Stasiun Kereta Api Bangkok yang lebih dikenal dengan
julukan informal Hua Lamphong adalah stasiun besar yang tidak rumit
pengaturannya. Begitu turun dari kereta api, para penumpang keluar melalui
pintu di sebelah kanan yang langsung menuju halaman stasiun atau bisa juga
masuk ke aula besar stasiun di mana terdapat deretan loket-loket pembelian
tiket di sebelah kanan kiri pintu masuk dari jalur kereta api. Di sisi kanan aula
stasiun deretan kios makanan menebar aroma masakan Thailand yang menyengat itu,
sedangkan di sisi kiri terdapat kantor informasi kereta api dan penukaran uang serta
berbagai ruangan toko. Di depan kursi-kursi ruang tunggu stasiun terpampang
gambar besar Raja dan Ratu Thailand diapit pangeran berseragam militer dan
putri yang menyungging senyuman. Gambar raja dan ratu dipajang di semua stasiun
Thailand, dari Hat Yai hingga Aranyaprathet. Kecintaan rakyat Thailand terhadap
raja dan ratu mereka memang sangat terkenal. Tidak mengherankan jika salah satu
tips wisata di Thailand adalah “Jangan membicarakan politik dan hal-hal tidak
baik tentang keluarga kerajaan.” Dikisahkan ada seorang pelacur Bangkok yang
marah-marah kepada seorang bule pengguna jasanya karena membayar dengan uang
baht bergambar raja yang diremas-remas. Kata pelacur itu, “Tunjukkan hormatmu!
Ini raja kami.”
Saya keluar stasiun lewat pintu utama, menanyakan kepada
petugas informasi di samping pintu angkutan apa yang harus saya gunakan untuk
mencapai Khaosan Road. Dia bilang bus kota “number
sixty three” yang lewat di depan KFC (di pintu masuk belakang, tenggara,
stasiun). Saya tanya apakah ada angkutan selain bus, MRT misalnya. Dia bilang
tidak. Setelah mengucapkan terima kasih saya segera memutari stasiun menuju
KFC, yang masih satu gedung dengan stasiun. Lama menunggu, bus nomor 63 tak
kunjung lewat. Saya masuk ke KFC, membeli paket ayam dan kentang goreng seharga
90 baht. Aroma khas masakan Thai terasa menusuk.
Waktu dzuhur hampir habis, saya masuk kembali ke stasiun lewat
pintu belakang. Di aula ruang tunggu saya lihat seorang laki-laki memangku
anaknya di sebelah istrinya yang berjilbab, kepadanya saya tanyakan, “Musala?”
Dengan isyarat tangan dia menunjukkan arah musala di lantai atas. Musala sepi,
hanya ada dua perempuan berjilbab sedang mengobrol pelan dan seorang bapak yang
sedang salat, saya menyusulnya salat sebagai makmumnya. Usai salam si bapak
bertanya dalam bahasa Melayu, “Anak dari mana?” Saya jawab dari Indonesia. “Saya
Ismail, dari Pattani.” Kami bercakap-cakap sebentar lalu Pak Ismail menawari
saya untuk singgah ke rumahnya jika saya ke Pattani. Saya tahu itu tawaran
sopan santun belaka, dia tinggal di mana tepatnya pun saya tidak tahu, namun
saya merasakan kehangatan ramah tamah pria tua dari Pattani itu. Keramahan
hangat yang masih saya jumpai di negeri kita dua dekade silam.
Lalu saya menunggu bus lagi, yang tak juga lewat.
Akhirnya saya tanya petugas informasi wisata di dekat KFC, di sisi belakang stasiun, dan mendapat jawaban sama, “sixty
three, where are you from?” Saya
bilang dari Indonesia dan kami berbincang-bincang ringan sebentar. Lalu saya
menyeberang ke Sevel untuk membeli perlengkapan mandi yang tertinggal di kereta
api Hat Yai – Bangkok.
Penasaran, saya kembali ke bagian informasi di samping
pintu depan stasiun. Petugasnya sudah ganti, saya ajukan pertanyaan yang sama.
Jawabannya ganjil tetapi lebih menjelaskan. Katanya, “Five three.” Hahaha. Pantas dari tadi saya tidak melihat bus nomor
63, sedangkan bus nomor 53 cukup sering lewat di depan KFC Hua Lamphong.
Akhirnya saya naik bus 53 pertama yang saya lihat. Ongkosnya 6,5 baht (sekitar
2.500 rupiah). Mau turis mau orang lokal sama, tidak seperti yang saya alami di
Kota Ho Chi Minh.
Karcis bus kota Bangkok jalur 53 |
Sampai di dekat Khaosan Road, ibu kondektur memberi
isyarat bahwa saya harus turun di sini. Tak jauh memang, berjalan sebentar
sudah terasa aroma Sosrowijayan. Ya, bagi saya Khaosan Road tak beda dengan Sosrowijayan
(Pasar Kembang), Yogyakarta, kecuali lebih ramai. Di Khaosan Road banyak
penginapan murah, bahkan ada yang tarifnya 2 USD semalam. Dan ada tiga warnet
yang saya temukan. Yang pertama persis di perempatan depan sebuah bank lokal.
