Organisasi
menghadapi tekanan terus-menerus untuk berubah dan beradaptasi.
Perubahan-perubahan kemasyarakatan yang mempengaruhi gaya hidup, teknologi, dan
perekonimian bisa menciptakan ancaman dan peluang bagi hampir semua organisasi.
Organisasi yang di masa lalu mampu melayani konsumen yang sama di pasar yang
sama, menggunakan teknologi produksi yang sama, dan beroperasi dalam lanskap
ekonomi domestik yang relatif stabil, kini sudah tidak ada lagi. Pasar-pasar
yang menguntungkan mengundang masuknya kompetitor-kompetitor baru; perubahan
teknologi dalam produksi berpengaruh pada efisiensi; perubahan gaya hidup
mengikuti preferensi bagi jenis-jenis produk dan jasa tertentu; dan keputusan
ekonomi harus dibuat dalam sebuah konteks global (Jeffrey A. Mello, 2006: 566).
Organisasi-organisasi
kontemporer yang ingin tetap kompetitif harus tampil fleksibel dan responsif
terhadap lingkungan mereka. Organisasi-organisasi tersebut harus mengembangkan
cara-cara untuk menghadapi semakin tertinggalnya keterampilan karyawan mereka
dan pasar kerja pada umumnya; di samping harus mempertimbangkan bentuk-bentuk
alternatif struktur organisasi yang terpengaruh oleh penurunan skala operasi,
penjualan anak-anak perusahaan, dan opsi-opsi merger serta akuisi yang diambil
perusahaan. Dari satu sudut pandang Sumber Daya Manusia kenyataan demikian
sering menghendaki dilakukannya pelatihan dan pengembangan karyawan. Tetapi
dalam latar skenario yang semakin bertambah banyak, organisasi harus
menganalisis secara strategis tenaga kerjanya dan tujuan-tujuannya serta membuat
keputusan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Di sisi lain, para pekerja
saat ini juga tidak banyak menghabiskan waktu bersama majikan tunggal
dibandingkan dengan para pekerja pada masa-masa sebelumnya. Para pekerja masa
kini banyak melakukan perubahan karier di sepanjang riwayat kerja mereka.
Keputusan-keputusan gaya hidup personal, peluang dengan organisasi-organisasi
lain dan motivasi kewirausahaan menyebabkan banyak karyawan meninggalkan
organisasi mereka (Jeffrey A. Mello, 2006: 566).
Tekanan untuk
tetap kompetitif dan efisien, diiringi fakta bahwa para pekerja sudah tidak
begitu berkomitmen kepada majikan dibandingkan yang terjadi di masa lalu
menjadikan proses pemisahan karyawan sebagai sebuah isu strategis utama bagi
organisasi (h. 566).
Pengurangan tenaga
kerja atau pemberhentian karyawan dari pekerjaan pun ditempuh oleh pihak
majikan untuk menata ulang tenaga kerja mereka. Pengurangan tenaga kerja
menjadi semakin umum dilakukan dalam hampir semua industri dan sering kali
disebabkan oleh restrukturisasi organisasi menyusul terjadinya merger atau
akuisisi. Pengurangan tenaga kerja sering kali ditempuh agar sebuah organisasi
bisa lebih kompetitif karena mengurangi biaya (h. 566).
Organisasi
mengurangi ukuran tenaga kerja karena tiga alasan: inefisiensi, tidak adanya
kemampuan beradaptasi dengan pasar, dan melemahnya posisi kompetitif dalam
industri. Pada umumnya, yang menjadi kekuatan pendorong utamanya adalah
efisiensi. Di sebagian besar organisasi yang membutuhkan pengeluaran paling
besar adalah tenaga kerja dan pembayaran, terutama dalam organisasi yang
bergerak di bidang jasa yang kini menjadi semakin signifikan dalam perekonomian
dunia. Efisiensi diupayakan dengan mengurangi biaya tenaga kerja dan
penyelesaian pekerjaan dengan personel lebih sedikit, hal ini bisanya dilakukan
dengan merancang ulang proses kerja. Menarik untuk diperhatikan, harga saham
sebuah organisasi sering kali melambung ketika pemutusan hubungan kerja
diumumkan. Rupanya keputusan demikian menciptakan harapan di kalangan investor
akan adanya peningkatan kinerja finansial jangka pendek (h. 567).
