Pages

Wednesday, November 18, 2015

Hua Lamphong – Aranyaprathet



Stasiun Kereta Api Bangkok yang lebih dikenal dengan julukan informal Hua Lamphong adalah stasiun besar yang tidak rumit pengaturannya. Begitu turun dari kereta api, para penumpang keluar melalui pintu di sebelah kanan yang langsung menuju halaman stasiun atau bisa juga masuk ke aula besar stasiun di mana terdapat deretan loket-loket pembelian tiket di sebelah kanan kiri pintu masuk dari jalur kereta api. Di sisi kanan aula stasiun deretan kios makanan menebar aroma masakan Thailand yang menyengat itu, sedangkan di sisi kiri terdapat kantor informasi kereta api dan penukaran uang serta berbagai ruangan toko. Di depan kursi-kursi ruang tunggu stasiun terpampang gambar besar Raja dan Ratu Thailand diapit pangeran berseragam militer dan putri yang menyungging senyuman. Gambar raja dan ratu dipajang di semua stasiun Thailand, dari Hat Yai hingga Aranyaprathet. Kecintaan rakyat Thailand terhadap raja dan ratu mereka memang sangat terkenal. Tidak mengherankan jika salah satu tips wisata di Thailand adalah “Jangan membicarakan politik dan hal-hal tidak baik tentang keluarga kerajaan.” Dikisahkan ada seorang pelacur Bangkok yang marah-marah kepada seorang bule pengguna jasanya karena membayar dengan uang baht bergambar raja yang diremas-remas. Kata pelacur itu, “Tunjukkan hormatmu! Ini raja kami.”
Saya keluar stasiun lewat pintu utama, menanyakan kepada petugas informasi di samping pintu angkutan apa yang harus saya gunakan untuk mencapai Khaosan Road. Dia bilang bus kota “number sixty three” yang lewat di depan KFC (di pintu masuk belakang, tenggara, stasiun). Saya tanya apakah ada angkutan selain bus, MRT misalnya. Dia bilang tidak. Setelah mengucapkan terima kasih saya segera memutari stasiun menuju KFC, yang masih satu gedung dengan stasiun. Lama menunggu, bus nomor 63 tak kunjung lewat. Saya masuk ke KFC, membeli paket ayam dan kentang goreng seharga 90 baht. Aroma khas masakan Thai terasa menusuk.
Waktu dzuhur hampir habis, saya masuk kembali ke stasiun lewat pintu belakang. Di aula ruang tunggu saya lihat seorang laki-laki memangku anaknya di sebelah istrinya yang berjilbab, kepadanya saya tanyakan, “Musala?” Dengan isyarat tangan dia menunjukkan arah musala di lantai atas. Musala sepi, hanya ada dua perempuan berjilbab sedang mengobrol pelan dan seorang bapak yang sedang salat, saya menyusulnya salat sebagai makmumnya. Usai salam si bapak bertanya dalam bahasa Melayu, “Anak dari mana?” Saya jawab dari Indonesia. “Saya Ismail, dari Pattani.” Kami bercakap-cakap sebentar lalu Pak Ismail menawari saya untuk singgah ke rumahnya jika saya ke Pattani. Saya tahu itu tawaran sopan santun belaka, dia tinggal di mana tepatnya pun saya tidak tahu, namun saya merasakan kehangatan ramah tamah pria tua dari Pattani itu. Keramahan hangat yang masih saya jumpai di negeri kita dua dekade silam.
Lalu saya menunggu bus lagi, yang tak juga lewat. Akhirnya saya tanya petugas informasi wisata di dekat KFC, di sisi belakang stasiun, dan mendapat jawaban sama, “sixty three, where are you from?” Saya bilang dari Indonesia dan kami berbincang-bincang ringan sebentar. Lalu saya menyeberang ke Sevel untuk membeli perlengkapan mandi yang tertinggal di kereta api Hat Yai – Bangkok.
Penasaran, saya kembali ke bagian informasi di samping pintu depan stasiun. Petugasnya sudah ganti, saya ajukan pertanyaan yang sama. Jawabannya ganjil tetapi lebih menjelaskan. Katanya, “Five three.” Hahaha. Pantas dari tadi saya tidak melihat bus nomor 63, sedangkan bus nomor 53 cukup sering lewat di depan KFC Hua Lamphong. Akhirnya saya naik bus 53 pertama yang saya lihat. Ongkosnya 6,5 baht (sekitar 2.500 rupiah). Mau turis mau orang lokal sama, tidak seperti yang saya alami di Kota Ho Chi Minh.
Perjalanan dengan kereta api dari Bangkok ke Aranyaprathet
Karcis bus kota Bangkok jalur 53


