaya Jawa” tadi tidak menggunakan basa Jawa krama kepada bapak ibunya. Adik saya, yang bersuamikan lelaki “abangan”, menggunakan basa Jawa krama secara minimalis. Begitulah.
Bagi saya, tak ada masalah menjalankan dan melestarikan budaya Jawa, yang saya tidak mau adalah menjalankan ritual berbau keagamaan yang tidak ada ketentuannya dalam Islam. Kembali ke soal bahasa Jawa krama, ceramah terbaik dan paling mengesankan dalam bahasa Jawa halus yang pernah saya simak adalah khotbah Jum’at yang disampaikan seorang bapak sepuh pengurus Muhammadiyah di sebuah masjid di Petir, Piyungan.
Saya masih belum bersemangat merampungkan tulisan ini hingga suatu pagi, belum lama berselang, ketika membeli nasi kuning penjualnya bertanya:
Wangsul ngêtêraken sekolah, Pak?” (Pulang dari mengantar sekolah, Pak? Wangsul tidak tepat dalam kalimat ini, mestinya kondur).
Nggih,” jawab saya.
Sing ditêrké jalêr napa èstri?” (Yang diantar laki-laki atau perempuan? Mestinya Ingkang dipun têrakên kakung napa putri).
Jalêr,” jawab saya (agar tambah kacau mestinya saya jawab kakung haha).
Griyane pundi?” (Tinggal di mana? Mestinya “Dalêmipun pundi?)
Berkat mas penjual nasi kuning itu pertahanan saya bertahun-tahun membenci sesama orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia jebol. Akhirnya saya bisa menerima sesama orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia dalam perbincangan sehari-hari. Sesuatu yang jauh lebih baik daripada kacau-balau dalam berbahasa Jawa.
Bahasa Indonesia, saya rasa, punya fungsi menjaga jarak. Semasa kuliah dulu saya selalu berbahasa Indonesia kepada polisi, sekalipun saya tahu betul yang bersangkutan bisa berbahasa Jawa. Seiring usia bertambah, saya selalu berbahasa Jawa krama dengan polisi. Haha. Kalau mereka berbahasa ngoko, baru saya akan pindah menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi itu tak pernah terjadi.
Meski menjadi minoritas di kalangan anak-anak yang berbahasa Indonesia sejak kecil, saya biasakan anak-anak saya menggunakan bahasa Jawa krama kepada yang lebih tua. Dituding tidak demokratis ya biar. Lagi pula saya tak terlalu paham soal demokrasi selain bahwa demokrasi adalah moderasi kekerasan sebagaimana tercermin dalam ungkapan Abraham Lincoln “The ballot is stronger than the bullet.” Berbahasa Jawa menggunakan gradasi yang dianggap tidak egaliter itu tak ada hubungannya dengan demokrasi menurut saya, itu soal sopan santun saja. Dan untuk apa saya bersikap egaliter, misalnya, dengan paman saya? Di samping itu, saya percaya bahwa bahasa Jawa krama memang dirancang tidak cocok untuk meluapkan marah. Jika marah, istri saya menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada saya. Sehari-hari dia berbahasa Jawa krama kepada saya. Katanya, itulah bentuk penghormatannya kepada saya.
Ada teman yang mengritik saya dengan menyatakan bahwa anak sebaiknya dibiasakan berbahasa Indonesia karena itulah bahasa yang sehari-hari mereka pakai di sekolah. Saya bingung dengan argumen ini, justru karena dipakai di sekolah itu, buat apa diajari di rumah? Pengalaman saya sendiri, hingga kelas 3 SD, guru saya masih banyak menyelipkan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar, misalnya, “Cah, saiki pelajaran bahasa Indonesia, bukuné ditokké” (Anak-anak, sekarang [jam] pelajaran Bahasa Indonesia, keluarkan buku kalian). Dan soal kemampuan berbahasa Indonesia, saya berani diadu dengan teman saya yang gigih memperjuangkan penggunaan bahasa Indonesia untuk anaknya itu :D

Plumbon, 24 Desember 2015


Tuesday, December 22, 2015

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dan Industri Keuangan



referensi tentang prinsip ekonomi Islam dan Industri keuangan

Krisis keuangan global 2008–2009, yang tidak ada presedennya dalam sejarah, memunculkan berbagai macam isu berkenaan dengan stabilitas dan kesehatan sistem keuangan. Hal ini mendorong dilakukannya peninjauan ulang besar-besaran oleh komunitas internasional menyangkut perlunya pembaruan regulasi dan kapasitas arsitektur keuangan internasional yang ada serta upaya mencari solusi yang lebih tahan lama (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010: 7).