Majikan yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sering memberi tahu karyawan yang
bersangkutan 60 hari sebelumnya dan segera membebaskan mereka dari tugas-tugas
yang menjadi kewajiban mereka. Para karyawan yang di-PHK tetap memperoleh gaji
selama dua bulan dan bisa memanfaatkan tempo dua bulan itu sebagai periode
penyesuaian, mencari pekerjaan baru, dan mempersiapkan diri keluar dari
organisasi. Hal ini tidak hanya membantu karyawan dalam masa tansisi dan
mencari pekerjaan baru, tetapi juga turut memastikan agar karyawan yang
diberhentikan tidak menuntut jaminan kompensasi pengangguran (h. 567).
Guna memudahkan
transisi (dan memastikan pembayaran jaminan pengangguran tetap rendah) banyak
organisasi memberlakukan program untuk membantu karyawan yang diberhentikan
dengan memberikan konseling pekerjaan dan pelatihan (outplacement programs). Program outplacement
ini, yang bisa dilakukan oleh organisasi sendiri atau dikontrakkan ke penyedia
jasa eksternal, tidak hanya memberikan bantuan agar karyawan mampu berdiri
sendiri tetapi juga berfungsi sebagai alat hubungan masyarakat: Pelayanan ini
membantu mempertahankan dukungan dan itikad baik karyawan yang masih
dipekerjakan dengan membuat mereka merasa bahwa organisasi akan memikirkan
nasib mereka sekiranya pemutusan hubungan kerja harus menimpa mereka di masa
mendatang. Selain membantu menjaga moral dan motivasi para pekerja yang tidak
di-PHK, program outplacement
mengurangi risiko gugatan oleh mantan karyawan yang merasa kecewa (h. 567).
Bagaimanapun juga,
pemutusan hubungan kerja kadang-kadang dihindari dengan perencanaan yang
matang. Manfaat utama perencanaan sumber daya manusia srategis adalah
memastikan agar persediaan dan permintaan karyawan diseimbangkan ketika
menghindari biaya terkait dengan kelebihan maupun kekurangan karyawan yang
berlebihan. Dalam banyak kasus perencanaan sumber daya manusia yang efektif
bisa mengurangi atau menghapus kebutuhan untuk melakukan pengurangan tenaga
kerja pemutusan hubungan kerja. Sebesar apa pun surplus yang ada, majikan harus
mengidentifikasi alasan sesungguhnya di balik jumlah berlebihan untuk
menentukan respons yang tepat (h. 567).
Surplus jangka
panjang sering bisa dikelola tanpa pemutusan hubungan kerja dengan penghentian
rekrutmen karyawan (hiring freezes),
tidak melakukan penggantian karyawan yang keluar, menawarkan insentif pensiun
dini, dan melalui pelatihan silang karyawan-karyawan tertentu agar mereka mampu
mengembangkan keterampilan yang berpotensi dibutuhkan organisasi. Surplus
jangka pendek bisa dikelola melalui pemberian pinjaman atau mensubkontrakkan
karyawan, menawarkan pengunduran diri sukarela, menerapkan pengurangan gaji di
semua lapisan, atau menempatkan ulang karyawan ke fungsi, lokasi, dan unit lain
(h. 568).
Dua solusi yang
lebih berorientasi kebijakan untuk mengatasi kelebihan karyawan bisa jadi
melibatkan upaya memberikan porsi lebih besar kompensasi bagi kinerja divisi
atau organisasi, bisa pula melibatkan penempatan karyawan reguler organisasi
kurang dari 100 persen dan membuat perbedaan dengan karyawan sementara atau
menawarkan kerja lembur. Strategi pertama menciptakan sebuah rencana pembayaran
fleksibel atau bervariasi untuk mengontrol biaya karena pengeluaran pembayaran
gaji terkait langsung dengan profitabilitas organisasi. Strategi kedua
menciptakan tenaga kerja fleksibel atau bervariasi yang bisa diperluas atau
dipersempit untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi bisnis (h. 568).
Kedua strategi ini
bisa dirangkum sebagai berikut:
Jangka panjang
|
Jangka Pendek
|
Kebijakan
|
- Menghentikan
rekrutmen karyawan
- Pengurangan
karyawan secara sukarela dan bertahap
- Pelatihan silang
karyawan
|
-
Memberikan pinjaman atau
mensubkontrakkan pekerja
-
Pengunduran diri sukarela
-
Pengurangan gaji di seluruh tingkatan
-
Penempatan ulang karyawan
|
-
Persentase kompensasi lebih besar
terkait dengan kinerja.
-
Karyawan kurang dari 100%
|
Sumber: JeffreyA. Mello, Strategic Human Resource
Management, Thomson, South-Wester, 2006.
Sumber gambar: http://www.bidnessetc.com/41730-dow-chemical-co-dow-announces-3-global-workforce-reduction/
No comments:
Post a Comment