Sampai di dekat Khaosan Road, ibu kondektur memberi isyarat bahwa saya harus turun di sini. Tak jauh memang, berjalan sebentar sudah terasa aroma Sosrowijayan. Ya, bagi saya Khaosan Road tak beda dengan Sosrowijayan (Pasar Kembang), Yogyakarta, kecuali lebih ramai. Di Khaosan Road banyak penginapan murah, bahkan ada yang tarifnya 2 USD semalam. Dan ada tiga warnet yang saya temukan. Yang pertama persis di perempatan depan sebuah bank lokal. Warnet di Khaosan Road juga melayani telepon internasional via Internet. Saya bertanya harga sewa komputer per jamnya. Saya lupa berapa, tapi kemahalan menurut saya, selain suasananya terlalu rapi dan wangi. Warnet kedua saya dapatkan di Jalan Khaosan, tak jauh dari hostel Big Mama yang kabarnya sangat murah itu. Ongkos sewanya 1 baht satu menit dengan minimum penggunaan 20 menit. Jadi satu jam ongkos warnetnya 60 baht. Kelemahan warnet ini bagi saya adalah tidak boleh merokok.
Sejak menikah saya sudah mengurangi rokok secara drastis. Saya tidak keberatan tidak merokok sama sekali, hanya saja ada satu hal yang tidak bisa saya lawan: kebiasaan menyalakan komputer dibarengi menyalakan rokok. Di warnet Khaosan Road ini terbukti betapa saya sudah salah kêdadèn, tidak produktif tanpa komoditas beracun itu. Apa boleh buat. Tiga jam (180 baht) saya hampir tak beringsut sekadar satu halaman. Akhirnya saya menyerah. Apalagi ketika bertanya di mana saya bisa mengisi ulang batre hp saya, yang punya warnet bilang: “Satu jam 30 baht”. Benar-benar sadar wisata dia, dalam arti apa pun dijadikan uang dari pariwisata. Tak ada unsur kemanusiaan. Persis kawasan Khaosan Road yang sama sekali tak ada tempat duduk bagi orang yang lelah berjalan tanpa harus membeli sesuatu, misalnya minuman. Di depan Sevel atau Circle K sekalipun tidak disediakan tempat duduk seperti yang mudah dijumpai di Indomart atau Alfamart di sepanjang jalan Yogyakarta – Kartasura. Saya putuskan saja untuk kembali ke Hua Lamphong, siapa tahu warnet di depan stasiun itu buka dan lebih bersahabat dengan orang yang tidak bisa bekerja tanpa merokok.
Dalam perjalanan ke tempat pemberhentian bus nomor 53, saya dapati sebuah warnet milik orang Israel. Satu jam 40 baht. Tetap kemahalan bagi saya. Hari sudah malam, sekitar pukul 20-an. Saya teruskan perjalanan hingga tempat saya turun dari bus sore tadi. Ada sepasang laki-laki perempuan turis backpackers yang juga mencegat bus jurusan Hua Lamphong. Dua kali bus kami naiki, dua kali pula kondekturnya mengatakan agar kami menunggu di seberang jalan. Agak membingungkan, di seberang itulah tadi sore saya turun. Akhirnya saya dan dua turis Jerman itu bertanya-tanya pada warga setempat. Jawabannya makin membingungkan, mereka juga tidak yakin. Ketika ada bus dari arah Hua Lamphong tiba, kami tanya kepada sopirnya apakah ini bus ke Hua Lamphong. Dia jawab ya. Bus itu tanpa kondektur. Ternyata bus itu berhenti di pangkalannya di pinggir sungai, dan kami diminta pindah ke bus di depannya. Agak lama menunggu, sepasang turis Jerman itu tidak sabar, sementara yang perempuan berbicara kepada sopir bus, yang laki-laki bilang kepada saya bahwa mereka harus mengejar kereta ke Chiang Mai pukul 22.00 dan memutuskan untuk naik taksi saja. Saya mengucapkan selamat jalan kepada mereka dan kami pun berpisah. Tak lama kemudian bus berjalan, sampai di Hua Lamphong pukul 21.30.
Warnet di sebelah Sevel Hua Lamphong itu ternyata tetap tutup. Sudah tidak bersemangat mencari penginapan murah yang katanya banyak di sekitar stasiun Hua Lamphong, saya putuskan untuk duduk-duduk saja di stasiun. Warnet di lantai dua stasiun yang tadi siang tutup sekarang pun masih tutup. Mungkin tutup selamanya. Masih banyak penumpang jurusan Sungai Kolok dan Surat Thani. Sebetulnya pukul 23.00 stasiun sudah tutup, buka lagi pukul 04.00, tetapi karena banyak kereta terlambat hingga menjelang tengah malam masih banyak penumpang di ruang tunggu. Saya keluar dan duduk-duduk di depan Sevel, kembali ke stasiun ternyata sudah tutup.
Emperan stasiun penuh orang yang duduk dan tidur. Seorang penjual alas tidur menawarkan dagangannya. Banyak yang beli. Saya juga. Karena tidak mengerti bahasa Thai saya hanya menunjukkan satu jari dan menyodorkan uang logam 10 baht setelah dia mengucapkan sesuatu yang saya duga harga alas tidur. Ketika saya mencari-cari uang, dia menunjuk uang 20 baht. Saya bayar saja. Saya penasaran apa memang segitu harganya. Rupanya penjual itu jujur. Saya melihat orang asli Thailand yang juga membayar 20 baht. Tidak satu pun turis bule tampak, yang paling gembel sekalipun. Saat itulah saya merasakan apa yang dimaksud ungkapan sunyi di tengah keramaian. Hanya saya sendiri yang bukan orang Thai. Agak takut juga kalau ada apa-apa, misalnya dicuri barang saya saat tidur.  

