Pages

Sunday, January 3, 2016

Pengurangan Tenaga Kerja



referensi sumber daya manusia pengurangan tenaga kerja

Organisasi menghadapi tekanan terus-menerus untuk berubah dan beradaptasi. Perubahan-perubahan kemasyarakatan yang mempengaruhi gaya hidup, teknologi, dan perekonimian bisa menciptakan ancaman dan peluang bagi hampir semua organisasi. Organisasi yang di masa lalu mampu melayani konsumen yang sama di pasar yang sama, menggunakan teknologi produksi yang sama, dan beroperasi dalam lanskap ekonomi domestik yang relatif stabil, kini sudah tidak ada lagi. Pasar-pasar yang menguntungkan mengundang masuknya kompetitor-kompetitor baru; perubahan teknologi dalam produksi berpengaruh pada efisiensi; perubahan gaya hidup mengikuti preferensi bagi jenis-jenis produk dan jasa tertentu; dan keputusan ekonomi harus dibuat dalam sebuah konteks global (Jeffrey A. Mello, 2006: 566).
Organisasi-organisasi kontemporer yang ingin tetap kompetitif harus tampil fleksibel dan responsif terhadap lingkungan mereka. Organisasi-organisasi tersebut harus mengembangkan cara-cara untuk menghadapi semakin tertinggalnya keterampilan karyawan mereka dan pasar kerja pada umumnya; di samping harus mempertimbangkan bentuk-bentuk alternatif struktur organisasi yang terpengaruh oleh penurunan skala operasi, penjualan anak-anak perusahaan, dan opsi-opsi merger serta akuisi yang diambil perusahaan. Dari satu sudut pandang Sumber Daya Manusia kenyataan demikian sering menghendaki dilakukannya pelatihan dan pengembangan karyawan. Tetapi dalam latar skenario yang semakin bertambah banyak, organisasi harus menganalisis secara strategis tenaga kerjanya dan tujuan-tujuannya serta membuat keputusan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja. Di sisi lain, para pekerja saat ini juga tidak banyak menghabiskan waktu bersama majikan tunggal dibandingkan dengan para pekerja pada masa-masa sebelumnya. Para pekerja masa kini banyak melakukan perubahan karier di sepanjang riwayat kerja mereka. Keputusan-keputusan gaya hidup personal, peluang dengan organisasi-organisasi lain dan motivasi kewirausahaan menyebabkan banyak karyawan meninggalkan organisasi mereka (Jeffrey A. Mello, 2006: 566).
Tekanan untuk tetap kompetitif dan efisien, diiringi fakta bahwa para pekerja sudah tidak begitu berkomitmen kepada majikan dibandingkan yang terjadi di masa lalu menjadikan proses pemisahan karyawan sebagai sebuah isu strategis utama bagi organisasi (h. 566).
Pengurangan tenaga kerja atau pemberhentian karyawan dari pekerjaan pun ditempuh oleh pihak majikan untuk menata ulang tenaga kerja mereka. Pengurangan tenaga kerja menjadi semakin umum dilakukan dalam hampir semua industri dan sering kali disebabkan oleh restrukturisasi organisasi menyusul terjadinya merger atau akuisisi. Pengurangan tenaga kerja sering kali ditempuh agar sebuah organisasi bisa lebih kompetitif karena mengurangi biaya (h. 566).
Organisasi mengurangi ukuran tenaga kerja karena tiga alasan: inefisiensi, tidak adanya kemampuan beradaptasi dengan pasar, dan melemahnya posisi kompetitif dalam industri. Pada umumnya, yang menjadi kekuatan pendorong utamanya adalah efisiensi. Di sebagian besar organisasi yang membutuhkan pengeluaran paling besar adalah tenaga kerja dan pembayaran, terutama dalam organisasi yang bergerak di bidang jasa yang kini menjadi semakin signifikan dalam perekonomian dunia. Efisiensi diupayakan dengan mengurangi biaya tenaga kerja dan penyelesaian pekerjaan dengan personel lebih sedikit, hal ini bisanya dilakukan dengan merancang ulang proses kerja. Menarik untuk diperhatikan, harga saham sebuah organisasi sering kali melambung ketika pemutusan hubungan kerja diumumkan. Rupanya keputusan demikian menciptakan harapan di kalangan investor akan adanya peningkatan kinerja finansial jangka pendek (h. 567).
