Masih ingat perkara memalukan yang sebelumnya
disanjung-sanjung sebagai solusi “cespleng” bagi krisis energi kita, Blue
Energy dan saudara kembarnya Banyugeni? Untunglah kita dikaruniai ingatan
pendek hingga kita baik-baik saja menerima banyak perkara memalukan lainnya
menyusul resep cespleng jalan pintas minyak ajaib itu. Lebih dari itu kita
adalah bangsa arif bijaksana yang teguh memegang kata-kata mutiara “selalu ada
hikmah di balik musibah”. Memang ada hikmah yang bisa dipetik dari “penemuan”
yang menjadi ledekan pers internasional itu, yakni kita makin menyadari bahwa
kita, setidak-tidaknya sebagian besar dari kita, menggemari gagasan ratu adil
yang bakal menuntaskan segala kesulitan secara gampang dan murah.
Begitu bersemangatnya orang menunggu si cespleng Blue
Energy hingga ketika Joko Suprapto (yang oleh orang ternama di negeri ini
disebut “seorang peneliti yang lebih mengutamakan proses penelitian di lapangan
dan bukan teori”) mencuat dugaan adanya konspirasi mafia minyak untuk
menghabisi siapa saja yang berpotensi menggoyang tahta Raja Minyak Karang.
Mudah sekali para penentang Blue Energi mematahkan dugaan itu dengan mengatakan
itulah teori konspirasi, teori andalan orang-orang yang ketakutan dan bodoh.
Ringkas kata, teori konspirasi tak lebih dari imajinasi berlebihan. Para
penentang Blue Energy benar, tidak ada konspirasi apa pun untuk menghambat Blue
Energy. Tampaknya para mafia minyak tidak sedungu dugaan para penggemar Blue
Energy dan Banyugeni, buat apa mengurusi pembual? Kasus Joko Suprapto cs. itu
tidak berbeda dengan tudingan konspirasi yang dirancang kerajaan bisnis minyak
untuk menghabisi Stanley Meyer.
Hampir semua kegagalan upaya menciptakan solusi alternatif
super mujarab tanpa efek samping bagi krisis energi selalu mengkambinghitamkan
korporasi minyak. Salah satunya adalah klaim menakjubkan Stanley Meyer bahwa
dia, pada tahun 1995, berhasil menemukan mesin yang menggunakan bahan bakar
air. Dia katakan bahwa kendaraan bermesin Meyer kreasinya sanggup menempuh
perjalanan dari Los Angeles ke New York hanya dengan bahan bakar 83 liter air.
Begitu meyakinkan klaim Meyer, para investor pun berebut ingin mengongkosi
penemuannya. Enam tahun berlalu, karya Meyer tidak tampil juga. Para investor
yang geram menyeret Meyer ke pengadilan. Di pengadilan Ohio, Meyer tidak mampu
mendemonstrasikan bahan bakarnya. Dia juga tidak bisa menunjukkan mobil peraga
berbahan bakar air yang memikat para investor itu. Akhir 1996, pengadilan
menyatakan Meyer menipu dan mewajibkannya membayar $25000 sebagai ganti rugi
kepada para investornya. Selanjutnya paten Meyer dicabut. Dua tahun kemudian,
Meyer meninggal dunia akibat tekanan darah tinggi setelah makan di sebuah
restoran. Para penggemar beratnya menuding kalangan kekaisaran bisnis minyak
sebagai dalang pembunuhan Meyer.
Kesamaan antara Stanley Meyer dan Joko Suprapto adalah
berhasil menipu investor dan gagal menunjukkan temuan mahahebat yang mereka
jajakan.