perjalanan dengan kereta api dari KL Sentral ke Aranyaprathet
Alas tidur seharga 20 baht


Tanpa sadar saya jatuh tertidur, sudah bangun ketika pintu stasiun dibuka. Saya segera antre membeli tiket tujuan Aranyaprathet, harganya 48 baht (sekitar 18 ribuan rupiah), sesudah itu saya menuju musala yang tidak ada siapa-siapa di dalamnya. 
perjalanan darat dari Malaysia ke Vietnam
Tiket kereta api Bangkok - Aranyaprathet (48 baht)
Sekitar pukul setengah enam saya naik ke kereta api yang sudah siap. Keadaan di dalam gerbong persis seperti kereta api kelas tiga di negeri kita ketika karcis kereta api masih mirip kartu domino. Kalau Anda sempat naik Senja Ekonomi jurusan Yogyakarta – Jakarta, atau Kereta Api Progo, nah kereta api kelas kambing kita itu masih lebih baik daripada kereta Bangkok – Aranyaprathet tahun 2015. Bahkan jendela gerbong pun banyak yang tak ada kacanya. Tetapi, dari rangkaian perjalanan saya dengan kereta api dari Kuala Lumpur, Padang Besar, Hat Yai, Bangkok, perjalanan ke Aranyaprathet inilah yang paling mengesankan. Di kereta murah sekali inilah saya menjumpai keramahan warga Thailand yang tak ada sangkut pautnya dengan adagium “we’re nice people but spend your dollars”. Di bangku keras berhadap-hadapan saya duduk bersama sebuah keluarga Thai. Sekalipun tak tahu sepatah pun ucapan mereka, sikap dan sorot mata mereka memancarkan kehangatan yang tulus. Sayang seribu sayang hp saya mati karena semalam menggelandang di emper stasiun Hua Lamphong tanpa bisa mengisi ulang batrei. Padahal pemandangan di sepanjang perjalanan sungguh mengesankan. Burung-burung yang di tempat tinggal saya hanya ada di sangkar, di Thailand timur berkeliaran bebas merdeka dalam jumlah banyak. Stasiun-stasiun mirip gardu ronda, stasiun-stasiun terbuat dari kayu yang sepi namun tetap dihias foto raja dan ratu adalah pemandangan yang sangat mengesankan. 
Lokomotif, gerbong, stasiun di Thailand memang jauh tertinggal dibandingkan yang ada di negeri kita, apalagi di Malaysia, tetapi saya rasa kesungguhan para personel yang mengoperasikan sistem kereta api Thailand adalah faktor yang menjadikan perjalanan dengan kereta api di Thailand, sejauh yang saya rasakan, patut dipuji.
Tengah hari kereta tiba di Stasiun Aranyaprathet. Keluar stasiun sopir tuk-tuk sudah menunggu para penumpang yang hendak menuju perbatasan Thailand dengan Kamboja. Ongkosnya 80 baht. Untunglah ada orang LSM asal Australia yang bekerja di Battambang yang bersedia berbagi ongkos tuk-tuk. Seolah-olah sudah menjadi SOP para sopir tuk-tuk untuk membawa penumpang ke biro pengurusan visa. Saya bilang tidak perlu karena orang Indonesia bebas visa masuk ke Kerajaan Kamboja. Orang Australia itu juga tidak perlu mengurus visa karena dia sudah setengah tahun bekerja di Kamboja. Saya lihat banyak turis bule yang “termakan” trik para sopir tuk-tuk sedang berdiri bergerombol di depan sebuah gedung yang tak ada papan namanya.
Sendiri menyeberang perbatasan Thailand – Kamboja memang butuh keberanian ekstra. Tipuan (scam) sudah menunggu sejak kita keluar dari stasiun Aranyaprathet. Ya soal visa itu salah satunya. Setelah lolos dari trik pertama, tukang tuk-tuk yang membawa kami mengulangi lagi soal visa. Saya bilang tidak. Kalau dipikir-pikir, kenapa ada dua tempat untuk mengurus visa? Ada-ada saja. Dan, ternyata, selalu ada yang terkecoh trik model begini. Sampai di perbatasan, kami turun dari tuk-tuk dan disambut parasit pengecoh lain. Menyeramkan memang. Kalau tak bernyali, sebaiknya dihindari menyeberang perbatasan Aranyaprathet – Poipet sendirian. Naik pesawat dari Bangkok ke Siem Reap jauh lebih aman.

No comments:

Post a Comment