Warnet di Khaosan Road juga melayani telepon internasional via Internet. Saya
bertanya harga sewa komputer per jamnya. Saya lupa berapa, tapi kemahalan
menurut saya, selain suasananya terlalu rapi dan wangi. Warnet kedua saya
dapatkan di Jalan Khaosan, tak jauh dari hostel Big Mama yang kabarnya sangat
murah itu. Ongkos sewanya 1 baht satu menit dengan minimum penggunaan 20
menit. Jadi satu jam ongkos warnetnya 60 baht. Kelemahan warnet ini bagi saya
adalah tidak boleh merokok.
Sejak menikah saya sudah mengurangi rokok secara drastis.
Saya tidak keberatan tidak merokok sama sekali, hanya saja ada satu hal yang
tidak bisa saya lawan: kebiasaan menyalakan komputer dibarengi menyalakan
rokok. Di warnet Khaosan Road ini terbukti betapa saya sudah salah kêdadèn, tidak produktif tanpa
komoditas beracun itu. Apa boleh buat. Tiga jam (180 baht) saya hampir tak
beringsut sekadar satu halaman. Akhirnya saya menyerah. Apalagi ketika bertanya
di mana saya bisa mengisi ulang batre hp saya, yang punya warnet bilang: “Satu
jam 30 baht”. Benar-benar sadar wisata dia, dalam arti apa pun dijadikan uang
dari pariwisata. Tak ada unsur kemanusiaan. Persis kawasan Khaosan Road yang
sama sekali tak ada tempat duduk bagi orang yang lelah berjalan tanpa harus
membeli sesuatu, misalnya minuman. Di depan Sevel atau Circle K sekalipun tidak
disediakan tempat duduk seperti yang mudah dijumpai di Indomart atau Alfamart di sepanjang jalan
Yogyakarta – Kartasura. Saya putuskan saja untuk kembali ke Hua Lamphong, siapa
tahu warnet di depan stasiun itu buka dan lebih bersahabat dengan orang yang
tidak bisa bekerja tanpa merokok.
Dalam perjalanan ke tempat pemberhentian bus nomor 53,
saya dapati sebuah warnet milik orang Israel. Satu jam 40 baht. Tetap kemahalan
bagi saya. Hari sudah malam, sekitar pukul 20-an. Saya teruskan perjalanan
hingga tempat saya turun dari bus sore tadi. Ada sepasang laki-laki perempuan
turis backpackers yang juga mencegat
bus jurusan Hua Lamphong. Dua kali bus kami naiki, dua kali pula kondekturnya
mengatakan agar kami menunggu di seberang jalan. Agak membingungkan, di
seberang itulah tadi sore saya turun. Akhirnya saya dan dua turis Jerman itu
bertanya-tanya pada warga setempat. Jawabannya makin membingungkan, mereka juga
tidak yakin. Ketika ada bus dari arah Hua Lamphong tiba, kami tanya kepada
sopirnya apakah ini bus ke Hua Lamphong. Dia jawab ya. Bus itu tanpa kondektur.
Ternyata bus itu berhenti di pangkalannya di pinggir sungai, dan kami diminta
pindah ke bus di depannya. Agak lama menunggu, sepasang turis Jerman itu tidak
sabar, sementara yang perempuan berbicara kepada sopir bus, yang laki-laki
bilang kepada saya bahwa mereka harus mengejar kereta ke Chiang Mai pukul 22.00
dan memutuskan untuk naik taksi saja. Saya mengucapkan selamat jalan kepada mereka
dan kami pun berpisah. Tak lama kemudian bus berjalan, sampai di Hua Lamphong
pukul 21.30.
Warnet di sebelah Sevel Hua Lamphong itu ternyata tetap tutup.
Sudah tidak bersemangat mencari penginapan murah yang katanya banyak di sekitar
stasiun Hua Lamphong, saya putuskan untuk duduk-duduk saja di stasiun. Warnet di
lantai dua stasiun yang tadi siang tutup sekarang pun masih tutup. Mungkin tutup
selamanya. Masih banyak penumpang jurusan Sungai Kolok dan Surat Thani. Sebetulnya
pukul 23.00 stasiun sudah tutup, buka lagi pukul 04.00, tetapi karena banyak kereta
terlambat hingga menjelang tengah malam masih banyak penumpang di ruang tunggu.
Saya keluar dan duduk-duduk di depan Sevel, kembali ke stasiun ternyata sudah tutup.
Emperan stasiun penuh orang yang duduk dan tidur. Seorang
penjual alas tidur menawarkan dagangannya. Banyak yang beli. Saya juga. Karena tidak
mengerti bahasa Thai saya hanya menunjukkan satu jari dan menyodorkan uang logam
10 baht setelah dia mengucapkan sesuatu yang saya duga harga alas tidur. Ketika
saya mencari-cari uang, dia menunjuk uang 20 baht. Saya bayar saja. Saya
penasaran apa memang segitu harganya. Rupanya penjual itu jujur. Saya melihat orang
asli Thailand yang juga membayar 20 baht. Tidak satu pun turis bule tampak, yang
paling gembel sekalipun. Saat itulah saya merasakan apa yang dimaksud ungkapan
sunyi di tengah keramaian. Hanya saya sendiri yang bukan orang Thai. Agak takut
juga kalau ada apa-apa, misalnya dicuri barang saya saat tidur.