Di tengah-tengah lingkungan lebih menantang yang disodorkan oleh krisis keuangan internasional mutakhir, ekspansi global keuangan Islam terus berlangsung dan perkembangannya tetap dinamis. Saat ini keuangan Islam sudah menjadi salah satu segmen keuangan yang tumbuh paling cepat dalam sistem keuangan internasional. Fase perkembangannya yang dimulai dengan penuh semangat sebagai perekonomian domestik-sentris negara-negara Muslim, berubah dengan cepat dalam dekade ini menjadi diakui secara internasional dan diterima sebagai sebuah bentuk intermediasi keuangan yang kompetitif dan kokoh oleh semua masyarakat (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010: 7).
Krisis keuangan global 2008–09 memunculkan berbagai isu berkenaan dengan stabilitas dan ketahanan sistem finansial. Di jantung krisis, yang terjadi adalah nyaris ambruknya fungsi proses intermediasi kekuasaan di tengah-tengah hilangnya kepercayaan masyarakat luas terhadap sistem keuangan (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010:13).
Banyak yang disebut-sebut sebagai penyebab krisis, antara lain adalah kombinasi berbagai kesalahan dalam struktur insentif dan inovasi finansial tak terkendali yang menimbulkan pemberian pinjaman serampangan dan pengambilan risiko (risk-taking) berlebihan. Faktor-faktor lain yang turut berperan termasuk terkikisnya praktek-praktek kehati-hatian yang sehat, di mana bank mengabaikan standar-standar penjaminan (underwriting) dan manajemen risiko demi mengejar keuntungan jangka pendek dan pangsa pasar. Ketika lembaga-lembaga perbankan menggunakan teknik-teknik rekayasa keuangan yang semakin canggih, inovasi keuangan semacam itu tidak didukung oleh peningkatan-peningkatan serupa bagi proses tata kelola dan infrastruktur serta manajemen risiko mereka (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010: 7).
Sebagai sebuah bentuk intermediasi keuangan, keuangan Islam menggabungkan beberapa unsur yang memandu proses mobilisasi dan alokasi dana untuk menggerakkan aktivitas perekonomian produktif dan pembangunan inklusif. Hal yang mendasar bagi keuangan Islam adalah persyaratan bahwa transaksi finansial harus ditopang oleh aktivitas perekonomian riil. Di samping itu, keuangan Islam mengedepankan pembagian keuntungan dan dengan demikian juga pembagian risiko. Unsur-unsur ini membatasi jangkauan leverage dan memberikan penekanan pada transparansi serta pengungkapan dalam dokumentasi kontrak. Secara keseluruhan, keuangan Islam menjanjikan peningkatan disiplin yang berperan dalam menjamin pertumbuhan dan stabilitas finansial (Islamic Finance and Global Financial Stability, 2010: 7).
Kehadiran lembaga-lembaga keuangan Islam seperti perbankan syariah, yang tidak hanya diminati kauam Muslimin melainkan juga di neger-negeri non-Muslim, tentunya menarik perhatian banyak kalangan dan dengan sendirinya memunculkan pertanyaan tentang apa sebetulnya kontribusi Islam bagi industri keuangan.

Prinsip-prinsip Ekonomi Islam
Islam adalah sebuah dien (jalan hidup) yang praktis, mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia tanpa memandang waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Selain itu, Islam adalah agama fitrah yang sesuai dengan sifat dasar manusia (Zainul Arifin, 2002, 4, 5).
Aktivitas keuangan dapat dipandang sebagai wahana bagi masyarakat modern untuk membawa mereka kepada pelaksanaan, setidak-tidaknya, dua ajaran Al Qur’an yaitu:
1.   Prinsip At Ta’awun, yakni saling membantu dan saling bekerja sama antara anggota masyarakat untuk kebaikan, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, “ ... Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran ...” (QS 5:2).