Mudahnya para penjaja (dan penggemar fanatik) gagasan-gagasan abrakadabra menyebut adanya konspirasi jika upaya mereka gagal menyebabkan banyak analisis kritis dituding sebagai teori konspirasi. Dan ini menguntungkan pihak-pihak pelaku konspirasi (atau pencipta koinsidensi yang kelewatan sempurnanya). Misalnya ketika Markus Wauran dalam artikel berjudul “McCain, Angela Merkel, dan Isu PLTN” (Suara Pembaruan 16 Juli 2008) mensinyalir keterlibatan mafia minyak dalam gerakan penolakan PLTN di Indonesia, orang sulit menanggapi sinyalemen itu secara sungguh-sungguh. Sebab, tentu saja, orang enggan disebut menganut, apalagi menganjurkan, teori konspirasi. Teori konspirasi selalu dikaitkan dengan gagasan-gagasan yang, bagi kebanyakan orang, menggelikan dan tolol seperti teori konspirasi bahwa Freemasonry atau Opus Dei adalah kelompok kecil yang mengendalikan kehidupan dunia, bahwa Presiden Obama adalah Muslim asal Kenya yang menyembunyikan keislamannya. Hanya orang yang kurang berpendidikan saja yang mau menelan teori konspirasi, kira-kira begitu kata para pengecam teori konspirasi.
Mudahnya para penjaja (dan penggemar fanatik) gagasan-gagasan abrakadabra menyebut adanya konspirasi jika upaya mereka gagal menyebabkan banyak analisis kritis dituding sebagai teori konspirasi. Dan ini menguntungkan pihak-pihak pelaku konspirasi (atau pencipta koinsidensi yang kelewatan sempurnanya). Misalnya ketika Markus Wauran dalam artikel berjudul “McCain, Angela Merkel, dan Isu PLTN” (Suara Pembaruan 16 Juli 2008) mensinyalir keterlibatan mafia minyak dalam gerakan penolakan PLTN di Indonesia, orang sulit menanggapi sinyalemen itu secara sungguh-sungguh. Sebab, tentu saja, orang enggan disebut menganut, apalagi menganjurkan, teori konspirasi. Teori konspirasi selalu dikaitkan dengan gagasan-gagasan yang, bagi kebanyakan orang, menggelikan dan tolol seperti teori konspirasi bahwa Freemasonry atau Opus Dei adalah kelompok kecil yang mengendalikan kehidupan dunia, bahwa Presiden Obama adalah Muslim asal Kenya yang menyembunyikan keislamannya. Hanya orang yang kurang berpendidikan saja yang mau menelan teori konspirasi, kira-kira begitu kata para pengecam teori konspirasi.
Mempercayai begitu saja teori konspirasi tentu perbuatan
tolol, tetapi mengamini semua penjelasan resmi pihak terkait jelas tak kalah
dungu. Orang yang otaknya tidak sakit pasti tidak akan mengharapkan Standard Oil
of California, General Motors, Firestone Tire and Rubber Company, B. F.
Phillips Petroleum serta Mac Manufacturing menyatakan, pada tahun 1936,
menyusun persekongkolan (konspirasi) untuk menangguk untung dengan merampas hak
rakyat Amerika Serikat menikmati transportasi yang mudah dan murah. Para
jurilah yang membongkar persekongkolan perusahaan-perusahaan tersebut dalam
melanggar ketentuan anti-trust yang
mengakibatkan gulung tikarnya jaringan tram listrik di negeri itu dan
digantikan oleh bus-bus berbahan bakar diesel buatan General Motors. Karena
moda transportasi itu tidak nyaman dan menyulitkan, orang pun terpaksa membeli
mobil yang mudah ditebak bikinan siapa.
Konspirasi lain yang terbongkar terkait dengan kecelakaan
tanker raksasa Exxon Valdez. Untuk membungkam Charles Hamel, pialang minyak
pengkritik sengit penanganan kandasnya Exxon Valdez, Alyeska Pipeline Service
Company menyewa Wackenhut Corporation untuk mencari-cari kesalahan Hamel agar
bisa diseret ke meja hijau. Para detektif swasta perusahaan keamanan Alaska itu
melakukan segala cara termasuk mendirikan organisasi lingkungan hidup bohongan,
Ecolit Group, guna menghimpun informasi tentang para pengamat minyak yang
kritis. Wackenhut bahkan menyadap kamar-kamar hotel, pertemuan-pertemuan para pengamat
direkam dan mereka terus dimata-matai. Operasi itu akhirnya tercium Komite
Urusan Dalam Negeri DPR Amerika Serikat. Komite ini mendapati Wackenhut
terlibat dalam serangkaian tindakan mengecoh, sangat agresif dan berpotensi
(kalau bukan malah memang) ilegal untuk mencapai tujuan mereka, yaitu
membungkam para pengkritik pekerjaan tidak beres Alyeska.