Alas tidur seharga 20 baht |
Tanpa sadar saya jatuh tertidur, sudah bangun ketika
pintu stasiun dibuka. Saya segera antre membeli tiket tujuan Aranyaprathet,
harganya 48 baht (sekitar 18 ribuan rupiah), sesudah itu saya menuju musala yang
tidak ada siapa-siapa di dalamnya.
Tiket kereta api Bangkok - Aranyaprathet (48 baht) |
Sekitar pukul setengah enam saya naik ke kereta api yang sudah
siap. Keadaan di dalam gerbong persis seperti kereta api kelas tiga di negeri
kita ketika karcis kereta api masih mirip kartu domino. Kalau Anda sempat naik
Senja Ekonomi jurusan Yogyakarta – Jakarta, atau Kereta Api Progo, nah kereta
api kelas kambing kita itu masih lebih baik daripada kereta Bangkok –
Aranyaprathet tahun 2015. Bahkan jendela gerbong pun banyak yang tak ada
kacanya. Tetapi, dari rangkaian perjalanan saya dengan kereta api dari Kuala Lumpur, Padang Besar, Hat Yai,
Bangkok, perjalanan ke Aranyaprathet inilah yang paling mengesankan. Di kereta
murah sekali inilah saya menjumpai keramahan warga Thailand yang tak ada
sangkut pautnya dengan adagium “we’re
nice people but spend your dollars”. Di bangku keras berhadap-hadapan saya
duduk bersama sebuah keluarga Thai. Sekalipun tak tahu sepatah pun ucapan mereka,
sikap dan sorot mata mereka memancarkan kehangatan yang tulus. Sayang seribu
sayang hp saya mati karena semalam menggelandang di emper stasiun Hua Lamphong
tanpa bisa mengisi ulang batrei. Padahal pemandangan di sepanjang perjalanan
sungguh mengesankan. Burung-burung yang di tempat tinggal saya hanya ada di
sangkar, di Thailand timur berkeliaran bebas merdeka dalam jumlah banyak.
Stasiun-stasiun mirip gardu ronda, stasiun-stasiun terbuat dari kayu yang sepi
namun tetap dihias foto raja dan ratu adalah pemandangan yang sangat mengesankan.
Lokomotif, gerbong, stasiun di Thailand memang jauh tertinggal dibandingkan yang ada di negeri kita, apalagi di Malaysia, tetapi saya rasa kesungguhan para personel yang mengoperasikan sistem kereta api Thailand adalah faktor yang menjadikan perjalanan dengan kereta api di Thailand, sejauh yang saya rasakan, patut dipuji.
Lokomotif, gerbong, stasiun di Thailand memang jauh tertinggal dibandingkan yang ada di negeri kita, apalagi di Malaysia, tetapi saya rasa kesungguhan para personel yang mengoperasikan sistem kereta api Thailand adalah faktor yang menjadikan perjalanan dengan kereta api di Thailand, sejauh yang saya rasakan, patut dipuji.
Tengah hari kereta tiba di Stasiun Aranyaprathet. Keluar
stasiun sopir tuk-tuk sudah menunggu para penumpang yang hendak menuju
perbatasan Thailand dengan Kamboja. Ongkosnya
80 baht. Untunglah ada orang LSM asal Australia yang bekerja di Battambang yang
bersedia berbagi ongkos tuk-tuk. Seolah-olah sudah menjadi SOP para sopir
tuk-tuk untuk membawa penumpang ke biro pengurusan visa. Saya bilang tidak perlu
karena orang Indonesia bebas visa masuk ke Kerajaan Kamboja. Orang Australia
itu juga tidak perlu mengurus visa karena dia sudah setengah tahun bekerja di
Kamboja. Saya lihat banyak turis bule yang “termakan” trik para sopir tuk-tuk sedang
berdiri bergerombol di depan sebuah gedung yang tak ada papan namanya.
Sendiri menyeberang perbatasan Thailand – Kamboja memang butuh
keberanian ekstra. Tipuan (scam) sudah
menunggu sejak kita keluar dari stasiun Aranyaprathet. Ya soal visa itu salah
satunya. Setelah lolos dari trik pertama, tukang tuk-tuk yang membawa kami mengulangi
lagi soal visa. Saya bilang tidak. Kalau dipikir-pikir, kenapa ada dua tempat untuk
mengurus visa? Ada-ada saja. Dan, ternyata, selalu ada yang terkecoh trik model
begini. Sampai di perbatasan, kami turun dari tuk-tuk dan disambut parasit
pengecoh lain. Menyeramkan memang. Kalau tak bernyali, sebaiknya dihindari
menyeberang perbatasan Aranyaprathet – Poipet sendirian. Naik pesawat dari
Bangkok ke Siem Reap jauh lebih aman.
No comments:
Post a Comment