2.   Prinsip menghindari Al Iktinaz, yaitu menahan uang (dana) dan membiarkannya menganggur (idle) dan tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an, “... Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu ...” (QS 4: 29) (Zainul Arifin 2002, h. 11, 12)
Sistem keuangan, dan dengan demikian perbankan, Islam merupakan bagian dari konsep yang lebih luas tentang ekonomi Islam, di mana tujuannya, sebagaimana dianjurkan oleh para ulama, adalah memberlakukan sistem nilai dan etika Islam ke dalam lingkungan ekonomi. Karena dasar etika inilah, keuangan dan perbankan Islam bagi kebanyakan umat Islam bukan sekadar merupakan sistem transaksi komersial. Persepsi Islam dalam transaksi finansial ini oleh kebanyakan kalangan Muslim dianggap sebagai kewajiban agama. Kemampuan lembaga keuangan Islam untuk menarik menarik investor bukan hanya tergantung pada tingkat kemampuan lembaga itu menghasilkan keuntungan, tetapi juga pada persepsi bahwa lembaga tersebut secara sungguh-sungguh memperhatikan batas-batas yang digariskan Islam. (Tan Sri Datuk Ahmed Mohamed Ibrahim, Islamic Banking:An Overview, penyunting Daphne Buckmaster, Institute of Islamic Banking and Insurance, London, 1996, h. 15 dikutip dalam Zainul Arifin, 2002: 13).
Dalam kehidupan sehari-hari, Islam secara bersama-sama dapat diterjemahkan ke dalam teori dan juga dapat diinterpretasikan ke dalam praktek tentang bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Dalam ajaran Islam, perilaku individu dan masyarakat ditujukan ke arah bagaimana cara pemenuhan kebutuhan mereka dilaksanakan dan bagaimana menggunakan sumber daya yang ada. Hal ini menjadi subjek yang dipelajari dalam ekonomi Islam sehingga implikasi ekonomi yang dapat ditarik dari ajaran Islam berbeda sari ekonomi tradisional. Oleh sebab itu, hanya pemeluk Islam yang berimanlah yang dapat mewakili satuan ekonomi Islam (M. M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Pengantar dan Penerjemah M. Husein Sawit, S.E., Ph D, PT Bangkit Daya Insana, Jakarta, 1995, dikutip dalam Zainul Arifin, 2002: 13).
Secara garis besar, prinsip-prinsip ekonomi Islam dapat diuraikan sebagai berikut:
1)   Dalam ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkan seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun, yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
2)   Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3)   Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. Seorang Muslim apakah dia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah dalam Al Qur’an yang berbunyi, “... Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan secara suka sama suka di antara kalian ...” (QS 4:29).
4)   Kepemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur’an mengungkapkan bahwa, “Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian ...” (QS 57:7). Oleh karena itu, sistem ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan sistem ekonomi kapitalis di mana kepemilikan indusrtri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum.
5)   Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari oleh Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api.” Sunnah Rasulullah ini menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan pangan, harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasasi oleh perorangan.
6)   Seorang Muslim harus takut kepada Allah dan hari akhir, sebagaimana diuraikan dalam Al Qur’an, “Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dilakukannya. Dan mereka tidak teraniaya ...” (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.
7)   Seorang Muslim yang kekayaannya melebihi ukuran tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Menurut pendapat para ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (idle assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emak, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (net earning from transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih invetasi.
8)   Islam melarang setiap pembayaran bunga (riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur’an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur’an secara berturut-turut. Pada tahap pertama dalam Surat (30) Ar Rum ayat 39 Allah berfirman, “Dan suatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar ia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridlaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya.”
Tahap kedua Allah berfirman dalam Surat (4) An Nisa’ ayat 160-161, “Maka disebabkan karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka yang baik yang (dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta manusia dengan jalan yang batil. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Tahap ketiga diturunkan oleh Allah melalui surat (3) Ali Imran ayat 130, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Tahap terakhir larangan riba terdapat dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 278-279, “Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu mengerjakan (perintah itu), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (Zainul Arifin, 2002: 13–16).

Islam bukanlah satu-satunya agama yang melarang pembayaran bunga. Banyak pemikir zaman dahulu yang berpendapat bahwa pembayaran bunga adalah tidak adil. Bahkan meminjamkan uang dengan bunga dilarang pada zaman Yunani kuno. Aristoteles adalah orang yang amat menentang dan melarang bunga, sedangkan Plato juga mengutuk praktek bunga. (Zainul Arifin, 2002: 16).