Exxon Valdez |
Sejak masih dikendalikan oleh John D. Rockefeller,
pendiri Standard Oil, kerajaan raksasa minyak ini sering diguncang kontroversi,
namun tetap perkasa hingga hari ini. Standard Oil menuai perhatian dan
kegusaran publik karena monopoli dalam industri minyak dan pengaruh mereka
dalam politik dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Reputasi Standard Oil
rontok di mata publik menyusul diterbitkannya “The History of Standard Oil Company” oleh Ida M. Tarbel pada tahun
1904, hal ini mendorong pemerintah untuk menindak perusahaan tersebut. Tujuh
tahun kemudian desakan publik memuncak, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutus
bahwa Standard Oil harus ditutup dan dipecah menjadi 34 perusahaan. Dua di
antaranya adalah Jersey Standard (“Standard Oil of New Jersey”) yang kelak
menjadi Exxon, dan Socony (“Standard Oil of New York”) yang nantinya menjadi
Mobil. Pada tahun 1999 keduanya digabung lagi menjadi apa yang kini kita kenal
sebagai ExxonMobil, pemilik supertanker Exxon Valdez penebar malapetaka
ekologis di perairan Alaska dan penggagas permufakatan jahat tersebut di atas.
Bukan itu saja, ExxonMobil menolak membayar putusan membayar ganti rugi sebesar
5 miliar dolar AS akibat tankernya yang menghantam Karang Bligh itu.
Di belahan dunia yang lain, Afrika, ExxonMobil menguasai
kontrak pemasangan pipa Chad – Kamerun yang didanai Bank Dunia. Proyek ini
setali tiga uang daya rusaknya dengan proyek Shell di Delta Niger di mana uang
dikorup tandas oleh rezim brutal dan represif sedangkan kehidupan masyarakat
setempat dicabik-cabik polusi. Di Indonesia ExxonMobil pernah digugat oleh
International Labor Rights Fund karena mendukung kekejaman militer Indonesia di
Aceh.
Beroperasi di 200 negara dengan 92.500 pegawai dan
pemasukan kotor 246 miliar dolar AS serta laba bersih 21,510 miliar dolar AS
(data tahun 2005), ExxonMobil adalah pemasok terbesar dana kampanye George Bush
Jr. sehingga mampu mendikte banyak kebijakan pemerintah Amerika Serikat,
misalnya mengganti Bob Watson sebagai ketua Intergovermental Panel on Climate
Change (IPCC) dengan Rajendra Pachauri yang belakangan dipersoalkan
kredibilitasnya sebagai ilmuwan. Lengkap sudah ciri-ciri ExxonMobil sebagai
korporasi mutakhir yang kuasanya melebihi negara berkat penguasaan atas
teknologi, informasi, modal dan peraturan global. Penguasaan ini memperkuat
kedigdayaan korporasi (bukan hanya minyak sebetulnya, tetapi yang paling
menguasai hajat hidup orang banyak memang minyak) lewat penjajahan pikiran yang
sulit dilawan ketika media massa sudah dikuasai sehingga menekuk-nekuk berita
serta opini adalah soal mudah.
Susan George pernah mengatakan, “Jika Anda bisa menjajah
pikiran, semua masalah selebihnya adalah perkara gampang. Kalau sudah begitu,
masyarakat tidak bakalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat, apalagi
memberikan jawaban.” Membentuk cara berpikir yang selalu memandang semua
tulisan yang tidak bersimpati pada korporasi, khususnya minyak, adalah teori
konspirasi tentulah termasuk dalam pekara gampang itu.
Tulisan ini pernah dimuat di situs Global Forum Institute
Tulisan ini pernah dimuat di situs Global Forum Institute
No comments:
Post a Comment