Majikan yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sering memberi tahu karyawan yang bersangkutan 60 hari sebelumnya dan segera membebaskan mereka dari tugas-tugas yang menjadi kewajiban mereka. Para karyawan yang di-PHK tetap memperoleh gaji selama dua bulan dan bisa memanfaatkan tempo dua bulan itu sebagai periode penyesuaian, mencari pekerjaan baru, dan mempersiapkan diri keluar dari organisasi. Hal ini tidak hanya membantu karyawan dalam masa tansisi dan mencari pekerjaan baru, tetapi juga turut memastikan agar karyawan yang diberhentikan tidak menuntut jaminan kompensasi pengangguran (h. 567).
Guna memudahkan transisi (dan memastikan pembayaran jaminan pengangguran tetap rendah) banyak organisasi memberlakukan program untuk membantu karyawan yang diberhentikan dengan memberikan konseling pekerjaan dan pelatihan (outplacement programs). Program outplacement ini, yang bisa dilakukan oleh organisasi sendiri atau dikontrakkan ke penyedia jasa eksternal, tidak hanya memberikan bantuan agar karyawan mampu berdiri sendiri tetapi juga berfungsi sebagai alat hubungan masyarakat: Pelayanan ini membantu mempertahankan dukungan dan itikad baik karyawan yang masih dipekerjakan dengan membuat mereka merasa bahwa organisasi akan memikirkan nasib mereka sekiranya pemutusan hubungan kerja harus menimpa mereka di masa mendatang. Selain membantu menjaga moral dan motivasi para pekerja yang tidak di-PHK, program outplacement mengurangi risiko gugatan oleh mantan karyawan yang merasa kecewa (h. 567).
Bagaimanapun juga, pemutusan hubungan kerja kadang-kadang dihindari dengan perencanaan yang matang. Manfaat utama perencanaan sumber daya manusia srategis adalah memastikan agar persediaan dan permintaan karyawan diseimbangkan ketika menghindari biaya terkait dengan kelebihan maupun kekurangan karyawan yang berlebihan. Dalam banyak kasus perencanaan sumber daya manusia yang efektif bisa mengurangi atau menghapus kebutuhan untuk melakukan pengurangan tenaga kerja pemutusan hubungan kerja. Sebesar apa pun surplus yang ada, majikan harus mengidentifikasi alasan sesungguhnya di balik jumlah berlebihan untuk menentukan respons yang tepat (h. 567).
Surplus jangka panjang sering bisa dikelola tanpa pemutusan hubungan kerja dengan penghentian rekrutmen karyawan (hiring freezes), tidak melakukan penggantian karyawan yang keluar, menawarkan insentif pensiun dini, dan melalui pelatihan silang karyawan-karyawan tertentu agar mereka mampu mengembangkan keterampilan yang berpotensi dibutuhkan organisasi. Surplus jangka pendek bisa dikelola melalui pemberian pinjaman atau mensubkontrakkan karyawan, menawarkan pengunduran diri sukarela, menerapkan pengurangan gaji di semua lapisan, atau menempatkan ulang karyawan ke fungsi, lokasi, dan unit lain (h. 568).
Dua solusi yang lebih berorientasi kebijakan untuk mengatasi kelebihan karyawan bisa jadi melibatkan upaya memberikan porsi lebih besar kompensasi bagi kinerja divisi atau organisasi, bisa pula melibatkan penempatan karyawan reguler organisasi kurang dari 100 persen dan membuat perbedaan dengan karyawan sementara atau menawarkan kerja lembur. Strategi pertama menciptakan sebuah rencana pembayaran fleksibel atau bervariasi untuk mengontrol biaya karena pengeluaran pembayaran gaji terkait langsung dengan profitabilitas organisasi. Strategi kedua menciptakan tenaga kerja fleksibel atau bervariasi yang bisa diperluas atau dipersempit untuk memenuhi kebutuhan dan kondisi bisnis (h. 568).
Kedua strategi ini bisa dirangkum sebagai berikut:
Jangka panjang
Jangka Pendek
Kebijakan
-  Menghentikan rekrutmen karyawan
-  Pengurangan karyawan secara sukarela dan bertahap
-  Pelatihan silang karyawan
-    Memberikan pinjaman atau mensubkontrakkan pekerja
-    Pengunduran diri sukarela
-    Pengurangan gaji di seluruh tingkatan
-    Penempatan ulang karyawan
-      Persentase kompensasi lebih besar terkait dengan kinerja.
-      Karyawan kurang dari 100%


Sumber: JeffreyA. Mello, Strategic Human Resource Management, Thomson, South-Wester, 2006.

No comments:

Post a Comment