Dalam Perjanjian Lama larangan riba tercantum dalam Imamat 25:27, “... maka dia harus memasukkan tahun-tahun sesudah penjualannya itu dalam perhitungan, dan kelebihannya haruslah dikembalikannya kepada orang yang membeli dari padanya, supaya dia boleh pulang ke tanah miliknya,” Ulangan 23:19 yang berbunyi, “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau apa pun yang dapat dibungakan,” sedangkan dalam Perjanjian Baru larangan riba dinyatakan dalam Lukas 6:35, “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Maha Tinggi, sebab Dia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar, bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Dalam Islam tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperbolehkan (Zainul Arifin, 2002: 17). Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept sehingga selalu berputar dalam perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik perekonomian (Zainul Arifin, 2002: 17–18).
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan harta, Islam menganjurkan dilakukannya investasi dengan prinsip musyarakah dan mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi hasil. Bila tidak ingin mengambil risiko ber-musyarakah atau ber-mudharabah Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba (Zainul Arifin, 2002: 18).
Secara mikro, qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qard membuat percepatan perputaran uang bertambah cepat, dan itu artinya bertambahnya darah segar bagi perekonomian sehingga pendapatan nasional meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya. Demikian pula, pengeluaran shadaqah akan memberikan manfaat yang kurang lebih sama dengan qard (Zainul Arifin, 2002:18)
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, namun Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cicit Rasulullah Muhammad, adalah orang yang pertama kali menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred payment) lebih tinggi daripada harga tunai (Zainul Arifin, 2002: 18).
Komponen-komponen mendasar keuangan Islam yang diuraikan di atas, terutama proposisi nilai pembagian risiko dan keuntungan, ditopang oleh pendekatan etis terhadap traksaksi-transaksi keuangan. Hal ini juga melibatkan perhatian lebih besar terhadap transaksi-transaksi non-profit dan segmen-segmen masyarakat yang tidak mempunyai banyak modal, di samping perhatian pada pembiayaan yang etis dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, industri jasa keuangan Islam juga menarik dan bisa diakses mereka yang kurang beruntung yang pada umumnya tidak mempunyai sumber daya pendanaan kecuali dari sektor keuangan semu atau informal. Dalam prosesnya, pemberdayaan ekonomi mereka yang kurang beruntung tersebut akan mengangkat status mereka dari segmen “tak layak bank” menjadi “layak bank”. Hal ini tentu saja memberikan manfaat bagi para peminjam, sistem keuangan, dan masyarakat pada umumnya serta meningkatkan inklusi finansial. Promosi sebuah sistem keuangan yang lebih inklusif pada gilirannya akan meningkatkan proses intermediasi keuangan dan menambah efektivitas kebijakan-kebijakan keuangan secara keseluruhan. Akhirnya, melalui peningkatan arus finansial lintas batas, keuangan Islam juga dapat ikut serta lebih mendekatkan kaitan-kaitan ekonomi dan keuangan di seluruh dunia dengan memajukan pertumbuhan yang saling menguatkan dalam perekonomian dunia (Islamic Finance and Global Financial Stability, h. 22).
Islam adalah sebuah jalan hidup praktis yang mengajarkan segala yang baik dan bermanfaat bagi manusia tanpa memandang waktu, tempat atau tahap-tahap perkembangannya. Selain itu, Islam adalah agama fitrah yang sesuai dengan sifat dasar manusia.
Bagi orang-orang yang beriman semua perintah Allah pasti akan mendatangkan manfaat, dan larangan Allah (jika dilanggar) pasti akan mendatangkan mudarat. Perintah kepada kaum Muslimin dalam Surat Al Baqarah untuk mencatat transaksi utang piutang dan dihadirkan dua orang saksi jika tidak ada perjanjian tertulis sebetulnya sudah menunjukkan dengan jelas bahwa ajaran  Islam mengantisipasi sistem perekonomian di segala zaman. Selain itu, fakta bahwa Nabi Muhammad dan para sahabat beliau kebanyakan berprofesi sebagai pedagang tentulah menjadikan soal-soal ekonomi, termasuk keuangan dan perdagangan, sesuatu yang tidak asing dalam ajaran Islam. Dengan sejarahnya yang begitu panjang, tentu saja wajar jika Islam memberikan kontribusi besar bagi perbaikan industri keuangan, misalnya:
1.   Bagi internal umat Islam, sistem keuangan Islam menjanjikan sebuah sistem yang membawa berkah di mana halal dan haram sangat diperhatikan. Penekanan larangan riba dan halalnya perniagaan di samping memiliki dimensi ukhrawi jelas memiliki dimenasi duniawi, yakni keadilan sosial. Sistem keuangan yang bebas dari riba, seperti perbankan syariah, mendorong percepatan perputaran perekonomian dengan ikut sertanya umat Islam meminimalkan dana yang menganggur. Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar umat Islam tidak ragu-ragu lagi berbisnis terkait larangan riba.
2.   Bagi umat manusia pada umumnya, Islam menawarkan sebuah sistem keuangan yang mencegah terjadinya penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang dan kemelaratan di sebagian terbesar orang yang lain, karena Islam menekankan kepentingan bersama di atas kepentingan atau keuntungan perorangan. Di samping itu Islam juga melarang akumulasi kekuasaan oleh beberapa orang saja seperti yang lazim berlaku dalam masyarakat kapitalis. Kendati demikian, Islam juga sangat menghormati hak milik perorangan sejauh kepemilikan itu tidak merugikan kemaslahan umum serta tidak termasuk hal-hal yang ditetapkan sebagai milik umat (umum). Prinsip At Ta’awanu (tolong-menolong) dalam kebaikan yang mendasari sistem keuangan Islam tentu saja merupakan kontribusi besar bagi industri keuangan yang memempertimbangkan keadilan sosial.
3.   Adapun prinsip Islam yang mencela penimbunan uang (dana menganggur) tentulah sangat bagus bagi pertumbuhan ekonomi produktif bagi siapa saja, Muslim maupun non-Muslim. Penekanan pada pentingnya transaksi qard dalam berbagai kajian fikih muamalah sejalan dengan prinsip penghindaran Al Iktinaz, yaitu menahan uang dan membiarkannya menganggur serta tidak berputar dalam transaksi yang bermanfaat bagi masyarakat umum.
4.   Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang sarat dengan pendekatan etis, seperti prinsip bagi hasil, dapat memberikan sumbangan besar bagi industri keuangan yang lebih inklusif, bagi sebuah perekonomian dunia yang tumbuh saling menguatkan antara berbagai segmen masyarakat di seluruh dunia. Islam sangat menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkannya tanpa imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan adalah riba. Secara mikro, qard tidak memberikan manfaat langsung bagi orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini disebabkan karena pemberian qard membuat percepatan perputaran uang bertambah cepat, dan itu artinya bertambahnya darah segar bagi perekonomian sehingga pendapatan nasional meningkat. Dengan peningkatan pendapatan nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya, dan dalam hal ini sumbangan Islam bagi perbaikan industri keuangan sangat terasa.
5.     Islam pernah menguasai dunia selama kurang lebih 700 tahun, tentu saja prinsip-prinsip perekonomian yang diberlakukan di wilayah kekuasaan kaum Muslim. Dan kemakmuran bersama seluruh masyarakat yang pernah tercapai tergambar dalam sejarah pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz di mana orang tidak tahu lagi ke mana sedekah bisa diberikan karena tidak satu pun membutuhkan. Kisah tentang salah seorang sultan Turki yang menaruh hasil bumi di puncak gunung agar dimakan burung-burung karena tak ada lagi manusia yang kekurangan pangan juga bisa dimaknai bahwa sistem perekonomian pernah mampu mewujudkan kemakmuran publik. Ini saja sudah cukup sebagai bukti sumbangan Islam bagi industri keuangan. Selebihnya adalah persoalan politik, dan harus diakui bahwa saat ini umat Islam berada pada posisi tidak berdaya. Tetapi, jelas, tidak akan selamanya demikian. Sistem keuangan Islam sudah tersedia sejak dahulu, tinggal dimodifikasi sesuai perkembangan zaman, dan bisa diterapkan apabila umat Islam mempunyai kekuatan politik yang memadai. Terlebih saat ini keuangan Islam sudah menjadi salah satu segmen keuangan yang tumbuh paling cepat dalam sistem keuangan internasional. Di tengah-tengah lingkungan lebih menantang yang disodorkan oleh krisis keuangan internasional mutakhir, ekspansi global keuangan Islam terus berlangsung dan perkembangannya tetap dinamis.

Daftar Rujukan
Islamic Finance and Global Financial Stability, Islamic Financial Services Board,        Islamci Development Bank, Islamic Research and Training Institute, 2010.
Zainul Arifin, Drs., MBA, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, Alvabet, Jakarta, 2002.